Sejak kran kebebasan demokrasi dibuka, menjamur komentator di negeri ini. Apa-apa dikomentari.
Bagai bangsa Indonesia, kita bangga karena negeri ini juga memiliki julukan "Negeri Katulistiwa", sebab dilintasi garis katulistiwa. Kita juga mengenal ada Negeri Paman Sam, Negeri Tirai Bambu, Negeri Tango, Negeri Samba, Negeri Kanguru, hingga Negeri 1001 Malam dan lain-lainnya.
Namun, seiring waktu, reformasi dan kebebasan demokrasi yang boleh dibilang "kebablasan", di tambah hadirya berbagai stasiun televisi, media sosial (medsos), media online (medion) dan media massa, maka negeri kita ini, kini bisa dijuluki sebagai "Negeri Berjuta Komentator".
Dari anak kecil hingga orang dewasa, elite politik, pemimpin bangsa, dan seluruh rakyat Indonesia, kini sangat mudah mengomentari berbagai persolan yang dengan cepat terpublikasi dan viral.
Sehingga, rakyat pun bingung, mana yang dapat dijadikan pijakan atas sebuah persoalan yang sedang mengemuka.
Media massa pun seolah dengan mudah memberikan gelar kepada para "tokoh" yang dengan gampang tiba-tiba ditempeli embel-embel "praktisi" dan "pengamat".
Sesuai KBBI, praktisi adalah pelaksana, sementara pengamat adalah orang yang meneliti, orang yang mengawasi.
Sebelum "zaman ini", media televisi khususnya, tidak akan mudah memberikan gelar kepada seseorang dengan sebutan "praktisi" apalagi "pengamat".
Perlu perjuangan bagi seseorang agar diberikan label sebagai "praktisi" dan "pengamat". Perlu waktu bertahun-tahun dan orang tersebut biasanya sudah aktif di media massa baik sebagai penulis atau kolumnis.
Jadi, untuk mendapat gelar sebagai praktisi apalagi pengamat, lebih susah dari sekadar mendapatkan ijazah sekolah atau kuliah.
Gelar diberikan oleh redaksi sebuah media, yang tidak asal memberi. Butuh waktu dan keuletan, hingga media layak memberikan gelar tersebut.
Hingga kini, media massa, tak akan mudah dan murah menyebut sesorang sebagai praktisi dan pengamat apalagi tenaga ahli, hingga konsultan.
Namun, hadirnya berbagai stasiun televisi swasta dengan persaingan berbagai program diskusi serta bertebaran-nya medsos dan medion, kini sangat mudah kita temukan komentator-komentator bak praktisi dan pengamat yang tumbuh menjamur.
Bila seseorang sampai menyebut dirinya praktisi atau pengamat, biasanya karena sesorang tersebut telah diberikan label oleh media massa, bukan oleh stasiun televisi, apalagi sebutan dari dirinya sendiri.
Praktisi atau pengamat pemula pun, biasanya tak akan berani menyebut dirinya adalah praktisi atau pengamat, biasanya malah menyebut dirinya sebagai pemerhati atau pecinta.
Jadi, dengan kondisi Indonesia yang seperti sekarang ini, masyarakat pun banyak yang berujar bahwa negeri kita sekarang banyak sekali komentator.
Apa-apa dikomentari. Stasiun televisi bahkan bersaing membuka acara yang isinya "komentator".
Sejak musim Pilkada, Pilpres, hingga Kabinet Indonesia Maju Jilid II. Lalu sektor olah raga, hingga sektor selebritis, semua tak luput dari komentar dan komentar yang lebih banyak "nyinyir".
Inilah akibat dari kemerdekaan demokrasi yang tak terbatas. Maka, pantaslah negeri ini kita sebut, sebagai "Negeri Berjuta Komentator". Mengapa para komentator tersebut terus berkoar? Karena ada masalah dan ada ruang bebas untuk mengekspresikan komentar hingga semua merasa sudah menjadi praktisi dan pengamat.
Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.