x

Ar-raayah

Iklan

hilwa rizkia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Januari 2020

Selasa, 4 Februari 2020 10:15 WIB

Sangkar Suci

artikel ini menceritakan tentang sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan para pencari ilmu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SANGKAR SUCI

Oleh : Hilwa Rizkia Mufidah

Mentari kian terlihat di ufuk Timur, terpoles dengan embusan angin pagi yang menusuk tubuh, suara kicauan burung yang meramaikan suasana, membuatku enggan berpaling dari tempat ini. Jajaran pepohonan nan rindang ditambah dengan hamparan bukit rumput hijau membuat mataku dimanjakan dengan pesonanya. Ditemani dengan secangkir susu dan roti tawar kesukaanku, semakin membuatku tak ingin pergi meninggalkannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perpisahan semakin dekat. Lamunan pagi itu mewakili perasaan ku, betapa berat hati ini meninggalkannya. Hingga tak ada kata yang terucap kembali dari lisanku, rasanya aku hanya ingin diam termenung, menikmati sisa waktu ini bersama kesayanganku.

Ya, tempat itu adalah Selabintana. Terletak di kota Sukabumi, kota yang terkenal dengan julukan “Kota Santri” dan mochi nya yang begitu lezat. Entah mengapa aku bisa sampai di kota ini, kota yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Padahal kota ini mempunyai sejuta pesona yang hanya saja belum diketahui oleh banyak orang.

Hari ini, adalah hari yang menyenangkan sekaligus menyakitkan bagiku. Mengapa demikian? Ya, menyenangkan karena aku bisa berlibur bersama keluargaku, jauh dari hiruk-pikuk kesibukan duniawi. Tapi, menyakitkan pula bagiku, karena ini pertanda bahwa aku akan meninggalkan keluargaku dalam waktu dekat.

Hari ini, aku akan melanjutkan hidupku bersama orang-orang baru, begitupun dengan lingkungannya. Aku akan menjadi perantau dari kota lain hanya untuk meneruskan pendidikan.

Hari ini, aku akan memijakkan kakiku di tempat yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku.

Dingin udara pagi begitu merasuki tulang rusuk, aku pun mulai membereskan barang-barang yang siap aku bawa. Tak bergairah sebenarnya. Hanya saja, jika mata ini menatap kedua orangtuaku, mengingatkanku pada keinginan mereka. Ya, mereka ingin aku mempelajari sekaligus memperdalami ilmu Islam, dan mereka pun ingin aku menjadi penghafal Al-Quran yang mutqin. Sehingga, aku bisa memberikan mahkota kepada mereka di akhirat kelak. Keinginan mereka sederhana, bisa melihat anaknya menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitar, dan menjadi seorang yang sukses dunia dan akhirat. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk mewujudkan keinginan mereka. Biidznillah.

Dari luar, terdengar suara klakson mobil, ternyata ayahku memberitahu bahwa kita akan segera berangkat. Aku pun bergegas memasukkan barang-barangku kedalam bagasi mobil. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, 3 hari sudah aku mengisi waktu liburan bersama keluargaku. Dan sekarang, waktu yang tak diharapkan kehadirannya pun tiba. Aku akan pergi ke suatu tempat, tempat perjuanganku selanjutnya.

Kami pun akan segera berangkat, ummi yang telah selesai mendandani adikku sudah memasuki mobil. Kemudian, aku duduk di samping ayahku agar menemaninya menyupir. Di dalam mobil, ayah terus menasehatiku. Ah, aku pun tak bisa lagi menatapnya, bukan karena aku tidak suka, tapi, jika aku menatapnya rasa ini semakin berat untuk meninggalkan keluargaku. Air mata pun menetes perlahan, sengaja aku menoleh ke arah luar jendela, aku hanya tak ingin memperlihatkan tangisan ini kepada ayah. Aku ingin ayah tahu bahwa aku baik-baik saja.

Kemudian, ayah pun membangunkanku dengan mengelus hangat kepalaku, “Nak, kita sudah sampai sayang,” kata ayahku. Mendengar perkataan ayahku, mataku yang terpejam perlahan terbuka. Aku yang baru saja terbangun dari tidurku, masih belum sadar dengan apa yang ada di depan ku sekarang, aku hanya melihat gerbang lebar berwarna oranye keemasan nan menjulang tinggi ke atas, tepat ada di depan mobilku. Ternyata, selama perjalanan menuju tempat ini, aku tertidur pulas, sampai aku pun tak sadar bahwa kita sudah sampai pada tempat tujuan. Dan tertulis di atas gerbang itu “STIBA AR-RAAYAH”. Ya, benar, kita sudah sampai.

Tempat ini adalah sebuah universitas bernama STIBA Ar-raayah. Tempatku meneruskan pendidikan S-1 ku. Tempat ini memang tidak terkenal di sebagian wilayah Indonesia, contohnya saja di kota kelahiranku Cilegon-Banten, hanya sedikit orang yang tahu tentang universitas ini. Tapi, siapa sangka bahwa STIBA Ar-raayah begitu terkenal di luar negeri. Tak jarang yang mengelu-elukan universitas ini.

Kemudian, mobilku pun melaju memasuki gerbang. Seketika mataku pun dimanjakan dengan pesona kampus ini. Hamparan pepohonan rindang dan rerumputan hijau begitu menyejukkan mata. Mobil pun terus melaju, tampak masjid besar di sebelah kanan, masjid yang terlihat klasik nan elegant. Entah mengapa, rasa sedih yang menimpa, hilang perlahan melihat pesona kampus nan sejuk ini. Maklum saja, udara di kotaku begitu panas karena pabrik yang begitu banyak.

Akhirnya, mobil pun berhenti. Ternyata, aku sudah sampai di tempat putri. Karena, kampus ini terpisah antara mahasiswa dan mahasiswi, sehingga, tidak ada khalwat di antara kami. Kami begitu dijaga dengan syariat Islam.

Kemudian, sesampainya di tempat putri, aku dan keluargaku turun dari mobil. Aku pun bergegas mengambil barang-barangku dibantu dengan ayah. Ternyata, ada gerbang lain di dalam kampus ini. Di tempat putri, gerbang berwarna hitam pekat, seperti tempat tak berpenghuni. Anehnya, gerbang yang begitu besar tidak dibuka, hingga aku pun masuk ke tempat itu melalui gerbang kecil yang berwarna sama dengan gerbang besar.

Ketika aku memasuki gerbang kecil itu, hamparan rerumputan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran kembali menyejukkan mata, lingkungan yang bersih begitu indah dipandang, tak disangka banyak akhwat yang menyambut. Rupanya, mereka adalah panitia penyambutan mahasiswi baru. Ayahku dilarang masuk, hanya perempuan saja yang diperbolehkan. Kemudian, aku pun menuju aula kampus untuk memastikan apakah ada barang terlarang yang aku bawa atau tidak. Sesampainya di aula, aku pun terkesima, tempat ini begitu luas, hamparan karpet berwarna merah tampak menghiasi tempat itu. Selain itu, banyak akhwat yang sibuk membaca dan menghafal Al-Quran, membuat hatiku tenang melihatnya.

Segala pemeriksaan sudah aku lalui, aku pun sudah mendapatkan kamar yang akan aku huni. Dan tibalah waktu keluargaku untuk kembali ke rumah tercinta, kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Begitupun dengan ku, bagaimanapun aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku. Lingkungan yang mereka bilang sebagai Penjara Suci. Tapi, bagiku tempat ini bukan seperti penjara, bahkan tempat ini layaknya sangkar, sangkar yang menjaga burung-burung itu tetap pada hakikatnya. Sangkar yang selalu dijaga oleh pemiliknya.

Senja yang selalu terlihat di setiap sore, kicauan burung nan indah, membuatku bersyukur bisa memijakkan kakiku. Walaupun, tempat yang dibatasi oleh tembok-tembok tebal nan menjulang, tak membuatku enggan meninggalkan sangkar suci ini. Hanya saja, rasa bosan yang merupakan fitrah manusia kerap menghampiri. Tapi, aku yakin itu hanya sebatas ilusi.

Dan sekarang, waktu berjalan begitu cepat, 3 tahun sudah aku pijakkan kaki di sangkar suci ini. Tak terasa aku sudah duduk di semester 4, aku mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Jurusan itu merupakan jurusan baru di kampusku. Jika ditanya mengapa aku mengambil jurusan ini, aku ingin memperdalami ilmu dakwah dalam segi berbicara dan menulis. Karena dakwah tidak hanya dapat diutarakan dalam bicara, akan tetapi, dakwah pula dapat ditorehkan dalam menulis. Indah bukan?

Berbicara tentang KPI, aku dan sembilan belas temanku adalah generasi pertama di jurusan ini. Pahit, manis, asam kehidupan sudah kita lalui bersama. Perkataan buruk dari orang lain lantas tak membuat kita lemah. Bahkan, membuat kita semakin kuat dalam menghadapi segalanya. Kami percaya bahwa Allah selalu bersama dalam kebenaran. Selain itu, kami pun sering berkutat dengan laptop, untuk menorehkan sebuah pikiran kami melalui tulisan.

Ar-raayah memang menyimpan sejuta kenangan yang begitu melekat di pikiranku. Ar-raayah dengan lingkungannya yang rindang karena pepohonan hijau nan rimbun, membuat kampus ini begitu sejuk dipandang. Senja nya yang terlihat di sore hari mengingatkanku betapa agung Ciptaan-Nya, dan angin sore yang semilir membuatku menikmati suasana dalam muraja’ah hafalanku.

Renungan sore ini, cukuplah Allah sebaik-baik saksi bahwa aku sangat berterima kasih pada-Nya, karena-Nya aku bisa memijakkan kaki ku di sangkar suci ini. Biarlah tempat ini yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku dalam mencari jati diri. Biarlah kisah berliku ini, ku abadikan dalam memori ingatanku, seperti layaknya sebuah kisah perantau di negeri orang. Biarlah alur kehidupan yang aku jalani di tempat ini, menjadi sebuah cerita hangat yang akan aku ceritakan pada anak-anakku kelak. Bahwa, Ar-raayah adalah sebuah sangkar suci, dengan berbagai pesona alam yang menyimpan sejuta makna kehidupan.

 

 

-SELESAI-

 

 

Ikuti tulisan menarik hilwa rizkia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler