x

kepalsuan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 25 Februari 2020 09:03 WIB

Gaya Hidup Penuh Kepalsuan, Siapa Menjadi Teladan?

Sampai kapan negara memberi teladan gaya hidup penuh kepalsuan kepada rakyat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memiliki kekayaan alam yang berlimpah, itulah Indonesia. Siapa yang selama ini  menikmatinya? Untuk siapa kekayaan alam itu? Siapa yang memanfaatkan. Siapa yang kaya dan terlihat kaya? Mengapa rakyat tetap belum sejahtera dan miskin? 

Tentu tidak lain dan tidak bukan, bila digeneralisasi akan sama seperti pernyataan Ketua MPR kita, bahwa partai politik dan pemerintahan pun dikuasai oleh cukong. Tiga serangkai inilah yang mengatur  dan mengeksploitasi sendi kekayaan alam yang melimpah dan uang rakyat yang hanya dijadikan bancakan mereka. 

Maka, kekayaan negeri kita, juga dikuasai sebanyak-banyaknya oleh para cukong itu. Digunakan sebebas-bebasnya untuk kepentingan mereka, untuk kepentingan intik dan politik mereka, dan kepentingan berbagi kursi jabatan serta kekayaan mereka, bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka semua yang memainkan peranan dan hanya mengambil keuntungan demi melanggengkan trah dan kejayaan kerajaan mereka hingga anak cucu. 

Maka pantas saja hingga Januari 2020, utang pemerintah Indonsia sudah menembus Rp 4.817,5 Triliun seperti yang disarikan oleh Liputan6.com, bahwa Kementerian Keuangan (Keuangan) mencatat total utang pemerintah pusat hingga Januari 2020 sebesar Rp 4.817,5 triliun. 

Utang ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi utang pada Januari 2019 yang mencapai Rp 4.498,6 triliun. Untuk apa utang itu, dan uang siapa yang juga nantinya buat membayar utang, tentunya hanya pemerintah dan para cukong yang tahu. 

Namun, yang pasti, rakyat Indonesia lah yang dari zaman ke zaman diperas jerih payahnya oleh siapapun generasi pemimpin yang lahir dari tangan bernama cukong untuk menjadi tumbal pembayar hutang negara. 

Atas kondisi ini, siapa yang tetap mau hidup bergelimang harta dan tetap berlabel orang kaya, meski uang yang mereka dapat hasil dari mengakali rakyat? 

Inilah kisah bangsa borjuis (kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas) Indonesia yang terus membombardir dari segala penjuru demi kepentingannya sendiri dengan korban rakyat jelata. 

Mirisnya, teladan negatif mereka, bergaya borju dan orang kaya dari hasil upaya membodohi rakyat, malah ditiru mentah-mentah oleh rakyat biasa Indonesia, yang juga ingin terlihat mampu, mapan, dan dianggap kaya, meski miskin. Terlebih di zaman teknologi informasi yang semakin maju, hadirnya media massa dan media sosial terus mendikte rakyat miskin untuk turut serta bergaya borju dan nampak kaya. 

Untuk kalangan menengah ke atas, biar di masyarakat dianggap sukses, harus punya mobil dan gonta-ganti mobil, bahkan mobil mewah. Lalu, baju mewah, rumah bagus, tongkrongan wah di kafe, penampilan wah, makan di restoran kelas atas, padahal uang yang didapat belumlah cukup untuk membiayai hidup ala kaum borjuis itu. 

Rakyat menengah ke bawah pun demikian, untuk hidup dan makan saja pas-pasan, bahkan harus tambal sulam hutang kanan kiri, namun tetap saja meniru gaya orang kaya. 

Sementara orang-orang yang bergelimang harta dari jabatan yang memanfaatkan rakyat, maaf, seperti Presiden kita saja malah bergaya hidup sederhana. 

Para orang borju dan cukong itu, juga berpenampilan sederhana, makan di warung sederhana. Meski, di garasi rumahnya berjajar puluhan mobil mewah, punya pesawat pribadi, villa pribadi, pulau pribadi,  bergelimang harta dan uang triliunan. 

Inilah yang kini sangat mencolok terjadi di masyarakat Indonesia. Semua rakyat kelas menengah ke bawah, jadi mencoba memaksakan diri nampak kaya. Sementara para orang kaya, hanya mencoba bersandiwara dengan penampilannya, karena gelimang harta dan kehidupan telah direngkuhnya. 

Lalu apa yang terjadi? Orang bilang, bila yang kaya sudah turunan dari sananya, tidak akan kepayahan mengikuti gaya hidup ala borju. Makan mau di mana? Makan pilih menu apa? Dalam kehidupan siapa yang di makan? 

Bagaimana coba, dengan yang sok kaya? Memaksakan diri, dan menghalalkan segala cara demi gaya hidup yang harus tetap nampak kaya? Apalagi orang miskin? Semuanya masih memiliki tradisi apakah hari ini bisa makan, apalagi hari esok dan seterusnya? 

Dari rakyat biasa yang berpenghasilan pas-pasan, artis seleberitis.yang hanya hidup bila dapat job,  politisi yang tak dapat kursi, hingga pejabat yang gajinya juga tak cukup besar karena memanfaatkan tunjangan dan KKN. 

Tentu untuk tetap dianggap kaya dan nampak kaya, maka mereka terbudaya hidup dari utang dan kredit. Begitu seterusnya yang terjadi. Hidup hanya bertumpuk utang. Bahkan, yang lebih parah, banyak utang tapi gaya. 

Banyak pula orang yang punya banyak harta dan uang, namun pola dan gaya hidupnya seperti orang miskin. Sebab, jangankan untuk berbagi dengan orang lain, untuk dirinya sendiri saja kikir, pelit. Hidupnya "nggragas" menumpuk harta dan uang seperti semua itu mau dibawa mati. 

Untuk masalah rakyat yang pada akhirnya memaksakan diri dari jerat budaya utang, mengapa bisa terus terjadi? Sebab negara saja terlilit utang besar sepanjang zaman siapapun pemimpin pemerintahanya. 

Maka, hidup dari utang memang sudah dicontohkan oleh para pemimpin bangsa kita. Tiga serangkai antara cukong, partai politik, dan pemerintah adalah aktor utama pemain peran yang dapat mengatur kehidupan mewah berdasarkan kesepakatan di antara mereka dengan "modal" gaya hidup mewah yang lebih dari cukup tetapi semua di dapat dengan cara "menelikung". 

Namun, rakyat biasa maupun jelata, adalah aktor-aktor kehidupan yang senantiasa mencoba  mengikuti gaya kehidupan mewah dengan cara memaksakan diri dengan jalan utang. 

Mirisnya, keputusan berutang kini menjadi sangat instan, tidak berpikir panjang,  tidak ada pertimbangan yang masak. Asal utang sana-sini lalu akhirnya tertimbun beban yang telanjur menumpuk liar demi untuk memenuhi gaya hidup. 

Berapa banyak rakyat kita yang hingga kini terjerat utang kartu kredit, pinjaman online, kredit motor, kredit mobil, kredit perkakas elektronik, hingga pinjaman kepada rentenir dan memaksakan diri mengkredit rumah? 

Tidak ada ilmu ekonomi lagi yang dipakai. Besar pasak dari pada tiang sudah menjadi kelaziman di tengah rakyat kita. Biar dibilang mapan, bergaya keren, namun semua berdiri di atas kepalsuan. 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler