x

Media

Iklan

Harpiana Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Maret 2020

Kamis, 5 Maret 2020 08:48 WIB

Infodemik di Sekitar KLB COVID-19, Wabah Informasi yang Menyesatkan

Tulisan ini mengurai masalah pemberitaan COVID-19 yang tidak adekuat dan tidak memenuhi standar jurnalisme. Tulisan ini juga membahas peran media dalam menimbulkan kepanikan sekaligus meredamkan kepanikan masyarakat sebagai pembaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah telah menetapkan COVID-19 sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) di Indonesia, seiring dengan penemuan dua kasus positif COVID-19. Demi mencegah kenaikan status menjadi wabah dan epidemi COVID-19 di Indonesia pemerintah mengupayakan pencegahan penyebaran virus SARS-Cov-2. Namun, kepanikan massal yang terlanjur terjadi menjadi tantangan berat lainnya yang dihadapi oleh pemerintah.

Infodemik adalah kondisi dalam penanganan wabah/KLB dimana ketidakbenaran informasi terkait penyakit beredar kencang, melimpah ruah dibaca dan dipercayai oleh masyarakat. Infodemik menggambarkan keadaan masyarakat yang kebingungan mempercayai suatu informasi bahkan pada portal berita yang teruji kredibilitasnya.

Infodemik juga menggambarkan  keadaan media yang juga turut bingung menuliskan informasi yang tepat terkait penyakit. Dalam sejarah epidemi dan pandemi yang pernah terjadi, infodemik kali pertama terjadi pada tahun ini, pada saat epidemi COVID-19 mewabah. Pemerintah dan pers adalah dua hal yang sangat dibutuhkan masyarakat sekarang untuk meredam infodemik, untuk meredam kepanikan ini. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Betulkah pemerintah  kita terlalu gegabah? Tidak. Meski beberapa kebijakan pemerintah ceroboh dan tidak bersperspektif pencegahan penyakit, tapi pemerintah Indonesia nyatanya tidak sesantuy yang digambarkan media. Pemerintah gencar melakukan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi warganya dari serangan SARS-Cov-2. Melakukan penjemputan berikut proses karantina, menunjuk 100 RS rujukan diberbagai daerah untuk pasien dengan indikasi COVID-19, meningkatkan skrining di pintu bandara dan pelabuhan melalui kantor kesehatan pelabuhan.

Bahkan penguatan kesiapsiagaan dimulai dari imbauan ke Puskesmas. Saya mencoba menghubungi teman yang bekerja sebagai epidemolog di Puskesmas, ia mengkonfirmasi aturan kebijakan telah tembus hingga Puskesmas. Beberapa hari ini, saya berada di RS Kabu[aten Bone, dan nampak berbagai poster tentang imbauan penegakan PHBS untuk mencegah COVID-19. Hanya saja, media sudah terlalu banyak menakut-nakuti pembaca tanpa mengabarkan bahwa pemerintah sedang mengupayakan banyak program untuk tetap kuat menghadang SARS-Cov-2.  

Pemerintah mengerjakan A, media menuliskan AB-. Pemerintah menyatakan Indonesia nol kasus COVID-19, media berlomba-lomba meningkatkan jumlah pembaca dengan menuliskan Indonesia selamat dari COVID-19 akibat doa para ulama. Pemerintah menyatakan penemuan dua kasus COVID-19  di Indonesia, media lebih banyak menuliskan pernyataan Menkes bahwa COVID-19 adalah penyakit yang bisa sembuh sendiri. Pemerintah menyatakan dua penderita adalah ibu dan anak, media mempleseti informasi pribadi korban.

Kesalahan media dalam menuliskan berita informasi bukan tanpa sebab, kan? Untuk kasus COVID-19 media diperhadapkan pada minimnya informasi yang disediakan pemerintah. Pertama kali mewabah, pemerintah tidak proaktif dan tidak massif sejak awal dalam mengawal informasi COVID-19. Pemerintah hanya mengandalkan kanal website Kementerian Kesehatan dalam update membagi informasi COVID-19, mengabaikan fakta bahwa masyarakat kita tak banyak membaca kanal tersebut.

Pemerintah lebih responsif mengadakan hibah 72 M bagi influencer yang bisa mempromosikan Indonesia bebas korona demi pariwisata, ketimbang menggunakan dana itu dengan melibatkan influencer, tokoh agama, selebriti  untuk melakukan promosi kesehatan terkiat pencegahan, penuluran, dan pengobatan COVID-19.  

Persoalan lain adalah komunikasi publik yang dimiliki Menkes dalam mengeluarkan pernyataan terkait COVID-19 yang terkesan meremehkan penyakit ini. Salah satu TV Swasta mengadakan live report dengan menggunakan masker belalang, tanpa berpikir bahwa perilaku tersebut menimbulkan kepanikan penonton. Lalu, salah  satu kanal berita terpercaya menuliskan wawancara dengan Menkes dengan menuliskan bahwa COVID-19 adalah penyakit yang bisa sembuh sendiri. Pernyataan ini tentu tidak berkelas, lantaran COVID-19 masih dalam penelitian. Narasumber blunder dan media terlalu bersemangat, jadinya infodemik. Yang parah adalah perdebatan siapa yang harus menggunakan masker ditengah  pencegahan penyebaran virus.  

Lalu, mengapa media yang bertebaran di timeline medsos dan mendapat banyak share adalah media yang banyak menulis  kepanikan belaka?  Dalam hal peningkatan kewaspadaan akan penyakit ataupun bencana, atau hal yang menyangkut keselamatan, media mestinya harus piawai menulis berita yang tidak hanya mengabarkan tapi turut membawa misi mencerdaskan pembaca, untuk meningktakan kewasapadaan mencegah penyakit. Bukan berita yang menimbulkan kepanikan. Berita yang meningkatkan kewaspadaan tentu tidak sama dengan berita yang menimbulkan kepanikan.  

Keresahan saya terkait berita tak bermutu yang bertengker di media sosial , telah masuk pada pencarian data mengapa pemerintah seperti tak berdaya menghadapi media yang cenderung bikin resah masyarakat terkait penyakit COVID-19. Mengapa Dewan Pers tak bisa menggunakan taringnya untuk menegur dan memperbaiki kualitas media yang tidak mengedukasi? 

Isu kesehatan, bencana adalah isu tentang nyawa manusia. Maka pemerintah mestinya tak hanya melihat kemunculan media penganggu sebagai bentuk kebebasan menulis dan bermedia sosial. Pemerintah tak boleh hanya mengatakan kepada media dan pers “beritakanlah hal yang benar” atau mengatakan kepada masyarakat “bacalah berita pada kanal yang terpercaya”. Pemerintah harus hadir menggandeng pers, mengedukasi pers untuk menyajikan berita yang baik, menjadikan media sebagai sebaik-baiknya media KIE kesehatan yang layak untuk publik.  

Infodemik yang menganggu proses penaggulangan wabah menjadi kajian yang serius dalam penanganan wabah itu sendiri. Kesuksesan penanganan wabah tidak hanya ditentukan oleh kerja kecakapan pakar dan pemerintah dalam bekerja, tapi juga oleh partisipasi masyarakat.

Pemerintah tidak bisa mengandalkan web Kemenkes dalam memberikan informasi valid. Nyatanya, kekuatan portal Kemenkes dan media sahih tak agresif dan massif layaknya media penganggu. Beritanya tak seviral media penganggu. Berita dan webnya hanya dibaca oleh kelompok tertentu.

Kepakaran mati diserbu hoax. Masyarakat tak hanya diserang epidemi COVID-19, tapi juga infodemik COVID-19.  Kepanikan masyarakat hingga memborong makanan dan masker adalah cermin buram dari kualitas literasi media kita. ini pelajaran, sudah saatnya para pakar dan ahli merebut wacana pada setiap kanal, tidak menunggu diwawancarai untuk berbicara, berani bersikap 'galak' dengan argumentasi ilmiah di tengah serbuan hoax. Pemerintah, para ahli dan pers, we need you

 

Ikuti tulisan menarik Harpiana Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB