x

Iklan

Muhammad Itsbatun Najih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 9 Maret 2020 12:30 WIB

Perpustakaan Keluarga Jantung Bangsa Literat

Buku mengurai teori dan praktik literasi. Ada gagasan menarik untuk meningkatkan minat baca masyarakat kita, yakni membentuk perpustakaan keluarga. Menurut penulis buku, perpustakaan keluarga adalah kunci menuju bangsa/masyarakat literat (learning society).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh memilukan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak media massa cetak berguguran. Awalnya, fenomena ini dianggap konsekuensi atas lesatan era yang mengandaikan pergantian sarana membaca pada orang sekarang. Satu sisi, ada benarnya. Media massa berplatform digital muncul menjamur dengan tawaran kecepatan berita dan variasi konten yang tidak lagi konvensional.

Namun, tutupnya media massa cetak, mengandung pembenaran bahwa masyarakat kita memang rendah literasi dan kian susut-habis. Jika, idealnya satu surat kabar dikonsumsi sepuluh orang, di Indonesia, paparan buku ini menunjukkan, sebuah koran bisa dikonsumsi 45 orang.

Buku bernas ini, oleh Prof. Sarwiji Suwandi selaku penulis, memetakan literasi membaca menjadi tiga tahap: minat membaca (reading interest), kebiasaan membaca (reading habit), dan kemampuan membaca (reading ability). Ada garis linear pada ketiganya; yakni makin tinggi minat membaca akan berbanding lurus dengan antusiasme (kebiasaan) membaca beserta kemumpunian daya literasi. Ketiga variabel tersebut merupakan cerminan pembentukan masyarakat belajar (learning society) yang menjadi prasyarat bangsa maju/bangsa literat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kehadiran buku elektronik dan media massa digital seperti hari ini --yang bahkan di antaranya tidak memenuhi kaidah jurnalisme sekalipun, belum dapat disimpulkan ada tanda-tanda bahwa budaya membaca masyarakat kita mulai meningkat. Merujuk tesis penulis buku, prasyarat menjadi learning society gagal lantaran peminatan dan kebiasaan “membaca” buku/berita informasi terlepaskan dari variabel kemampuan membaca. Pasalnya, kini orang hanya membaca judul berita, orang hanya tertuju pada informasi yang sesuai kepentingannya, dan orang mudah bergegas menyimpulkan hasil pembacaannya tanpa validasi, semisal.

Tak pelak, menjamurnya sumber informasi dan kebisingan cuitan maupun banjir unggahan (baca: “produktivitas”) masyarakat kita di media sosial tersebut ternyata telah banyak menimbulkan ujaran kebencian dan hoaks. Untuk menuju pencapaian learning society tentu jauh panggang dari api. Bila diamati, kondisi aktual literasi kita tersebut bisa dibilang menggembirakan meski belum sampai tahap reading habit dan reading ability. Karena itulah, Prof. Sarwiji lewat karya setebal 208 halaman ini, berikhtiar meretas atau meluruskan kembali jalan learning society melalui inovasi-inovasi yang “sayangnya” boleh dibilang masih konvensional.

Teranggap konvensional, lantaran cara utama penumbuhkembangan literasi membaca disebutnya lewat perpustakaan. Sememangnya ada ratusan bahkan ribuan buku dalam sebuah perpustakaan. Di sana, berjejal buku-buku masak, buku-buku bergambar, sampai buku-buku politik. Meski terbilang konvensional, Prof Sarwiji merinci inovasi-inovasi agar perpustakaan menjadi lebih menarik untuk didatangi dan digumuli. Perpustakaan yang bagi kalangan bocah teranggap menjemukan sebisa mungkin bisa dikemas memikat sehingga mampu mengurangi ketergantungan pada gawai.
Prof. Sarwiji benar-benar menyorongkan kepada orang tua dalam pembentukan anak literat. Tiada cara lain upaya gemar membaca ditumbuhkan selain di usia sedini mungkin.

Meskipun telah ada perpustakaan sekolah serta perpustakaan desa, perpustakaan perlu kiranya juga disandarkan di saban rumah bersebut perpustakaan keluarga. Bangsa literat dan learning society sememangnya bermula dari keluarga-keluarga literat pula. Inovasi berupa perpustakaan keluarga tersebut bisa berupa praktik-praktik “pragmatis” atau setidaknya sekadar bernilai spirit.

Dengan kata lain, perpustakaan keluarga tidak harus ditempatkan di sebuah ruangan khusus dengan jejeran rak beserta ratusan buku di dalamnya; idealnya menyesuaikan kemampuan finansial tiap keluarga. Kadar spirit perpustakaan keluarga termaknai manakala orang tua seyogianya menganggap kebutuhan anak pada buku, sama pentingnya dengan kebutuhan anak pada mainan. Dengan sejak kecil dikenalkan terhadap buku, anak dalam tumbuh-kembangnya, bakal selalu terpatri dengan terus menggumuli lembar-lembarnya hingga usia dewasa. Kebiasaan orang tua membaca surat kabar pun turut menstimulus si anak dan lingkungan rumah agar gemar membaca; seraya kemudian membentuk learning family dan menuju learning society.

Kenapa harus dengan buku –termasuk media massa cetak konvensional—dan perpustakaan? Bagi Prof. Sarwiji, buku mengandaikan kedalaman informasi. Usai membaca buku, pembaca dihadapkan pada permenungan dan kontemplasi. Berbicara dan menguar pendapat berlandaskan pembacaan buku bakal lebih berisi dan argumentatif. Manfaat faktual membaca buku, bisa membendung hoaks serta memacu bernalar kritis kala menyikapi deretan berita dan timbunan informasi seperti hari-hari ini. Faedah lain membaca buku cetak dan surat kabar, menjaga kesehatan mata dibanding bila membaca di layar ponsel yang sinar cahayanya amat menyilaukan. Begitulah!

Data buku:
Judul: Pendidikan Literasi
Penulis: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi
Penerbit: Rosdakarya, Bandung
Cetakan: I, 2019
Tebal: 208 halaman
ISBN: 978-602-446-349-6

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Itsbatun Najih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu