Untungnya, masa panen raya yang diperkirakan sepanjang Maret-April masih bisa diamankan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produksi beras sepanjang Januari-April mencakup sekitar 44 persen dari total produksi sepanjang 2019. BPS juga mencatat bahwa surplus produksi beras dalam negeri pada akhir April lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Agustus dan September.
Namun demikian, tanpa manajemen stok dan distribusi yang memadai, pandemi yang terus memburuk dapat berakibat terganggunya suplai beras ke masyarakat sehinga berujung kelangkaan pasokan dan kenaikan harga.
Patut diperhatikan, data BPS memperlihatkan bahwa sebaran surplus produksi beras pada 2019 cukup timpang. Surplus produksi sebetulnya hanya terjadi pada sejumlah provinsi. Kondisi pada tahun ini diperkirakan tidak jauh berbeda. Itu artinya, aspek distribusi dan manajemen stok sangat penting untuk menjamin ketersedian pasokan dan stabilitas harga beras di seluruh wilayah Indonesia.
Dipahami bersama, beras merupakan komoditas pangan yang sangat menentukan stabilitas sosial dan ekonomi. Statistik memperlihatkan bahwa porsi pengeluaran masyarakat menengah ke bawah untuk beras relatif besar.
Itu artinya, kenaikan harga beras yang cukup tinggi akibat gangguan pasokan akan menurunkan daya beli sebagian besar masyarakat secara signifikan. Lonjakan jumlah penduduk miskin pun tidak bisa dihindari.
Karena itu, pemerintah harus mengamankan suplai dan distribusi beras dengan baik selama pandemi berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan manajemen stok yang baik dengan memperhatikan neraca beras masing-masing wilayah. Pada saat yang sama, pertanaman padi harus diintensifkan sebelum kondisi pandemi kian memberuk, terutama di wilayah-wilayah sentra yang belum terlalu terdampak. (*)
Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.