x

Iklan

Yedi Hermawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 April 2020

Selasa, 21 April 2020 09:50 WIB

Ramadhan di Tengah Pandemi Covid-19, Saatnya Beribadah dalam Sepi

Belajar dari kesepian manusia yang memilih berdua saja dengan secangkir teh atau kopi, tegukan dari cangkirnya membuat kita lupa segala sesuatu, dan hanya ada kenikmatan yang terasakan. Begitu pula seharusnya kita menyelami makna ibadah di tengah pandemi Covid-19 ini. Bahwa ibadah dengan bersepi-sepi akan menuntun kita lebih dekat dengan-Nya, lebih mesra, dan lebih intim.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yedi Hermawan

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Padang

Gema sholawat berkumandang hampir di seluruh pelosok dunia, menandakan bulan yang penuh ampunan, bulan yang penuh berkah, dan bulan yang penuh kasih sayang akan segera berdenyar. Marhaban Ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah maraknya pandemi Covid-19, umat Islam di seluruh dunia menyambut Ramadhan dengan kemajemukan rasa. Ada yang seturut bahagia, ada yang riuh duka cita, ada pula yang menangis dalam bahagia. Bagaimana tidak, Ramadhan tahun ini agaknya akan memberi warna yang berbeda, tarawih yang biasanya diadakan di mesjid-mesjid, kini harus dilaksanakan di rumah sendiri. Tadarus Al-Qur'an yang biasanya diadakan di surau-surau dan beramai-ramai, kini ditiadakan.

Lalu ibadah ritual yang biasanya kita lakukan bersama-sama, kini terpaksa dilaksanakan sendiri-sendiri atau bersama keluarga dirumah saja.

Bagi sebagian orang, disamping keberkahan yang ditawarkan Ramadhan, tradisi-tradisi masyarakat dalam menyemarakkan bulan penuh ampunan ini, khusus nya umat Islam di Indonesia, menjadi hal yang sangat dirindukan. Namun, Ramadhan kali ini menyuguhkan hal baru. Kita seolah dituntun untuk bersepi-sepi dan Tuhan seakan memberi isyarat bahwa ibadah ritual seperti tarawih di mesjid, tadarus di surau, i'tikaf sepuluh hari terakhir, maupun ibadah ritual lain, bukan lah satu-satunya jalan paripurna menuju Tuhan.

Jika Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya kita jalani dengan ritual ibadah sunnah berjamaah, maka di tahun ini Ramadhan akan kita lewati dengan orang-orang terdekat saja. Jika di tahun-tahun sebelumnya muslim di seluruh penjuru dunia berbondong bondong melaksanakan ibadah umrah di tanah haram Makkah, maka di tahun ini tanah haram Makkah akan sepi jamaah ulah pandemi Covid-19.

Wajar ketika banyak dari kita yang meneteskan air mata, bersuka cita menyambut datangnya bulan penuh rahmat. Ada yang menangis karena tak bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga, karena berada di daerah dengan zona merah. Ada yang menangis tak dapat kerja, takut tak bisa nafkahi keluarga sebab virus korona yang semakin merajalela.

Ada juga yang menangis kehilangan saudara, pasien terpapar virus korona yang akhirnya merenggut nyawa. Serta banyak lagi musabab yang membawa duka cita bagi ummat muslim dunia.

Belajar dari kesepian manusia yang memilih berdua saja dengan secangkir teh atau kopi, tegukan yang melegakan dari tiap seruput membuat kita lupa akan segala sesuatu dan hanya kenikmatan yang diberikan oleh serbuk teh atau aroma kopi tersesati yang terbayangkan. Begitu pula seharusnya kita menyelami makna ibadah di tengah pandemi Covid-19 ini. Bahwa ibadah dengan bersepi-sepi akan menuntun kita untuk lebih dekat dengan-Nya, lebih mesra, lebih intim dan lebih interaktif, tanpa dikungkung perasaan lain yang justru menghantarkan kita pada niatan berbeda.

Situasi seperti ini, mestinya bisa kita optimalkan untuk memeras makna dari pahala, salah satunya dengan patuh terhadap imbauan pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas beramai-ramai. Tidak beribadah di masjid, bukan berarti tidak taat. Tidak berinteraksi dengan orang-orang bukan berarti kita krisis sosial. Sebab, di kondisi seperti ini, ungkapan cinta paling bernas adalah dengan memberi jarak pada temu, menghidupkan do'a dan terus mawas diri serta memelas pertolongan Allah SWT agar kita senantiasa dilingkupi rahmat dan kasih-Nya.

Bukankah kerinduan kita terhadap Ramadhan tertuju pada berkahnya yang melimpah? Lalu kenapa kita begitu cemas dan seolah menganggap Ramadhan tanpa ibadah ritual berjamaah seperti coffee latte tanpa art? Mari kita renungi...

Mengutip puisi Jalaludin Rumi, yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Merindu sebab tak bisa bertemu karena jarak itu hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata. Karena bagi mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tak kan ada yang namanya terpisah oleh jarak."

Ramadhan tanpa ibadah ritual berjamaah akan menghantarkan kita pada sesempurna iman, menyucikan jiwa yang mungkin saja selama ini ternodai ria, ketika biasanya untuk menuju mesjid kita harus bersolek memastikan pakaian yang dikenakan terlihat indah dan menawan. Juga ketika biasanya tadarus Al-Qur'an di surau membuat kita seakan berlomba suara siapa yang paling nyaring terdengar, ketika sore hari menjelang buka puasa para remaja menjalar untuk tebar pesona, Ramadhan kali ini menjadikan kita sama dan setara.

Kini, harumnya parfum tak ada yang mencium, fasihnya bacaan tak ada yang memuja, mahal nya pakaian tak ada yang mengira. Hanya Tuhan semata, tempat jiwa dan raga dipersembahkan. Hanya Tuhan semata, Allah Subhanahuwata'ala tujuan ibadah ini terlaksana.

Akhirulkalam, penulis mengajak kita semua untuk menengadahkan tangan, meminta kepada yang maha kuasa, memohon kepada yang maha bijaksana, agar Pandemi Covid-19 ini cepat berlalu.

Ikuti tulisan menarik Yedi Hermawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB