x

Iklan

Rudi Fitrianto

Pengamat Kebijakan Publik, Politik dan Hukum
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 16 Mei 2020 06:37 WIB

Banyak Cara Selamatkan BPJS Kesehatan Tanpa Harus Menaikan Iuran

Presiden Jokowi resmi menaikan iuran / premi BPJS Kesehatan. Seharusnya, jika rekomendasi KPK dijalankan, pemerintah tak perlu menaikkan iuran. Defisit di BPJS selama ini kafrena disebabkan keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes) dan kolektabilitas iuran hanya kurang lebih 50 % pada segmen peserta mandiri atau peserta penerima upah (PBPU).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jagad dunia maya Indonesia kemarin dihebohkan oleh berita kenaikan tarif premi BPJS Kesehatan. Ditengah Pendemi Covid 19, Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, resmi menaikan iuran/premi BPJS Kesehatan.

Perpres tersebut memuat ketentuan bahwa kenaikan premi dibebankan untuk semua kelas, tidak hanya untuk golongan kelas I dan II, tapi mereka yang memilih kelas III pun juga harus merasakan dampak dari keputusan kenaikan premi tersebut.

Adapun jumlah iuran yang harus dibayar bagi masyarakat yang menggunakan BPJS Kesehatan pasca dikeluarkan Perpres tersebut adalah sebagai berikut; untuk golongan kelas I masyarakat dibebani untuk membayar sebesar Rp. 150.000,00-/ bulan, Iuran Kelas II sebesar Rp. 100.000,00-/bulan, sedangkan kelas III berlaku untuk tahun 2021 sebesar Rp.35.000/bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebijakan pemerintah untuk menaikkan premi tersebut, mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia, mereka banyak mencurahkan pemikiran dan pandangannya melalui lini masa facebook dan twitter.

Bagi sebagian masyarakat yang setuju dengan keputusan pemerintah menilai bahwa pemerintah sudah tepat menaikkan premi BPJS Kesehatan ditengah krisis yang sedang dihadapi perusahaan plat merah dan cara tersebut adalah paling strategis. Sedangkan bagi mereka yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut menilai bahwa pemerintah tidak mempunyai empati dan simpati, di tengah masa–masa krisis seperti ini kebijakan tersebut diambil dan tentunya akan memberatkan kehidupan mereka.

Mahkamah Agung melalui putusanya dengan nomor 7P/HUM/2020 yang beberapa waktu yang lalu diajukan judicial review oleh Komunitas Penyitas Jantung dan Paru, telah membatalkan Keppres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang didalamnya mengatur kenaikan premi BPJS hingga 100 %, dan mengembalikan ke tarif premi semula.

Putusan tersebut merupakan blue print bagi para pencari keadilan, untuk memperoleh premi yang wajar menurut kepatutan masyarakat Indonesia. Sebagai negara hukum (rechstaat), amar putusan tersebut seharusnya dapat dijalankan oleh para pemangku jabatan, namun kenyataannya Pemerintah saat ini telah mengeuarkan Perpres terbaru untuk menaikkan premi BPJS Kesehatan. Seberapakah efektif kebijakan tersebut untuk proses penyelamatan BPJS Kesehatan?

Landasan Historis BPJS Kesehatan

Pelayanan kesehatan atau disebut health care service merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. 

Pemerintah Presiden Yudhoyono kala itu telah mencanangkan Visi Indonesia 2025, yaitu menjadi negara maju pada tahun 2025. Namun Pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam mewujudkan visi dimaksud. Para pakar dibidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh kemudahan akses pada pendidikan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas.

Bahkan UNDP (United Nations Development Programme) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia yang dua dari tiga indikatornya (peluang hidup, pengetahuan dan hidup layak) terkait dengan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi dari kesehatan, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan.

Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Dengan demikian, pemerintah akan mulai menerapkan kebijakan Universal Health Coverage dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dimana sebelumnya pemerintah (Pusat) hanya memberikan pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan TNI-POLRI.

Kebijakan ini umumnya diterapkan di negara-negara yang menganut paham welfare state yaitu negara di Eropa Barat dan negara jajahan mereka serta beberapa negara Amerika Latin.

Perubahan kebijakan dalam layanan kesehatan dimaksud tidak terlepas dari himbauan World Health Assembly (WHA), pada sidang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, agar setiap negara anggota memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat khususnya bagi yang kurang mampu.

Dalam implementasi SJSN, Pemerintah telah membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan atas kecelakaan kerja, kematian, pensiun dan hari tua bagi para pekerja swasta yang telah terdaftar pada jaminan tersebut.

BPJS Kesehatan lahir atas inisiatif Pemerintahan Presiden Yudhoyono yang kala itu merasa prihatin terhadap pelayanan Kesehatan yang ada di negara tercinta ini, jaminan kesehatan masyarakat sebelum lahir BPJS Kesehatan masih dibedakan menjadi dua kategori, yakni Asuransi Kesehatan Kesehatan bagi keluarga Pegawai Negeri (ASKES PNS)  dan Asuransi Kesehatan Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (AKSESKIN). ASKES PNS juga masih dibagi lagi berdasarkan kelas pelayanan, penggolongan tersebut dipengaruhi oleh golongan masa kerja PNS tersebut.

Adanya perbedaan istilah dan kartu identitas tersebut membawa konsekuensi tersendiri, bagi mereka yang menggunakan ASKES PNS akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik daripada mereka yang menggunakan ASKESKIN.

Diskriminasi tersebut, jika dibiarkan terus menerus juga tidak baik, apalagi negara kita menganut Ideologi Pancasila yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Dan kini, konsekuensi lahirnya UU BPJS, seluruh masyarakat Indonesia baik kaya dan miskin wajib mengikuti program tersebut dan dengan satu nama BPJS Kesehatan.

Dengan semangat gotong royong yang menjadi dasar sistem ini, menjadikan ciri khusus, dan mewakili semangat keadilan sosial, serta mengingatkan kita pentingnya menjaga filosofi bangsa Indonesia yang diajarkan para pendahulu. 

BPJS Harus Berbenah

Pendemi Covid 19 saat ini telah membawa dampak psikologi bagi sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia. Selain tengah menghadapi perang dengan pendemi tersebut, berita  terkait keputusan Pemerintah yang resemi akan menaikan premi BPJS Kesehatan, tentu sangat membawa dampak psikologi bagi masyarakat saat ini.

Kebijakan tersebut, mungkin bagi Pemerintah adalah “pil pahit” yang harus diambil, untuk menyelamatkan perusahaan plat merah tersebut.

Menurut informasi dari berita online, kenaikan tarif premi BPJS Kesehatan diakibatkan karena adanya defisit. Jika kita kaji lebih jauh, apakah dengan menaikan premi tersebut merupakan cara paling efektif dan mujarab untuk proses penyelamatan? dan apakah cara tersebut merupakan opsi terakhir?

Menaikan tarif premi merupakan salah satu cara dari banyak opsi yang dapat diambil oleh Pemerintah saat ini, masyarakat memandang masih banyak jalan atau cara yang seharusnya diambil Pemerintah sebelum opsi tersebut dilakukan.

Opsi menaikan premi BPJS Kesehatan seharusnya menjadi langkah terakhir sebelum beberapa opsi diambil. Apalagi saat ini beban masyarakat diseluruh lapisan tengah dalam keadaan susah, karena faktor ekonomi dan juga bisnis saat ini dalam keadaan kurang baik akibat badai Covid-19.

Selain dengan menaikan premi, pemerintah juga dapat mengevaluasi menejemen dan tata kelola BPJS, dan mencari tahu penyebab utama lembaga plat merah ini terus mengalami defisit. Evaluasi internal secara menyeluruh sangat penting agar pangkal dari masalah utama BPJS saat ini dan kedepan dapat ditemukan dan diselesaikan.

Disamping itu, opsi lainya adalah Pemerintah juga dapat mengalihkan anggaran belanja untuk infrakstruktur dan/atau  Ibu Kota baru untuk memberikan suntikan atau stimulus bagi BPJS Kesehatan agar tetap survive.

Opsi lain dalam rangka penghematan keuangan BPJS Kesehatan adalah dengan menunda kenaikan gaji dan tunjangan bagi para pejabat BPJS Kesehatan hingga badai yang terjadi berakhir dan perusahaan benar - benar dalam keadaan sehat. 

Selain itu pasca putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melaksanakan kajian terhadap peristiwa yang terjadi didalam tubuh BPJS Kesehatan.

Menurut wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilansir di website resmi KPK RI (kpk.go.id), Nurul Ghufron dalam konferensi persnya mengatakan bahwa KPK telah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Menurutnya, jika rekomendasi tersebut dijalankan maka premi BPJS Kesehatan tidak perlu dinaikkan. 

Beliau menambahkan bahwa keputusan pembatalan yang dikeluarkan oleh MA sejalan dengan temuan KPK pada tahun 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit cukup parah.

Ada beberapa hal yang melatarbelakanginya, Pertama, karena keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes), dan kedua yakni kolektabilitas iuran hanya kurang lebih 50 % pada segmen peserta mandiri atau peserta penerima upah (PBPU).

Selain itu ditambahkan oleh deputi pencegahan KPK Pahala Nainggolan bahwa masih adanya overpayment sebesar Rp. 33 Miliyar per tahun menjadi persoalan tersendiri bagi BPJS Kesehatan. Hal ini menurut beliau disebabkan karena empat dari enam  rumah sakit bermain “nakal” melakukan klaim tidak sesuai kelasnya.

BPJS Kesehatan saat ini merupakan Lembaga Jaminan Kesehatan Sosial Kemasyarakatan yang sangat di idolakan masyarakat Indonesia, dengan sistem gotong royong yang menjadi ciri khasnya. Kiprah BPJS Kesehatan juga menjadi tinta emas tersendiri untuk perjalanan bangsa Indonesia ke depan.

BPJS telah banyak membantu menyelamatkan ribuan bahkan jutaan nyawa rakyat Indonesia melalui pelayanan kesehatannya.

Harapan besar rakyat Indonesia saat ini adalah semoga BPJS Kesehatan terus ada, dan  terus membantu serta menemani perjalanan kesehatan masyarakat Indonesia ke depan. Teriring doa, semoga permasalahan ditubuh BPJS Kesehatan dapat terselesaikan dengan baik dan selamat. ****

Ikuti tulisan menarik Rudi Fitrianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler