x

Jokowi menjadi nahkoda membangun perahu untuk mengarungi lautan krisis akibat pandemi Covid 19.

Iklan

Rinsan Tobing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 17 Mei 2020 14:10 WIB

Memerangi Virus Corona Layaknya Berlayar Sembari Membangun Perahu

Dengan segala keterbatasan sumber daya yang ada, perang melawan krisis sebagai dampak pandemi Covid 19 harus dilakukan. Semua upaya ini seperti layaknya berlayar sembari membangun perahu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Virus Corona baru, begitulah dia disebut, telah mengharubiru kehidupan hampir seluruh penghuni bumi ini. Kejadian yang tidak pernah dialami umat manusia di bumi ini telah merangsak masuk ke relung kehidupan setiap orang. Tidak ada yang luput dari badai yang ditiupkan virus yang mengakibatkan penyakit Covid 19.

Saat ini, angka kematian bahkan telah melebihi 300 ribuan dan yang terinfeksi sudah melebihi 4,5 juta. Amerika menjadi ‘juara’-nya saat ini dengan kematian mendekati 100 ribuan dan terinfeksi hampir 1,5 juta orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia tidak luput dari cengkeraman virus maut yang dapat membunuh manusia yang kena dan memiliki penyakit pernyerta. Virus ini mampu mengamplifikasi penyakit penyerta yang terinfeksi menjadi lebih mematikan. Hingga hari ini, data terinfeksi telah melewati 17.000. Penambahan masih ada dan tinggi. Ratusan orang terinfeksi setiap hari. Angka sembuh juga ada, tetapi belum meyakinkan.

Terlepas dari semua pendapat yang cenderung menyudutkan pemerintah dengan berbagai tuduhan yang pastinya muncul karena ketidakjelasan informasi, bisa kita lihat sebenarnya tidak ada satu negara pun yang siap dengan kondisi yang diakibatkan virus Corona baru ini. Meskipun virus corona sudah ada seperti yang mengakibatkan MERS dan SARS, tetapi belum ada varian yang seganas ini. Bahkan, menurut para ahli, terdapat tiga tipe yang disebut sebagai tipe A, B dan C. Meskipun ada catatan yang mengatakan ada 116 varian dari virus corona baru. Virus baru ini sungguh sakti dan pintar sekali.

Di situlah, dengan segala keterbatasan, tingkah virus yang aneh dan betul-betul membingungkan, ternyata manusia sejauh ini tidak memiliki arsenal untuk mengalahkan virus ini. Berbagai macam obat dicobakan. Obat untuk penyakit malaria, cloroquine,  diujikan. Remdesivir, obat untuk MERS juga diberikan. Belum ada indikasi yang membuktikan bahwa itu adalah obat untuk membunuh virus Corona.

Tidak kurang, terdapat 100 penelitian yang dilakukan untuk menemukan vaksin dan obatnya. Waktu menjadi musuh dalam pencarian anti virus. Selain itu, peralatan yang diperlukan juga tidak memadai.

Di Indonesia sendiri, ditemukan para pekerja medis yang harus berjibaku mengatasi akibat virus ini di garda depan perang melawan corona dengan perlengkapan seadanya. Semua barang yang diperlukan untuk memerangi dampak virus ini menjadi mahal. Sikap masyarakat tidak juga bisa mendukung upaya dengan berbagai alasan. Alasan bersifat spiritual pun terdapat di masyarakat. Tingkah masyarakat yang tidak peduli memperburuk medan perang ini.

Dengan semua cerita yang ada dalam masa pandemik Covid 19 dan segala upaya yang dijalankan, sepertinya bisa digambarkan bahwa semua bangsa seperti sedang berlayar di atas kayu yang kemudian dari sana dibangun perahu, sembari mengarungi lautan yang ganas.

Ungkapan berlayar sembari membangun perahu ini digunakan juga ketika merespon dampak bencana tsunami Aceh. Tidak ada pengalaman menangani bencana sebesar itu. Kebijakan pemerintah masih dalam konteks darurat jika ada kejadian bencana. Dana cadangan untuk bencana tidak tersedia. Undang-undang tidak ada, sebagai payung hukum bagi pemerintah dalam meresponnya. Peralatan tidak memenuhi kebutuhan. Sumber daya manusia sama sekali nihil.

Tetapi, dampak bencana harus ditangani. Bergerak dengan apa yang ada. Melakukan sesuatu secara instingtif. Syukurnya, bencana ini tidak meluluhlantakkan seluruh negara. Dengan sangat cepat, dukungan dari negara-negara sahabat menjadi sangat penting dan tersedia. Tidak kurang dana milyaran dolar masuk ke Aceh untuk upaya penanganan bencana selama setidaknya 10 tahun, yang berasal dari berbagai negara dan donor.  Benar-benar, semua kekuatan dibangun sembari merespon bencana. Semua berawal dari sebatang kayu membuat perahu respon dalam lautan upaya rekonstruksi yang membutuhkan upaya dan biaya sangat besar.

Harus Dibangun Sendirian

Negara ini pun dan juga negara-negara lainnya sedang berjibaku untuk memerangi virus ini. Sebagian besar bangsa tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sumber dana juga sangat terbatas, karena negara-negara maju sekalipun yang biasa membantu negara-negara yang miskin, tidak bisa berbuat banyak. Di negerinya perlu sumber daya untuk memerangi dampak Covid 19.

Indonesia menghadapi bencana ini sendirian, bisa dikatakan begitu. Tidak ada dukungan yang dahsyat seperti ketika kejadian di Aceh terjadi pada 2004 lalu. Indonesia harus berjuang menangani kasus-kasus corona, baik yang infeksi, yang dirawat bahkan yang meninggal sekalipun. Peralatan tidak memadai. Sumber daya negara terpaksa diarahkan seluruhnya menangani covid 19 ini. Perekonomian terguncang hebat. Penurunan pendapatan negara dari pajak terjun bebas. Peningkatan pengangguran tinggi. Terjadi kenaikan masyarakat miskin hingga 50%.

Jika krisis ini masih panjang dan ekonomi tidak berjalan, maka dampaknya akan jauh lebih dalam lagi. Kekacauan sosial akhirnya bisa terjadi. Negara bisa-bisa luluh lantak dan pemerintahan bisa tumbang. Kondisi ini harus dihadapi dengan kekuatan sendiri.

Bangun Perahu Tetap Berlayar

Pilihannya sangat sulit. Dalam bahasa Jokowi, pilihannya buruk dan buruk. Semua buruk. Memperlonggar pembatasan sosial berskala besar, bisa mengakibatkan penularan lagi. Menutup keran ekonomi dengan pembatasan gerak, negara bisa tumbang. Tidak ada benar-benar upaya yang manjur untuk mengatasi badai di lautan krisis akibat virus corona ini. Mau tidak mau, pilihannya adalah dengan sebatang kayu, mulai bangun perahu dan hadapi gelombang. Setiap orang harus turut serta, tidak hanya menjadi penumpang. Tidak bisa juga, karena perahunya belum jadi. Tidak bisa hanya teriak, karena suaranya akan hilang, tak terdengar oleh ombak yang menghantam.

Dalam konteks membangun perahu sambil berlayar itu, Jokowi pun mengeluarkan kebijakan yang di mata banyak orang akan selalu salah. Dari pada mengunci, Jokowi memilih pembatasan sosial berskala besar. Setelah dilihat tidak mampu juga untuk meredam, maka upaya parsial dilakukan dengan mengijinkan mereka yang usia di bawah 45 tahun untuk bisa bekerja. Upaya keras dilakukan untuk membangun perlengkapan perahu.

Beberapa industri dalam negeri dikerahkan untuk membuat alat-alat yang dibutuhkan seperti ventilator, masker dan alat perlengkapan diri yang diperlukan di rumah sakit. Setiap industri kecil dan menengah yang relevan, diminta membuat masker yang diperlukan dan menjadi senjata utama saat ini.

Realokasi anggaran dilakukan karena cadangan tidak cukup untuk membiayai penurunan aktivitas ekonomi dan ujungnya pada pendapatan pemerintah. Pembangunan sementara terhenti. Proyek-proyek yang tidak strategis diberhentikan dulu. Anggaran yang tidak perlu disunat. Beberapa kenyamanan aparat pemerintah dipotong. Orang-orang miskin disangga hidupnya, meskipun disana-sini ada teriakan bantuan tidak dibagikan dengan benar. Mengurusi ratusan juta rakyat di tengah krisis yang diakibatkan Covid 19 ini sungguh menjadi tantangan besar dalam membangun perahu itu.

Upaya-upaya terus dilakukan untuk berlayar dan membangun perahu. Ombak ganas harus dihadapi. Semua orang harus terlibat dengan membawa kayu masing-masing untuk membangun perahu itu. Tidak boleh ada yang diam. Masing-masing punya peran, bahkan dengan disiplin rebahan di rumah sakalipun, itu adalah sebatang kayu untuk membantun perahunya.

Kapan perahu itu akan jadi, tidak ada yang tahu? Apakah perahu itu mencapai tujuan dan lautan krisis Covid ini menjadi tenang, tidak ada yang bisa memastikan selain hanya meramal. Tetapi, negara ini harus bergerak. Perahu harus tetap dibangun dan dikayuh. Nahkoda bekerja keras untuk memimpin pembangunan itu sambil mengarahkan perahu yang sedang dibangun. Ombak harus diterjang.

Jika penumpang ada yang muntah, mungkin tidak diinginkan, tetapi harus diterima. Jiak ada penumpang yang jatuh ke laut karena hempasan gelombang, pastinya tidak direncanakan, terpaksa harus dimaklumi. Perahu itu harus tetap dibangun, meskipun layar belum sepenuhnya tegak, lambungnya belum ututh, lautan harus dilayari.  Pilihannya memang hanya itu.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Rinsan Tobing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler