x

Sjumlah calon penumpang dengan mengenakan masker menunggu rangkaian KRL Commuterline di Stasiun KA Tanah Abang, Jakarta, Sabtu, 16 Mei 2020. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia akan menghadapi kehidupan normal yang baru (New Normal) di mana masyarakat harus hidup berdampingan dengan COVID-19 sehingga protokol kesehatan akan terus diterapkan secara ketat dalam waktu mendatang. ANTARA

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 10 Juni 2020 06:33 WIB

New Normal: Kembali Macet, Kembali Pengap?

Bila transportasi publik tidak mampu menampung dan membawa penumpang dalam jumlah banyak, waktu tunggu calon penumpang menjadi cenderung bertambah lama. Semakin lama waktu tunggu, semakin lama pula interaksi antara calon penumpang dan ini berpotensi meningkatkan risiko penularan kembali Covid-19. Akankah kita terperangkap labirin? Jangan sampai!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Kran aktvitas masyarakat dibuka lebih longgar lagi. Para pekerja kembali ke kantor, pabrik, toko, restoran, hotel, dan seterusnya. Jalan-jalan dirayapi kendaraan kembali, meninggalkan sepi di bulan-bulan kemarin. Moda transportasi publik memang mulai dijalankan, tapi ada yang berbeda dibandingkan dengan sebelum wabah berkecamuk. Kini, protokol kesehatan diberlakukan agar warga pemakai bis, kereta, maupun sarana transportasi umum lainnya tetap aman.

Pengelola KRL memberlakukan sejumlah aturan, umpamanya penumpang menjaga jarak, tidak boleh berbicara, dan selalu menggunakan masker. Namun, praktik menjaga jarak antar penumpang minimal 1 meter, khususnya saat berada dalam kereta, ternyata tidak mudah dilakukan ketika kereta mulai padat penumpang. Kepadatan juga dijumpai di stasiun-stasiun, calon penumpang antri menunggu giliran naik kereta karena kapasitas terisi gerbong dikurangi.

Kereta rel listrik memang telah jadi pilihan bagi warga yang tinggal relatif jauh dari ibukota. Transportasi publik ini dianggap lebih cepat sampai tujuan ketimbang kendaraan pribadi. Namun, selama masa pandemi, pemakaian sarana transportasi menghadapi tantangan karena kapasitas kursi yang dapat digunakan berkurang. Pemberlakuan protokol kesehatan, seperti keharusan menjaga jarak fisik, menyebabkan sarana transportasi tak dapat terisi penuh seperti masa normal sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila persoalan baru yang mulai terlihat ini tidak segera memperoleh pemecahan atau jalan keluar, penumpang kereta akan menumpuk, baik saat masih mengantri di peron maupun di dalam gerbong. Protokol yang telah disusun menjadi sukar dijalankan secara semestinya. Mungkinkan potensi penularan dapat terjadi bila ada penumpang yang lolos pemeriksaan kesehatan lantaran tidak menunjukkan gejala? Bersikap waspada rasanya akan lebih baik ketimbang memercayai bahwa semua rencana akan berjalan sebaik-baiknya.

Bila transportasi publik tidak mampu menampung dan membawa penumpang dalam jumlah banyak, waktu tunggu calon penumpang menjadi cenderung bertambah lama. Ini akan mengurangi nilai lebih yang dimiliki transportasi seperti KRL, yaitu waktu tempuh. Alternatif seperti menambah gerbong dan frekuensi perjalanan dapat dicoba untuk mengatasi makin lamanya waktu tunggu maupun mengurangi kepadatan penumpang di stasiun maupun di kereta. Semakin lama waktu tunggu, semakin lama pula interaksi antara calon penumpang dan ini berpotensi meningkatkan risiko penularan dan peningkatan kembali kasus positif Covid-19.

Situasi ini, bila tidak segera diatasi, berpotensi mendorong pekerja yang memiliki kendaraan pribadi--mobil ataupun sepeda motor--untuk menggunakan kembali kendaraan mereka. Di samping untuk menghindari kemungkinan mengantri dalam waktu lebih lama untuk dapat naik bis atau kereta mengingat kapasitas yang boleh diisi berkurang, banyak warga mungkin juga berpikir untuk menekan risiko tertular karena kepadatan antrian yang cukup tinggi. Mereka akan menekan risiko bertemu dan berpapasan dengan warga lain yang mungkin 'membawa' virus saat berada di terminal, stasiun, atau dalam kereta.

Jika semakin banyak kendaraan pribadi yang kembali merayapi jalan-jalan di perkotaan, penurunan tingkat polusi yang sempat dinikmati mungkin akan berlalu. Beberapa waktu lalu warga Jakarta, misalnya, dapat menyaksikan langit biru dan bahkan gunung di kejauhan, suatu pemandangan yang langka di masa sebelum pandemi. Penurunan jumlah kendaraan yang berlalu-lalang di kota telah berkontribusi terhadap penurunan tingkat polusi secara signifikan. Kemacetan lalu lintas pun berkurang.

Inilah salah satu dilema yang memerlukan jalan keluar ketika warga telah diperbolehkan memasuki kehidupan new normal. Hal-hal baik yang dapat diambil dari wabah ini, seperti turunnya tingkat polusi di perkotaan, seyogyanya dapat dipertahankan. Potensi peningkatan kembali kasus positif Covid-19 memerlukan kewaspadaan ekstra, atau kita akan terperangkap dalam labirin. Jangan sampai! >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terkini

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB