x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 4 Juli 2020 10:46 WIB

Nakal Bukan Berarti Binal, Memoar Masa SMA di Jakarta

Nakal bukan berarti binal. Memoar masa SMA di Jakarta

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nakal Bukan Berarti Binal, Kisah Masa SMA

Nakal bukan berarti binal, itu bukan judul film. Bukan judul cerpen. Melainkan sekadar kisah seorang anak manusia di masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Bolehlah disebut memoar, sebuah catatan kecil di masa SMA. Karena siapapun, pasti pernah sekolah SMA. Bahkan punya rekam jejak di masa-masa SMA. Hebatnya, pengalaman itu pastinya tidak akan pernah bisa dipanggil kembali. Semuanya sudah berlalu. Dan kini tinggal sejarah.

Masa SMA itu memang masa lalu. Hanya bisa dikenang. Tanpa bisa kembali lagi. Tapi masa lalu itulah yang jadi alasan kita berada di masa kini. Dan terus bergerak ke masa depan. Karena tanpa masa lalu, sepilu dan seceria apapun, tidak akan bisa seperti sekarang. Masa lalu juga jangan di-baperin. Justru masa lalu itu pembelajaran. Momen untuk introspeksi dan mengambil hikmah untuk menjadi lebih baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nakal bukan berarti binal.

Seperti saya dan teman-teman, kebetulan pernah jadi siswa di SMA Negeri 30 Jakarta. Tepatnya, Angkatan 1989. Bukan hanya beruntung. Tapi bersyukur pula. Pernah belajar di SMA Negeri 30 Jakarta yang cukup bersejarah. SMA yang ada di Jalan Ahmad Yani Bypass, persisnya di Rawasari seberang FH Univ. Trisakti. Saat itu, di depan sekolah ada lapo. Ada pangkalan bemo, bahkan ada halte yang jarang dipakai untuk menunggu bus tingkat. Mengingat masa SMA itu, ada kesan kuat anak-anak SMAN 30 Jakarta nakal-nakal. Tapi ingat, bukan berarti binal.

Memang ada teman yang alim di masa SMA. Tapi sebagian besar sih, menurut saya, nakal. Nakal dengan caranya masing-masing. Nakal pada zamannya. Suka berbuat kurang baik, gemar mengganggu, bakkan perilakunya jelek. Tapi bukan binal, karena binal itu liar alias bengal. Anak SMA yang pakai baju seragam dikeluarin. Pakai tas talinya panjang tapi tidak ada bukunya. Lengannya dilinting.Plus model rambutnya belah tengah yang cowok dan kepangan yang cewek. Seusai pulang sekolah, malah nongkrong. Itulah ciri-ciri anak nakal.

Makin jelas nakalnya anak SMA kala itu. Saat makan di lontong atau ketoprak tidak bayar, main kabur saja. Judulnya “madol’ tapi nongkrong di lapo depan sekolah. Lompatin pagar sekolah cuma pengen tidak belajar; sekolah dianggap penjara kali ya. Belum lagi kerjanya “ngecengin” guru. Saking nakalnya, mobil guru yang di parkir di halaman sekolah pun sengaja didorong sampai kepojokan. Punya waktu luang sedikit dipakai merokok. Hebatnya lagi saat ngerokok, gayanya kayak orang dewasa yang udah bisa cari duit sendiri. Eudann…

Buat Angkatan 89 SMAN 30 Jakarta. Pasti ingat banget sama Pak Parto Sukari Kepsek Sukari, Pak Dongoran, Pak Hari, Pak Harto, Pak Sahertian, Ibu Anda, Ibu Nurmaida, Miss Pangaribuan, Pak Pono Fadlullah, dan sebagainya. Merekalah para guru yang harus dihormati dan dikenang. Karena ilmu yang ditebarkannya. Bila mereka telah “pergi” semoga amal dan ilmu baiknya akan mengatarkan ke surga, amiin.

Saya menyebutnya, anak-anak nakal di usia SMA.

Anak-anak yang begitu bahagia bila jam pelajaran kosong. Guru tidak masuk malah bergembira ria sambil ketok-ketok meja. Sibuk gak karuan. Saat jam kosong, ada yang ngerumpi sambil dandan. Ada yang jajan ke kantin, Ada yang ke toilet tapi gak balik-balik. Brengseknya zaman itu, anak cowok kalau becanda nelanjangin temannya di kelas. Geblek lagi edan, Kelas berisik, gaduh tak terbendung. Tapi giliran datang guru ngecek, kelas langsung mendadak sunyi senyam kayak kuburan. Dasar nakal.

Anak-anak SMA itu memang nakal. Sesuai zamannya sih. Apalagi pagi hari pas gerbang sekolah mau ditutup. Tiba-tiba, anak-anak nakal itu berubah jadi pelari andal. Jelang bel masuk kelas, berasa panik dan takut. Lari ngebut bak sprinter nasional. Kesannya kayak rajin belajar, gak rela ketinggalan jam belajar. Aneh. Di SMA kala itu, milih jurusan A3 Sosial, A2 Biologi, dan A1 Fisika. Tapi anehnya, mata pelajaran favoritnya justru olahraga kesehatan (orkes). Tiap pelajaran orkes, semua siswa semangat luar biasa. Bergairah sekali pakai kaos. Dan cari keringatnya melebihi atlet Asian Games. Padalah itu semua drama. Intinya, mereka senang gak belajar di kelas. Pengen keluar kelas doang. Apalagi mereka yang tiap jam pelajaran bawaannya bolak-balik ke kantin. Punya duit kagak, tapi ke kantin melulu. Ngapain coba?

Zaman SMA tahun 1989 juga ada geng-geng-an. Kelompok-kelompok siswa sesuai hobi dan komunitasnya. Ada yang OSIS, ada yang PMR, ada yang PASA, ada pula Rohis. Bahkan ada geng sesuai aliran music, seperti Rap gaya Iwa K, Beatles atau Genesis. Ada juga geng tukang mabok, geng judi kapur, dan geng basket. Tapi yang pasti, di antara mereka, sedikit sekali yang gemar membaca buku. Bila ada pun, paling bacaannya Lupus atau nulis “diary” tiap malamakibat  terpengaruh salah satu radio zaman itu. Tontonan TV paling favorot ya “Dunia Dalam Berita” atau dengerin radio lakon “Catatan Si Boy”. Boro-boro punya ponsel. Giliran mau telepon, paling banter modal koin terus nyari “telepon umum” di pinggir jalan berkotak biru. Sehabis telepon pun, mesin telpon-nya dipukulin, digedor-gedor. Biar uang logamnya bisa keluar lagi. Agak criminal perilakunya ya.

Jadi simpulannya, masa-masa di SMA itu nakal bukan berarti binal. Utamanya, Angkatan 89 SMAN 30 Jakarta. Anak-anak yang jajannya di lontong sayur Sugeng, atau si Pak Kue jangkung, atau ketoprak yang di pojokan kantin.

Maaf nih. Akhirnya saya pun terbatas “daya ingat” untuk memanggil memori masa SMA. Saking nakalnya jadi gampang lupa. Terlalu banyak kenangan yang sulit untuk dilupakan. Apalagi urusan cewek. Terlalu banyak di-demenin tapi gak kesampaian. Memang benar kata orang, masa SMA itu masa yang paling indah. Pantas, ada film-nya “Gita Cinta Dari SMA”. Tapi satu hal yang pasti. Sangku sekolah SMA itulah yang jadi momen siapapun “menemukan” jati dirinya. Masa SMA itu masa penting introspeksi diri. Jadi tahu mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang baik dan tidak baik. Untuk siapapun, alumni SMAN 30 Jakarta.

Tentu, tulisan ini hanya sejarah. Tidak lebih tidak kurang. Agar tetap mampu “menengok sedikit” ke masa lalu. Dan tetap fokus “menatap lebar” ke masa depan. Seperti kata Pak Soekarno, “JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH – JAS MERAH”.

Biar bagaimana pun, SMAN 30 Jakart itu punya pemerintah. Sekolah negeri yang biayanya dari pemerintah. Maka tetaplah mencintai bangsa Indoenesi, apapun keadaannya. Sebagai wujud tanggung jawab sosial kita bersama. Karena kita adala adalah HOMO HOMINI SOCIUS, manusia adalah kawan bagi sesamaBukan HOMO HOMINI LUPUS, manusia adalah serigala bagi sesama.

Ketahuilah, kebersamaan dan perpisahan itu memang dua hal yang saling bertolak belakang. Tapi kedua-duanya dibutuhkan, agar tetap mau saling mendukung satu sama lainnya. Salam ILUNI 30. Nakal itu bukan berarti binal …

 

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB