x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 28 Agustus 2020 12:54 WIB

Tantangan Baru: Layanan Over the Top (oleh Kemala Atmojo)

Belakangan ini makin sering muncul pendapat tentang anjloknya oplah media cetak. Secara umum dikatakan media online (jurnalisme.com) menjadi salah satu sumber keterpurukan. Konon pembaca sekarang lebih menyukai berita yang cepat, meski tidak mendalam. Ada benarnya, meskipun ini bukan satu-satunya penyebab. Maraknya layanan Over The Top (OTT) adalah penyebab lebih besar. OTT tidak saja menghantam media cetak, tetapi juga industri televisi serta perusahaan telekomunikasi. Sayangnya, aturan mengenai OTT ini dianggap masih abu-abu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Belakangan ini makin sering diadakan diskusi melalui Zoom tentang anjloknya oplah media cetak. Secara umum dikatakan bahwa media online (jurnalisme.com) menjadi salah satu sumber keterpurukan.  Konon pembaca sekarang lebih menyukai berita yang cepat, meski tidak mendalam. Ada benarnya, meskipun --menurut saya-- jurnalisme.com bukan satu- satunya penyebab rotoknya media cetak.

Ada kondisi baru yang lebih besar dari sekadar menjamurnya jurnalisme.com, yakni layanan Over the Top (OTT). Secara sederhana, OTT dapat dipahami sebagai layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi. OTT ini setidaknya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori.

Pertama, aplikasi seperti WhatsApp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, konten/video on demand / streaming seperti Youtube, HOOQ, Iflix, Viu, dan lain sebagainya; dan Ketiga adalah jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber, dan lain sebagainya.

Tidak semua layanan OTT ini gratis. Sebut misalnya Netflix, iTunes, dan beberapa lainnya.
Kita tahu, konten yang disiarkan melalui channel Youtube, misalnya, demikan banyak dan
bervariasi, baik oleh pribadi atau institusi asing maupun lokal. Banyak selebriti bahkan tokoh politik kita yang memiliki channel sendiri di Youtube.

Maraknya OTT ini tidak saja menghantam media cetak, tetapi juga memukul industri televisi serta perusahaan telekomunikasi pada umumnya. Sayangnya, aturan mengenai OTT ini dianggap masih kabur atau abu-abu dan terus menjadi perdebatan di sini.

Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, misalnya, dikatakan bahwa: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Kata kunci dalam pasal itu adalah pemancaran yang menggunakan “frekuensi radio”.
Sedangkan layanan OTT menggunakan internet. Hal ini menyebabkan banyak layanan OTT yang tidak atau belum tersentuh UU Penyiaran. Padahal, bagi penyelengara siaran berbasis frekuensi radio diharuskan memenuhi berbagai aturan.

Kita tahu UU Penyiaran sedetidaknya mengatur 6 (enam) hal. Pertama, asas penyiaran,
tujuan, fungsi, dan arah penyiaran di Indonesia. Kedua, persyaratan penyelenggaraan
penyiaran. Ketiga, perizinan penyelenggaraan penyiaran. Keempat, pedoman mengenai isi
dan bahasa siaran. Kelima, pedoman perilaku siaran. Keenam, pengawasan terhadap
penyelenggaraan penyiaran.

Keenam hal di atas bukan hanya diatur, tetapi harus dipatuhi oleh penyelenggara penyiaran tradisional. Misalnya, mereka harus berbadan hukum dan memiliki izin siaran. Sedangkan penyelenggaran siaran berbasis internet tidak diharuskan ketentuan yang sama.

Lalu, dalam hal konten, penyelenggara penyiaran tradisional wajib tuntuk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Apalabila tidak sesuai dengan ketentuan, mereka akan mendapat teguran hingga sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini juga tidak berlaku bagi penyelengara penyiaran berbasis internet.

Adanya beberapa perbedaan perlakuan itu (unequal treatment) bisa jadi merugikan para
penyelenggaran siaran berbasis frekuensi radio. Pertanyaannya sekarang, apakah OTT ini
memang perlu diatur sendiri? Atau UU Penyiaran direvisi agar OTT juga masuk dalam
jangkauan pengaturan?

Jawabannya mungkin tidak harus buru-buru. Perlu dipikirkan dari beberapa sudut pandang agar nantinya tidak merugikan masyarakat dalam rangka mengekspresikan dirinya di tengah zaman yang semakin terbuka.

Jika pilihannya diatur, konsekuensinya adalah tidak semua orang (termasuk mantan jurnalis cetak) bisa membuat konten untuk disebarluaskan begitu saja. Mulai dari badan hukum sampai isi konten akan dituntut untuk sesuai dengan aturan yang diberlakukan.

Bisa jadi malah konten, khususnya film, harus pula disensor terlebih dahulu.
Sedangkan jika tidak diatur seperti sekarang, maka semua orang dapat mengembangkan
dirinya dan berpartisipasi dalam kemajuan budaya bangsa. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di situ dikatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.”

Dalam rangka hak mengembangkan diri itu, UU HAM menambah lagi dengan Pasal 14 yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Lalu disusul Pasal 15 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Apalagi jika diingat bahwa internat bukanlah spektrum frekuensi radio yang merupakan
sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan
dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Karena itu, apa dasarnya dan apa urgensinya negara mau mengatur?

Pertanyaan-pertanyaan kritis dari berbagai sisi bisa terus dikembangkan. Tetapi yang jelas
bahwa dunia baru, layanan baru, berupa OTT ini menjadi tantangan baru bagi pelaku media tradisional yang kini tampak semakin muram.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler