x

corona

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 September 2020 11:56 WIB

Bahaya, Kebijakan Antardaerah Terus Dibiarakan Tak Seragam, Pilkada pun Dipaksakan

Bahaya, kebijakan penanganan corona antardaerah terus dibiarkan tak seragam dan Pilkada pun dipaksakan. Padahal Presiden baru bilang, kesehatan nomor satu dan WNI dilarang masuk Malaysia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bahaya, kebijakan penanganan corona antardaerah terus dibiarkan tak seragam dan Pilkada pun dipaksakan. Padahal Presiden baru bilang, kesehatan nomor satu dan WNI dilarang masuk Malaysia.

Corona masih terus merajalela, namun hal-hal yang menyebabkan corona terus dapat berkembang biak malah terus dibiarkan terjadi di Indonesia. Satu di antara sikap yang justru dibiarkan terjadi, justru seolah tidak disadari oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yaitu tidak seragamnya kebijakan penanganan corona di masing-masing daerah Indonesia. Sehingga, meski ada daerah yang sangat tegas dan disipilin menangani corona dan daerahnya sempat menjadi zona hijau, tetap saja kembali menjadi zona merah akibat dari kebijakan daerah lain yang tak sama.

Ironisnya, sejak hadir corona, pemerintah malah sangat bangga menegaskan bahwa penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia harus dilakukan dengan kapasitas dan ciri khas masing-masing daerah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah fakta bahwa dengan cara penanganan dengan kebijakan yang berbeda karena menyesuaikan kapasitas dan ciri khas masing-masing daerah menjadi sebab, mengapa corona terus merajalela.

Percuma daerah yang sangat disipilin dan tegas menangani corona, pada akhirnya tetap diserbu corona, karena masyarakat bebas ke luar masuk daerah di seluruh Indonesia hanya dengan bekal surat tes Covid-19, bahkan tanpa ada yang memakai bekal surat sehat. Angkutan darat, laut, udara pun mendukung semua pergerakan masyarakat bebas bergerak di seantero Indonesia, meski kini, sejak 7 September 2020, Malaysia melockdown WNI masuk ke wilayahnya.

Di sisi lain, berbagai kegiatan masyarakat pun tidak semua daerah menerapkan protokol yang sama, pemerintah pusat pun tak tegas dengan kebijakannya sehingga penularan corona menjadi sangat terbuka di masyarakat hingga kini corona bahkan sudah menyerang klaster keluarga.

Apakah selama ini, ketidakseragaman kebijaksanaan penanganan corona dari pemerintah pusat dan daerah disadari menjadi penyebab utama corona terus menggila di Indonesia?

Coba bayangkan, negara kita yang memang beragam dengan ciri khas masing-masing daerah, dalam persoalan pendidikan dasar dan menengah pun di buatkan satu aturan yaitu Kurikulum, yaitu K-13.

Sebagai analogi, K-13 yang menjadi pedoman seragam di seluruh Indonesia saja tidak dapat teraplikasi dengan benar karena beberapa faktor.

Andai penanganan corona juga ada panduan kebijakan yang seragam dari pemerintah pusat, persoalan pelakasanaan di lapangan pun tentu akan ada masalah.

Bagaimana dengan panduan kebijakan corona yang tidak ada keseragaman di masing-masing daerah? Tentu akan terus menjadi masalah dan benang kusut. Mengapa hal ini tidak disadari oleh pemerintah pusat sejak awal?

Karena sejak awal memang hanya memikirkan ekonomi, seperti mau lepas tangan, dan menjadikan pemerintah daerah yang menjadi ketiban sial.

Sudah begitu, masalah kebijakan penanganan corona di setiap.daerah yang beragam dan tidak seragam, ternyata tidak pernah menjadi evaluasi pemerintah pusat dan terus membiarkan pemerintah daerah menerapkan kebijakannya masing-masing sejak bulan pertama virus datang hingga sekarang. Tanpa pernah pula sadar bahwa gara-gara kebijakan tak seragam ini, membikin corona terus berkeliaran di Indonesia karena semua penuh dengan kelonggaran.

Bahkan sampai ada daerah yang menerapkan aturan bak Negara, membuat jam malam dan mengancam denda pelanggar hingga 10 juta. Aneh tapi nyata. Pemerintah pusat pun diam saja.

Kini, di saat kebijakan daerah yang tak seragam terus dibiarkan dan Presiden ibarat baru bangun dari tidur karena setelah enam bulan virus hadir, baru menyebut menyelamatkan kesehatan adalah nomor satu, ekonomi nomor dua, dan Malaysia sudah terlanjur melockdown WNI masuk ke negaranya, proses Pilkada 2020 pun dibiarkan bergulir.

Bahkan, tak peduli corona sedang ganas, penggalangan massa masih terjadi di masa tahapan Pilkada 2020. Masyarakat dan berbagai pihak, memang kini semakin bingung, pasalnya pemerintah terlihat sangat tak berkomitmen dalam pengetatan protokol kesehatan di pesta demokrasi yang dipaksakan di tengah pandemi.

Sebagai catatan, seperti tersiar di berbagai media massa, ada pasangan calon yang diiringi oleh 300-an pendukungnya, bersepeda dari kantor DPC menuju Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk mendaftar sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota dalam pilkada Desember. Mirisnya, hampir semua memakai masker, namun tidak semuanya dalam posisi memakai yang benar. Hidung tampak tidak tertutup masker. Saat konvoi, jaga jarak pun terabaikan.

Pemandangan lain juga terjadi saat pasangan bakal calon Walikota dari jalur independen mendaftarkan diri di KPUD, Minggu (6/9). Pasangan berkuda menuju KPUD diikuti lebih dari 700 orang pendukung mereka. Bahkan ada pendukung yang datang sambil menggendong dan menggandeng balita maupun anak-anak pun tidak dengan protokol kesehatan yang benar.

Dari dua contoh pemandangan tersebut, ternyata pemandangan yang sama pun terjadi di seluruh Indonesia.Selama tiga hari masa pendaftaran calon Pilkada serentak pekan lalu, penggalangan massa pendukung bakal pasangan calon di sejumlah daerah, yang jumlahnya ratusan hingga ribuan orang yang ikut mengantar bakal calon masing-masing ke KPUD di berbagai daerah terus terjadi.

Perlu diingat, Pilkada baru masuk tahap pendaftaran, itu saja hampir semua pasangan calon telah melanggar protokol Covid-19, padahal Polisi melalui mobil pengeras suara, berulang kali mengingatkan massa pendukung mematuhi protokol kesehatan.

Bagaimana nanti dalam pelaksanaan kampanye hingga pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2020?

Yang pasti kini masyarakat dan berbagai pihak sangat kawatir dengan akan tetap dilaksanakannya Pilakada serentak yang baru proses pendaftaran saja sudah merata terjadi pelanggaran protokol kesehatan.

Meski banyak seruan agar pilkada ditunda hingga tahun depan sembari menunggu sampai Covid-19 mereda, pemerintah dan DPR bergeming, padahal banyak daerah/kota yang akan menggelar pilkada memiliki jumlah kasus positif Covid-19 yang tinggi.

Haruskah Presiden sampai bilang lagi "Kesehatan (nyawa) nomor satu, ekonomi nomor dua, dan Pilkada nomor 3?"

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB