x

Virus Corona

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 4 Oktober 2020 15:32 WIB

Mengapa Presiden Jokowi Sampai Bicara: Tidak Perlu Sok-sokan?

Meski pandemi Covid-19 merupakan masalah baru yang terjadi di seluruh negara, hingga kini pun belum ada negara yang dapat mengklaim telah memiliki solusi terbaik. Namun, faktanya WNI telah dilockdown oleh 61 negara. Apa artinya ini? Negara belum tegas hadir dalam penanganan Covid-19 dan hanya mengerjai pemerintah daerah dan terus mencari kambing hitam karena ketidakampuan dan ketidaktegasannya. Eee, sekarang malah bilang "tidak perlu sok-sokan". Maaf, seharusnya diksi itu tidak sampai terucap. Selain, tak menambah sisi edukatif, tidak membuat nyaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharus keluar diksi yang membuat hati dan pikiran nyaman, dan membikin rakyat kembali empati dan simpati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


"Tidak perlu sok-sokan akan me-lockdown provinsi, me-lockdown kota, atau me-lockdown kabupaten, karena akan mengorbankan kehidupan masyarakat," kata Jokowi dalam video yang diunggah di akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/10/2020),

Dan, kini seluruh rakyat Indonesia bahkan masyarakat dunia dapat menonton video tersebut.

Atas ucapan Presiden Jokowi yang sengaja dipublikasikan, sejatinya membikin rakyat bertanya. Pasalnya, diksi "tak perlu sok-sokan" itu rasanya sangat tidak pas diucapkan oleh seorang pemimpin negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diksi itu pun sangat mengesankan hanya "menyerang" salah satu pemimpin daerah/provinsi di tengah berbagai krisis multidimensi dan kemerosotan karakter bangsa. Di saat keadilan sosial terus dipertanyakan rakyat, karena Pillada tetap jalan, sementara yang lain dihentikan.

Dalam berbagai kolom komentar di media, netizen pun malah balik bertanya. Apa yang selama ini sudah diperbuat Presiden Jokowi dan pemerintahannya yang tak pernah tegas dan selalu mencla-mencle dalam setiap kebijakan yang diambil untuk masalah corona ini.

Sangat disayangkan, mengapa Presiden Jokowi sampai mengeluarkan diksi tersebut. Sementara berbagai pihak dan rakyat terus berharap Presiden Jokowi turun langsung dalam mengatasi Covid-19, bukan hanya sekadar memerintah para menteri dan marah-marah.

Maksud berbagai pihak dan masyarakat agar Presiden Jokowi turun langsung itu, membuat kebijakan yang standar dari pemerintah pusat, lalu pemerintah daerah melaksanakan dan patuh atas kebijakan yang sama dan seragam untuk seluruh Indonesia, dengan tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan setiap daerah di nusantara.

Sebab, selama ini pemerintah pusat hanya memberi kebijakan dan arah, lalu membebaskan setiap provinsi, kabupaten, dan kota menerjemahkan sendiri kebijakan untuk daerahnya.

Apakah cara ini berhasil? Bukannya menyadari dan memahami apa yang seharusnya diperbuat oleh pemerintah pusat, Presiden Jokowi malah tetap lebih berat kepada masalah ekonomi ketimbang masalah nyawa.

Namun, kebijakan ini pun terbantahkan saat Polri tak memberi izin Liga 1 dan Liga 2 digelar dan Pilkada tetap melenggang, padahal di dalam sepak bola, gantungan ekonomi menjadi hal yang utama karena sepak bola nasional yang dicintai seluruh publik Indonesia telah menjadi tempat mencari makan para pelaku dan stakeholder terkait.

Sudah capai rasanya, rakyat memberikan kritik, masukan, dan saran. Namun, tak pernah ada yang didengar. Kini, Presiden Jokowi malah bicara "tidak perlu sok-sokan". Lalu, berjanji lagi pemerintahannya akan mengatasi wabah ini dengan cara dan keseimbangan. Namun, tak pernah mengambil keputusan yang serangam untuk Indonesia.

Begitu daerah mencoba bersikap dan membuat kebijakan sesuai yang diarahkan dan sesuai kondisi dan situasi yang dihadapi, malah terus dipersalahkan dan malah dibilang "sok-sokan".

Aneh tapi nyata. Inilah Indonesia dalam menghadapi, mencegah, dan mengendalikan virus corona. Bahkan menteri yang ditugaskan dalam dua minggu dapat menekan corona, ketika ditanya dalam sebuah tayangan di televisi menyoal virus yang tetap terus mengganas dan terus meningkat kasusnya, jawabnya malah meminta ganti pertanyaan.

Menteri ini bilang, jangan tanya kasus yang terus meningkat, tapi tanyakan bagaimana tingkat kesembuhan , karena tingkat kesembuhan juga tiap hari terus meningkat.

Aneh dan lucu. Ditanya bagaimana mencegah agar kasus tak terus meningkat, malah disuruh melihat tingkat kesembuhan. Maunya lempar batu, tapi sembunyi tangan.

Ini benar-benar setali tiga uang dengan diksi "tidak perlu sok-sokan". Minta daerah dapat menekan penyebaran Covid-19 dengan hanya memberikan arahan, saat daerah membuat peraturan dan kebijakan sesuai arahan, malah terus dipersalahkan dan bahkan dipojokkan dan dibilang "tidak perlu sok-sokan".

Malah dengan enteng dibilang bahwa strategi pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 adalah mencari titik keseimbangan antara kepentingan kesehatan masyarakat dan kepentingan ekonomi.

Lalu, bilang dan menekankan pentingnya penerapan pembatasan sosial berskala mikro atau micro-lockdown ketimbang melakukan lockdown di tingkat kota, kabupaten atau provinsi.

Lebih dari itu, dengan sangat semangat juga diungkapkan bahwa hal itu akan dibuat dengan lebih terarah, spesifik, fokus, tajam untuk mengatasi masalah Covid tapi tidak membunuh ekonomi dan kehidupan masyarakat, ini yang harus kita lakukan.

Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak dilakukan sejak 7/8/9/10 bulan lalu sejak corona belum hadir dan bahkan saat corona akhirnya hadir?

Yang unik atau bahkan lucu, ada permintaan agar publik tidak menganggap Pemerintah bersikap mencla-mencle terkait penyesuaian kebijakan di tengah pandemi Covid-19.

Seharusnya Presiden dan pemerintah mengakui masih gagal dan belum tegas dan memang masih mencla-mencle.

Meski pandemi Covid-19 merupakan masalah baru yang terjadi di seluruh negara, hingga kini pun belum ada negara yang dapat mengklaim telah memiliki solusi terbaik.

Namun, faktanya WNI telah dilockdown oleh 61 negara. Apa artinya ini? Negara belum tegas hadir dalam penanganan Covid-19 dan hanya mengerjai pemerintah daerah dan terus mencari kambing hitam karena ketidakampuan dan ketidaktegasannya. Eee, sekarang malah bilang "tidak perlu sok-sokan".

Maaf, seharusnya diksi itu tidak sampai terucap. Selain, tak menambah sisi edukatif, tidak membuat nyaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharus keluar diksi yang membuat hati dan pikiran nyaman, dan membikin rakyat kembali empati dan simpati.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler