x

Cover buku H.M. Lukminto

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 Desember 2020 11:38 WIB

Sritex dalam Sorotan; Bagaimana H.M. Lukminto Membangun Kelompok Usaha Ini?

Buku ini memberi gambaran tentang bagaimana Group Usaha Sritex dibangun oleh Haji Muhammad Lukminto. Digambarkan usaha keras Lukminto dimulai sejak berdagang kain di Pasar Klewer, membangun pabrik sampai menjadi industri tekstil yang terintegrasi. Semua Presiden Republik Indonesia sejak era Orde Baru pernah berkunjung ke Pabrik Sritek, atau setidaknya bertemu Lukminto. Benarkah Sritex tumbuh karena kedekatan dengan penguasa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: H.M. Lukminto – Pendiri Kelompok Usaha Sritex

Penulis: Nasir Tamara

Tahun Terbit: 2015

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dan Delta Publisher                     

Tebal: xx + 540

ISBN: 978-602-6208-29-3

Buku ini memberi gambaran tentang bagaimana Group Usaha Sritex dibangun oleh Haji Muhammad Lukminto (Lukminto). Jika selama ini banyak yang berkasak-kusuk bahwa Sritex besar karena adanya kolusi dengan para pejabat, buku ini membeberkan kisah yang berbeda. Usaha keras Lukminto dari sejak berdagang kain di Pasar Klewer, membangun pabrik sampai dengan menjadi sebuah industri tekstil yang terintegrasi digambarkan dengan sangat detail. Sritex dibangun melalui kerja keras yang gigih. Tidak hanya itu, buku ini juga memberi penjelasan mengapa banyak pejabat datang ke Pabrik Sritex, khususnya Harmoko. Kita semua tahu bahwa semua Presiden Republik Indonesia sejak era Orde Baru pasti pernah berkunjung ke Pabrik Sritek, atau setidaknya bertemu dengan Lukminto.

Saya merasa bahwa buku semacam ini sangat baik, supaya penilaian sepihak bisa dieliminasi. Setidaknya bisa memberikan fakta lain dari khabar burung yang beredar.

Terlahir sebagai Djie Sien Ie (dalam buku ini ditulis Ie Djie Sien) pada tanggal 1 Juni 1946 dari pasangan Djie Sing You dan Tan Pik Giok adalah anak kedelapan dari tigabelas bersaudara. Karena waktu kecil sering sakit, maka dia diberinama Waras. Waras adalah nama panggilan saat Lukminto masih kecil. Lukminto menyelesaikan masa sekolahnya di Kertosono dan Kediri. Namun ia tak sempat menyelesaikan jenjang SMA karena sempat sakit lama dan sekolahnya ditutup oleh Pemerintah Orde Baru. Sekolah Chong Hua Kung Hsue ditutup sebagai bagian dari kebijakan pelarangan budaya Cina di Indonesia di masa Orde Baru.

Lukminto kemudian memutuskan untuk menjadi pedagang. Dengan berbekal serratus ribu rupiah, pada tahun 1966 ia pindah ke Solo dan tinggal di rumah kakak perempuannya yang sudah lebih dulu merintis bisnis kain di Pasar Klewer. Lukminto sempat berkongsi dengan seorang yang lebih tua darinya untuk membeli kain di Bandung dan kemudian dijual di Pasar Klewer. Kongsi tersebut tak bertahan lama. Lukminto kemudian berkongsi dengan Isman Jianto, saudaranya (kokonya). Lukminto berjualan kain keliling sebelum mampu membeli dua kios di Pasar Klewer. Kios bisa dibelinya pada tahun 1967 karena ia sangat hemat dan menabung keuntungan dari bisnis yang dijalankkannya. Kios tersebut diberi nama Usaha Dagang (UD) Sri Redjeki. Inilah cikal bakal dari PT Sri Redjeki Isman (Sritex). Jadi tidak benar nama Isman yang ada di PT Sri Rejeki Isman berasal dari nama Bapak Mas Isman, ayah dari Bapak Hayono Isman sang Menteri di era Suharto.

Setelah berhasil menjual kain jadi, Lukminto merintis untuk membuat kain sendiri. Ia membeli kain polos dan menintipkan pencelupannya ke pabrik lain.  Istilahnya maklon. Ia meniru motif-motif kain yang saat itu laku. Setelah cukup kuat, ia mendirikan pabrik di Baturono (1968). Pabrik ini menggunakan mesin-mesin bekas. Lukminto menangani sendiri operasional mesin-mesin bekas ini. Kemampuannya untuk memilih mesin bekas membuat bisnisnya terus berkembang. Lukminto sering harus tidur di pabrik karena harus menangani mesin yang tidak bekerja baik.

Dengan berpegang pada chengli yang artinya bisa dipercaya dan bisa diandalkan, Lukminto membangun bisnisnya dengan kerja keras, disiplin dan jujur. Setelah berhasil memperluas pabriknya. Lukminto memilih lokasi di Sukoharjo untuk membangun pabrik barunya. Pada tahun 1978 ia memulai membangun pabrik di Sukoharjo. Pembangunan pabrik selesai pada tahun 1980. Pabrik yang mulanya hanya di lahan seluas 6 hektar yang mempekerjakan 800-an karyawan ini terus berkembang menjadi pabrik terintegrasi yang mampu menyerap 40.000 tenaga kerja pada tahun 2012.

Selain dari membangun pabrik sendiri, Lukminto juga mengakuisisi pabrik-pabrik tekstil yang mulai bangkrut. Khususnya pada tahun 1987 ketika terjadi krisis moneter, banyak pabrik tekstil yang bangkrut. Saat itulah Lukminto membeli pabrik tersebut untuk dibenahi.

Pabrik Sritex di Sukoharjo adalah pabrik yang terintegrasi. Pabrik ini memproduksi benang sampai dengan produk akhir pakaian. Pabrik ini juga melayani pembuatan seragam militer dari berbagai negara, termasuk Jerman, Inggris, Austria, Swedia, Belanda, Australia, Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, negara-negara Asia Tenggara dan tentu saja TNI dan POLRI.

Sebagai pabrik terintegrasi, Sritex diberi kepercayaan untuk memproduksi pakaian jadi merk terkenal. Merk-merk Zara, JC Penny, Macy’s, Dres Barn, Scars GESS dan sebagainya menggunakan pabrik Stritex untuk produksi. Melalui divisi risetnya, Sritex mampu memproduksi jenis-jenis kain khusus, seperti kain tahan api, tahan tusuk dan sebagainya. Dengan tersedianya kain-kain khusus ini, Sritex menjadi lebih kompetitif dalam memproduksi garmen.

Dari informasi di atas, sangat jelas bahwa Lukminto membangun Sritex dari kecil dan melalui proses yang membutuhkan ketekunan dan kerja keras. Jadi Sritex bukan besar karena fasilitas yang diberikan oleh Penguasa.

Hal kedua yang menarik yang digambarkan oleh buku ini adalah tentang kedekatan Lukminto dengan para pejabat. Siapapun tahu bahwa Lukminto sangat dekat dengan para pejabat. Bahkan dengan para Presiden Republik Indonesia. Sejak era Suharto, para Presiden tidak ada yang tidak berkunjung ke Sritex atau ke kediaman Lukminto. Bahkan di jaman Orde Baru, Lukminto terlihat sangat akrab dengan Harmoko. Kita semua tahu bahwa Harmoko mempunyai peran yang sangat penting di masa pemerintahan Presiden Suharto. Kedekatan yang sangat intim ini sempat menimbulkan gunjingan bahwa Harmoko adalah orang Orde Baru yang diminta untuk menjadi penghubung dengan Sritex.

Benarkah demikian?

Buku ini memberikan informasi yang sangat gamblang mengapa Harmoko bisa begitu akrab dengan Lukminto. Ternyata orangtua Harmoko adalah pelanggan toko orangtua Lukminto di Kertosono. Harmoko sendiri adalah teman sesekolah kakak Lukminto. Harmoko sering diminta oleh orangtuanya untuk mengambil barang belanjaan di toko ayah Lukminto ketika masih SMP. Sangat jelaslah bahwa pertemanan Lukminto dengan Harmoko terjadi sejak dari jaman orangtua mereka.

Kedekatan Lukminto kepada para pejabat tidak hanya terjadi saat orang tersebut sedang menduduki jabatan penting. Bahkan saat seseorang sedang tidak disukai oleh rejim yang sedang berkuasa, Lukminto tetap mau berteman. Contohnya adalah SBY. Saat SBY dipecat oleh Gus Dur, Lukminto tetap mau menerimanya berkunjung ke Solo. Bahkan Lukminto meminta kepada SBY untuk memberi ceramah kepada pegawainya. Lukminto juga memberikan penyambutan yang sama baiknya kepada SBY yang sedang tidak menjabat dengan para pejabat Jakarta lainnya.

Kedekatan Lukminto dengan para pejabat juga disebabkan karena Lukminto adalah orang yang ramah. Ia mewajibkan supaya siapapun yang menjadi tamu di pabriknya harus dilayani dengan baik dan hormat. Bahkan seringkali para tamu itu dipandu untuk mendapatkan informasi tentang pabriknya dan diajak makan.  

Selain dari dua topik menarik di atas, saya juga mendapatkan informasi lainnya, seperti peran istri Lukminto, bagaimana Lukminto membesarkan anak-anaknya, hobi, sikap baik hatinya kepada kawan-kawannya dan tentang keputusan Lukminto memeluk Islam. Susyana, istri mempunyai peran yang penting dalam kehidupan dan bisnis Lukminto. Anak seorang pedagang palawija di Kediri ini menikah dengan Lukminto pada tanggal 26 Oktober 1969. Susyana menjadi penolong yang sepadan bagi Lukminto. Ia sering memberi pertimbangan dalam keputusan bisnis yang dilakukan oleh Lukminto, namun tidak memaksakan kehendaknya. Susyana juga membantu bisnis dengan turun secara langsung di pasar dan kemudian menjadi pengelola keuangan, ketika bisnis Lukminto sudah menjadi besar.

Bagi Lukminto dan Susyana, Pendidikan anak adalah sangat penting. Itulah sebabnya, Susyana sangat memperhatikan Pendidikan anak-anaknya. Lukminto memahami bahwa penguasaan Bahasa adalah modal penting dalam berbisnis. Itulah sebabnya anak-anaknya dipaksa untuk belajar Bahasa Inggris dan bahkan bersekolah di negeri yang berbahasa Inggris. Selain belajar secara akademis, Lukminto juga menyiapkan anak-anaknya dengan baik di dunia bisnis. Ia menyiapkan Iwan Lukminto (anak lelaki pertamanya) untuk melanjutkan pengelolaan Sritex.

Lukminto adalah seorang atlit basket dari sejak muda. Itulah sebabnya saat ia sukses, dia mendirikan Gedung basket di Solo. Gedung basket bertaraf internasional ini adalah sumbangan Lukminto kepada olangraga basket yang dicintainya. Di sela-sela kesibukan bisnisnya, Lukminto masih sering bermain basket. Selain gemar bermain basket, Lukminto menyukai mobil kuno dan radio kuno. Koleksi radio kunonya mungkin yang terbanyak dari pada kolektor radio kuno lainnya di Indonesia.

Buku ini juga mengungkapkan kesaksian beberapa orang yang pernah ditolong oleh Lukminto. Tidak terbatas keluarga, tetapi juga teman-teman yang membutuhkan pertolongan darinya. Lukminto tidak pernah berhitung dalam menolong orang.

Lukminto memilih Islam sebagai agamanya. Pada tanggal 11 Maret 1994, Lukminto menjadi mualaf disaksikan oleh Ustadz H Moh. Amir, S.H dari Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. Keputusan ini kemudian diikuti oleh sang istri tercinta. Lukminto sebelumnya beragama Konghucu, sebagaimana kebanyakan orang Tionghoa di Jawa. Waktu sekolah ia mendapatkan Pendidikan agama Kristen. Ia memilih Islam bukan karena alas an politik, seperti banyak digunjingkan banyak pihak. Ia memutuskan untuk memilih Islam sebagai pegangan hidup dengan penuh kesadaran, setelah mendapatkan mimpi. Lukminto adalah seorang Muslim yang patuh. Ia menjalankan shalat 5 waktu, berpuasa saat Ramadhan, membayar zakat dan melakukan ibadah haji.

Bagi Lukminto, agama adalah urusan pribadi. Ia tidak memaksa anggota keluarganya untuk mengikuti keputusannya dalam beragama. Ia membebaskan anak-anaknya untuk memilih agamanya sendiri.

Meski telah menjadi seorang Muslim yang taat, Lukminto tidak meninggalkan tradisi Tionghoa. Ia menjalani budaya Tionghoa dan agama Islam secara selaras. Bahka ia berpesan supaya saat nanti meninggal, ia ingin dikuburkan secara Islam tetapi adat penguburan Tionghoa tetap harus dijalankan. Dan pemakaman beliau dilakukan dengan cara Islam dan adat Tionghoa secara harmonis. (557)

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler