x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 4 Januari 2021 10:29 WIB

Cerpen | Margreet van Chastelein

Hidup menjadi anak keturunan dari seorang Belanda tidaklah menyenangkan. Meskipun banyak orang awam mengira bahwa mereka hidup dalam kemewahan dengan status sosial yang tinggi. Namun tidak ada satupun yang menyadari akan penderitaan tersembunyi dibalik kehidupan mewah mereka. Margreet van Chastelein adalah salah satu di antaranya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.

Hidup menjadi anak keturunan dari seorang Belanda tidaklah menyenangkan. Meskipun banyak orang awam mengira bahwa mereka hidup dalam kemewahan dengan status sosial yang tinggi. Namun tidak ada satupun yang menyadari akan penderitaan tersembunyi di balik kehidupan mewah mereka. Margreet van Chastelein adalah salah satu di antaranya. Dia adalah seorang gadis berdarah campuran yang memiliki kehidupan pahit dan suram. Ayahnya adalah salah satu pejabat VOC yang bernama Theodorus van Chastelein. Semenjak Heeren XVII membuat sebuah peraturan yaitu melegalkan perkawinan campur dengan tujuan agar dapat menciptakan penduduk mestizo di Batavia yang patuh. Maka itu, Theodorus menikahi secara sirih seorang perempuan pribumi yang sebelumnya adalah pembantu rumah tangganya sendiri. Perempuan itu bernama Ainur Lestari. Semenjak Ainur dijadikan istri oleh Theodorus, seorang pejabat VOC, seketika dia mengalami kenaikan derajat secara status sosial. Sebagai seorang istri pejabat, dia juga tidak luput mendapatkan gelar “nyai” atau “nyonya besar”. Dia-pun mulai didandani, diajari beretiket dan berbahasa Belanda, dan menerapkan budaya Eropa. Selain itu, Ainur juga mendapatkan sebuah nama baru dari suaminya yaitu Carinna van Chastelein. Dari hasil perkawinan mereka telah membuahkan seorang anak perempuan, yang pada awalnya bernama Alawiyah, tapi sang ayah memberikan sebuah nama Belanda yaitu Margreet van Chastelein.

Seumur hidup Margreet, dia tidak pernah mendapat perhatian dari sang ayah. Tampaknya Theodorus lebih sibuk dengan aktivitasnya ketimbang meluangkan waktu bersama keluarganya, sehingga Margreet lebih dekat dengan ibunya. Di mata Margreet, ibunya adalah sosok yang sangat keras dalam mendidik dan sangat protektif terhadap dirinya. Dia dilarang berhubungan dengan anak-anak luar, terutama dari kalangan pribumi. Hal ini membuat Margreet tidak memiliki teman selain ibunya. Dia bahkan tidak diperbolehkan keluar rumah selain menghadiri acara resmi bersama keluarga, meskipun hanya untuk melihat tanaman di depan rumahnya. Karena itu, sepanjang hidupnya dihabiskan di dalam rumahnya yang besar bagaikan istana itu. Secara tidak langsung Margreet menjadi terisolasi dari kehidupan dunia luar. Selain itu, dia juga hanya diperbolehkan membaca buku pilihan ibunya, makan dengan makanan yang sudah siapkan oleh sang ibu, dan berpakaian yang sudah ditentukan oleh ibunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keadaan berubah seketika saat Margreet berusia 10 tahun, sang ayah sudah selesai masa kerjanya sebagai pejabat VOC dan dia memutuskan untuk pulang ke negeri Belanda. Tetapi sayangnya, dia tidak membawa Margreet dan Carinna bersamanya. Mereka hanya ditinggal begitu saja di rumah bersama beberapa pembantu rumah tangga yang masih setia kepada mereka. Hal ini membuat sang ibu menjadi sosok yang murung, penyendiri, dan sering gelisah ketika menunggu surat kabar dari sang suami. Sampai pada suatu hari, Carinna mendapat surat dari Theodorus yang berisi bahwa dia memilih untuk memutus hubungan keluarga dengannya. Sebab dari sejak awal dia menginjakan kakinya di Nusantara, Theodorus sudah berkeluarga di negeri asalnya. Hal ini membuat Carinna menjadi sangat geram, menangis keras, dan mengamuk sejadi-jadinya. Semenjak peristiwa itu, dia menjadi sangat temperamental dan kasar terhadap orang sekitarnya, tak terkecuali kepada putrinya Margreet.

Setiap Carinna melihat Margreet, yang di wajahnya terlukis wajah Theodorus, dia selalu mengamuk dan memukulinya hingga berdarah. Bahkan dia tidak segan-segan melampiaskan emosinya dengan mengikat Margreet di dalam kamar sembari memukuli badannya yang mungil dengan rotan, hingga lebam dan berdarah. Dia juga tega melontarkan kata makian terhadap Margreet seperti; “hoerendop (perempuan sundal)”, “hoer (pelacur)”, “anak iblis”, “setan”, “anjing betina”, “babi”, dan kata-kata kasar lainnya. 

Banyak dari para pembantu rumah tangganya yang merasa kasihan terhadap Margreet, tapi mereka terlalu takut untuk melindunginya. Sebab melihat Carinna sedang mengamuk saja mereka sudah ketakutan setengah mati, apalagi kalau sedang berada di dekatnya. Sebab dia tidak segan-segan ikut melampiaskan emosinya kepada orang lain selain Margreet. Sikapnya yang kasar membuat banyak orang yang menyamainya dengan iblis atau orang yang kerasukan setan. 

Akibatnya, satu persatu pembantu rumah tangganya memilih untuk meninggalkan Carinna, karena mereka sudah tidak kuat dengan perlakuannya yang kasar dan semakin menjadi-jadi di setiap harinya. Ada beberapa dari mereka yang berniat untuk membawa pergi Margreet secara diam-diam. Tetapi mereka tidak pernah menemukannya di seluruh penjuru rumah, termasuk di kamar tidurnya.

****

Pada suatu malam ketika Margreet sedang tidur dengan lelap di kamarnya, tiba-tiba seluruh tubuhnya dihujani oleh air dingin sehingga membuatnya terbangun. Margreet melihat sekitar dan dia terkejut ketakutan. Dia melihat seorang wanita berbadan kurus dan tinggi sedang berdiri dengan gaun warna hitam bercorak batik, sedang menatap tajam yang menusuk ke arah dirinya. Wanita itu berkulit pucat dan di sekitar kelopak matanya berwarna abu-abu gelap seperti orang tidak tidur berhari-hari. Rambutnya terurai panjang dengan dua warna yang berbeda yaitu warna putih pekat di bagian poninya yang terbelah tengah dan sisanya berwarna hitam normal. Wanita itu tidak lain adalah Carinna, ibunya. Tekanan mental yang dideritanya tidak hanya mengubah karakternya, tapi juga penampilan dan bentuk fisiknya.

Seketika perempuan itu langsung menarik Margreet dengan kasar dan membungkam mulutnya. Dia mengancam akan merobek mulut si gadis kecil itu jika menjerit, sembari mengarahkan pisau di mukanya. Setelah itu dia menyuruh Margreet untuk mengikuti perintahnya dan tidak lupa mengancam akan merobek perutnya, bila dia berusaha memberontak atau melarikan diri. Margreet yang ketakutan hanya bisa mengikuti perintah ibunya yang gila sambil meneteskan air mata. Bahkan saking ketakutannya, dia sampai ngompol.

Lantas perempuan itu membawanya dengan kasar, menuju ruang kerja ayahnya yang terletak di lantai tiga. Ketika mereka sudah sampai di ruang kerja Theodorus, Carinna menggeser sebuah rak buku besar dengan sekuat tenaganya. Setelah itu terlihat sebuah jalan rahasia kecil yang tersembunyi di balik rak buku itu. Di dalamnya tidak terdapat lilin maupun lentera, sehingga sangat gelap di malam hari. Lalu Carinna langsung menarik Margreet masuk ke dalam jalan rahasia itu, sembari membawa lilin bersamanya. Secara samar-samar - dengan bantuan cahaya lilin yang dibawa Carinna - terlihat sebuah tangga menuju loteng. Kemudian Carinna langsung membawa Margreet menuju loteng tersebut.

Setibanya mereka di loteng, terdapat sebuah pintu ruangan yang terbuat dari kayu yang sangat tebal dan dilapisi oleh baja pelindung. Carinna langsung mengambil sebuah kunci besi yang besar dan memasukkannya ke dalam lubang kunci untuk membuka pintu itu. Ketika pintu itu sudah terbuka, terlihat sebuah ruangan yang sangat gelap, lembab, kotor, dan suram – seolah-olah tidak pernah dibersihkan sama sekali oleh para pembantu rumah tangganya. Disana hanya terdapat sebuah kasur kecil yang berdebu, meja dan kursi kayu, dan sebuah jendela kecil yang menghadap langit.

Carinna langsung melempar Margreet ke atas kasur itu dan meninggalkannya seorang diri di dalam kegelapan. Si gadis kecil itu langsung mengejar ibunya. Tetapi nahasnya, Carinna sudah terlebih dahulu keluar dan menutup pintu dan menguncinya. Margreet hanya bisa menangis memohon-mohon kepada ibunya dengan menjerit sejadi-jadinya. Namun pintu yang tebal itu kedap suara, sehingga sekeras apapun jerit tangisnya, tidak akan mampu menembus keluar pintu itu. Belum lagi dengan rak buku yang sudah digeser kembali untuk menutupi jalan rahasia, sehingga semakin meredam suara gadis kecil itu. 

****

Hari demi hari telah dilalui oleh Margreet, dia hanya bisa menatap jendela yang memperlihatkan langit untuk mengetahui pagi, siang, dan malam. Dia yang sudah terisolasi semakin terisolasi dari dunia luar. Dia hanya ditemani oleh para tikus dan serangga yang sudah lama hidup di dalam ruangan itu.

Carinna datang di waktu tertentu sembari membawa cambuk atau rotan untuk memukul Margreet sampai dia merasa puas. Hal itu terus berulang hingga Margreet mulai terbiasa dengan rasa sakit dari siksaan ibunya. Tubuhnya kini sudah mati rasa dan hatinya sudah tidak lagi sakit ketika Carinna melontarkan makian terhadapnya. Selain itu, makanan yang diberikan Carinna hanya berupa bubur atau sup kacang hijau dalam sehari sekali. Hal ini terus terjadi dari hari ke hari, minggu ke minggu, hingga dari bulan ke bulan.

Setiap Carinna datang ke ruangannya, dia terlihat semakin buruk di setiap harinya. Tubuhnya semakin mengurus, kulitnya semakin keriput, rambutnya memutih, pergerakannya melemah, bahkan tatapannya seperti orang yang sedang sakit keras. Hari demi hari, dia mulai jarang mendatangi Margreet untuk sekedar menyiksa, memaki, bahkan memberinya makan. Sampai pada akhirnya dia mulai berhenti mengunjungi Margreet seutuhnya. Walhasil - untuk bertahan hidup - Margreet harus menangkap tikus atau serangga untuk dimakan secara hidup-hidup, sebagai pengganti konsumsinya.

****

Margreet tidak tahu sudah berapa lama dia terkurung di dalam ruangan yang suram itu. Dia juga tidak mengetahui paras dirinya sekarang ini, karena di dalam ruangan itu tidak terdapat cermin. Yang dia ketahui adalah tubuhnya sudah bertumbuh besar, sehingga piama — satu-satunya pakaian yang dia miliki — yang dia kenakan sudah sempit bahkan sudah robek di beberapa bagian. Tubuhnya sangat kotor akan debu, karena di ruangan itu tidak terdapat bak mandi untuk membersihkan tubuhnya. Selain itu, seluruh luka di sekujur tubuh Margreet mulai menghilang secara perlahan-lahan hingga tidak meninggalkan sisa sedikit-pun. 

Kesehariannya hanya dia isi dengan menatapi langit melalui jendela kecil dan berbicara kepadanya seolah-olah langit itu hidup. Karena itu adalah satu-satunya teman, hiburan, dan aktivitas yang dia miliki. Binatang-binatang malang seperti tikus dan serangga telah takut menemani Margreet, semenjak dia menjadikan mereka sebagai santapannya. Margreet terus menatap dan berbicara kepada langit. Dia melakukan aktivitas itu tanpa mengenal waktu, hingga akhirnya dia tertidur lelap di kasurnya.

Sampai pada suatu malam hari, terdengar suara ramai dari luar kamar Margreet, sehingga membuat dia terbangun dari tidurnya. Suaranya seperti sebuah pesta besar yang dihadiri banyak orang. Mereka tertawa, berbicara satu sama lain, dan bernyanyi. Margreet juga mendengar sebuah alunan musik romantik yang mengiringi suara mereka. Musik adalah salah satu kelembutan suara yang sudah lama sekali dia tidak berinteraksi dengannya. 

Sontak, Margreet membuka kedua matanya dan menatap ke arah pintu ruangan yang sudah terbuka setengah. Melihat itu, bergejolaklah hatinya dan dia langsung bangkit dari kasurnya. Lantas dia berjalan menuju pintu itu dan setibanya disana, dia melihat sebuah cahaya harapan yang masuk menyinari jalan rahasia yang gelap. Cahaya itu dapat masuk menyinari jalan rahasia itu karena ada seseorang yang belum lama menggeser atau memindahkan rak buku itu, sehingga Margreet dapat melihat kembali ruang kerja ayahnya yang sudah lama tidak pernah dia lihat. 

Kemudian Margreet turun menuju ruangan itu dan sesampainya di sana, dia melihat pemandangan yang asing daripada biasanya. Ruang kerja ayahnya terlihat lebih modern dan tertata rapi. Banyak hiasan-hiasan mewah yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Selain itu juga terdapat furniture-furniture yang asing dan banyak lukisan potret akan seseorang dengan warna hitam-putih yang terlihat sangat hidup. Perubahan yang sangat mencolok itu telah membuat Margreet kebingungan dan terkesima.

Lalu dia keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju ke arah suara itu datang melalui lorong rumah. Margreet melihat di sekeliling lorongnya yang sudah mengalami banyak perubahan. Semua dindingnya kini telah dihiasi oleh lukisan potret dan berbagai macam hiasan seperti kertas dinding bernuansa Victorian, sehingga tidak lagi pucat dan tawar seperti sebelumnya. Lantainya juga dipenuhi oleh karpet-karpet mewah dengan berbagai macam warna. Selain itu juga terdapat banyak hiasan kulit maupun kepala binatang di tiap sudut tempat yang dia lalui. Belum lagi hiasan lilin yang menerangi dan menghiasi sepanjang lorong rumahnya itu. Meskipun banyak dekorasi era Victorian yang asing dan modern, tapi - secara garis besar - bentuk rumahnya tidak berubah, sehingga Margreet masih dapat mengenalinya secara seksama. 

Ketika dia sudah mulai mendengar dengan jelas suara itu, dia menyadari bahwa suara itu berasal dari lantai dasar rumahnya. Tepatnya di ruang tamu. Margreet yang merasa penasaran, dia mulai menuruni anak tangga secara perlahan-lahan. Lalu setelah tiba di lantai dasar, dia mengintipnya secara diam-diam ke arah ruang tamu dari ruang utama rumah. Terlihat bahwa ruang tamunya kini telah berubah menjadi sebuah ruang dansa yang megah. Di dalamnya juga terdapat orang-orang dengan berbagai macam ras dari golongan Eropa terutama Belanda, orang berdarah campuran, pribumi, India, Afrika, dan Tionghoa. Usia mereka juga berbagai macam, dari yang anak kecil hingga orang dewasa. Mereka semua mengenakan busana khas Victorian.

Di dalam keramaian tersebut juga dihidangkan berbagai macam makanan-makanan khas Eropa dan lokal yang sangat lezat. Dari yang makanan berat seperti daging dan sayur-sayuran, hingga makanan penikmat seperti keju, waffle, dan kue. Mereka juga menaruh buah-buahan segar dari yang masih utuh hingga yang sudah dipotong-potong. Selain itu juga terdapat berbagai macam botol anggur merah dengan ditemani gelas-gelas kaca yang berbentuk elegan.

Di antara semua pemandangan yang Margreet lihat, terdapat satu wujud yang sangat menarik perhatiannya. Dia melihat seorang pria Belanda yang sedang berbicara dengan tamu lainnya. Pria itu tampaknya menginjak usia kepala tiga. Dia memiliki rambut pirang dengan mata yang berwarna biru dan berbadan kekar. Dibantu dengan seragam militer Belanda yang dia kenakan, membuatnya berkarisma selayaknya seorang kesatria dari negeri Belanda. Sosok pria itu berhasil menghipnotis Margreet untuk terus menatapinya tanpa henti. Hal ini membuatnya jatuh hati kepada pria tersebut. 

Seketika tubuh Margreet bergerak di luar kendali dirinya. Dia berjalan memasuki ruang dansa itu. Dia terus berjalan mendekati pria itu tanpa rasa malu dengan penampilannya yang kotor dan hanya menggunakan piama anak kecil yang sudah compang-camping. Dia juga tidak merasa takut akan keramaian dan orang-orang asing, padahal dia sudah lama terisolasi dengan dunia luar. Sebab yang dia rasakan hanyalah rasa cinta terhadap pria Belanda yang berkarisma itu, sehingga membutakan segalanya. Margreet terus melangkah masuk ke dalam ruang dansa itu dengan tatapan yang hanya terfokus kepada pria itu. 

Langkah demi langkah telah dia lalui. Kini Margreet semakin dekat jaraknya dengan pria itu, sehingga dia dapat melihat rupa pria itu dengan jelas. Dia juga dapat mencium wangi parfum pria itu dan bau nafasnya. Namun ketika dia hendak melangkah lebih dekat lagi, seketika terdengar sebuah jeritan histeris dari salah satu tamu perempuan di ruangan itu. Dia menjerit histeris dengan menatap takut ke arah Margreet. Secara refleks pria itu langsung melihat sekitarnya dan secara tidak sengaja tatapan dia bertemu dengan tatapan Margreet. Seketika ekspresi pria Belanda yang penuh karisma kesatria itu berubah total menjadi penuh akan rasa takut yang teramat besar, bagaikan bayi yang tidak berdaya, yang juga diikuti oleh para tamu lainnya. 

Margreet kebingungan dengan tingkah orang-orang di sekitarnya dan dia langsung melihat ke sekelilingnya. Secara tidak sengaja, dia melihat sebuah cermin besar yang terletak di tepi ruang dansa yang berdiri tidak jauh darinya. Di dalam cermin itu terdapat sebuah sosok yang tidak pernah bisa dilupakan oleh siapapun yang melihatnya.

Terlihat sosok perempuan tua dengan memiliki rupa seperti mayat yang sudah lama membusuk. Tubuhnya sangat kurus, seperti tengkorak yang dibungkus oleh kulit keriput berwarna abu-abu kehijauan. Kedua matanya bolong, rambutnya terurai panjang dan berantakan, dan kulit tubuhnya terdapat berbagai macam luka siksaan sehingga menambah kesan yang mengerikan. Perempuan itu juga mengenakan pakaian piama anak kecil yang sudah terkoyak-koyak akibat; ukuran tubuh yang tidak sesuai dengan ukuran pakaiannya, jejak siksaan, dan sudah termakan usia. Seluruh tubuh perempuan tua itu telah dilumuri oleh belatung, cacing, dan serangga yang telah bersarang di dalam tubuhnya. Sosok perempuan tua itu adalah bayangan asli dari Margreet. 

Pada awalnya dia tidak mempercayai bahwa itu adalah bayangan dirinya. Tetapi perempuan itu mengikuti setiap pergerakan dari Margreet dengan saksama dan mengenakan pakaian yang serupa dengannya. 

Tidak lama kemudian, datanglah tiga serdadu Belanda ke ruang dansa itu dengan senjata lengkap. Namun ketika mereka menatap ke arah Margreet, mereka mengeluarkan ekspresi yang serupa dengan tamu-tamu lainnya. Hal ini semakin meyakinkan kepada Margreet betapa mengerikan wujudnya, sehingga membuat takut orang-orang di sekitarnya.

Margreet langsung menjerit melengking di tengah ruang dansa, hingga memecahkan semua benda yang terbuat dari kaca di dalam ruangan itu. Semua orang melarikan diri menuju pintu keluar secara berhamburan, sehingga menggulingkan semua furniture yang ada. Berapa di antaranya ada yang masih bertahan untuk menyaksikan Margreet lebih lanjut. 

Lalu Margreet berlari keluar dari ruang dansa itu sembari menangis sejadi-jadinya. Tetapi di mata orang yang menyaksikan peristiwa itu, mereka melihat Margreet berubah menjadi gumpalan asap tebal yang bertiup kencang keluar dari ruang dansa. Margreet berlari dengan sangat kencang, kembali ke ruang isolasinya yang terletak di loteng. Setiap langkahnya menciptakan sebuah tiupan angin kencang, sehingga merusak barang di sekitarnya dan mematikan semua lilin yang menerangi lorong rumah.

****

Setiba di kamar isolasi, Margreet duduk di atas kasur dan menatap langit - melalui jendela kecil - dengan mata yang berair. Dia bertanya kepada langit yang gelap itu, mengapa dia harus berakhir seperti ini. Apa kesalahan dia terhadap orang di sekitarnya sehingga membuatnya menjadi monster yang mengerikan. Dia terus bertanya kepada langit itu dengan berlinang air mata, hingga mencuci pipinya dari debu.

Lantas, langit malam menjawab dengan menggerakan awannya yang menghalangi bulan purnama dan mempertunjukkannya kepada Margreet. Lalu bulan purnama itu bersinar masuk ke dalam kamar isolasi Margreet yang gelap, sehingga menerangi seluruh tubuhnya. Seketika tubuh Margreet - yang terkena cahaya bulan itu - mulai ikut bersinar dan secara perlahan-lahan tubuhnya mulai berubah menjadi butiran debu yang bersinar, bagaikan kunang-kunang yang terbang menuju bulan purnama. Margreet tidak merasakan takut, apalagi rasa sakit selama proses transformasi tersebut. Secara samar-samar terlihat ekspresi kebahagiaan yang terlukis di wajah Margreet. Untuk pertama dan terakhir kalinya Margreet dapat tersenyum sebahagia itu dalam seumur hidupnya. 

Ketika seluruh tubuhnya sudah berubah menjadi butiran debu dan terangkat ke langit, seketika cahaya bulan-pun ikut menghilang dalam sekejap. Kini kamar isolasi itu kembali menjadi gelap gulita dengan diselimuti kesuraman. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada Margreet disana. Binatang-binatang malang seperti tikus dan serangga mulai kembali bermunculan dari persembunyian mereka.

****

Keesokan harinya, sang tuan rumah memerintahkan para pembantu rumah tangganya untuk membongkar sebuah tembok, tempat dimana gumpalan asap tebal — Margreet — masuk ke dalamnya. Selama proses pembongkaran tembok itu, mereka diawasi ketat oleh sang tuan rumah bersama beberapa tentara dan mandor. Ketika mereka sudah berhasil menjebolkan tembok itu, mereka menemukan sebuah jalan rahasia menuju loteng yang sudah sangat tua dan tak tersentuh oleh manusia.

Kemudian sang tuan rumah memerintah para pembantu rumah tangga itu untuk memasuki jalan rahasia tersebut dengan ditemani oleh tentara dan mandor. Lantas mereka semua mengikuti jalan rahasia itu dan menaiki tangga yang menuju kamar isolasi Margreet. Setibanya disana, mereka melihat sebuah pintu yang terbuat dari kayu yang sangat tebal dan dilapisi oleh baja pelindung dengan desain era Barok. Lalu sang mandor menyuruh para pembantu rumah tangganya untuk mengambil sebuah palu besar untuk mendobrak pintu itu. 

Selang berapa lama kemudian, mereka berhasil mendobrak masuk pintu kamar isolasi itu dan terkejutnya mereka semua yang menyaksikan pemandangan di dalam kamar itu. Mereka melihat sebuah kerangka tubuh manusia yang sedang terbaring di atas kasur dengan sebuah pakaian piama anak kecil yang compang camping. Ditambah dengan serangga dan tikus yang mengerumuni tubuh perempuan itu menambah kesan yang tidak menyenangkan untuk dipandang. Apabila diperkiraan secara medis, usia kerangka itu sudah berusia dua abad.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler