x

Melangkah

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 16 Mei 2021 07:44 WIB

Usai Bulan Penuh Berkah dan Hari yang Fitrah, ke Mana Kaki Melangkah?

Usai kita melewati bulan penuh hikmah, berkah, dan ampunan, yaitu Ramadhan ditutup dengan Hari Raya Idul Fitri, dengan hati bersih, apa langkah kita selanjutnya dalam menekuni rutinitas keseharian yang masih lekat dengan Covid-19?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Usai kita melewati bulan penuh hikmah, berkah, dan ampunan, yaitu Ramadhan ditutup dengan Hari Raya Idul Fitri, dengan hati bersih, apa langkah kita selanjutnya dalam menekuni rutinitas keseharian yang masih lekat dengan Covid-19?

Apakah usai Lebaran ini, seperti kekhawatiran berbagai pihak, kasus corona akan kembali melonjak di Indonesia? Sebab, masyarakat masih banyak yang memaksakan mudik, pemerintah pun tak tegas dan tak konsisten dalam menerapkan kebijakan larangan mudik karena ada instrumen pemerintah yang justru longgar kepada kehadiran WNA dan WNI dari manca negara.

Kira-kira, bila benar kasus corona kembali melonjak, apakah pemerintah akan membuat kebijakan lockdown seperti negeri tetangga Malaysia dan Singapura? Kita tunggu.

ISEAKI tugas siapa?

Kembali ke pertanyaan apa langkah kita untuk menyambut rutinitas keseharian yang harus terus waspada pada virus corona? Apakah rutinitas itu akan sama dengan sebelum Lebaran? Atau akan ada perubahan dan peningkatan?

Bila kita ingin mengubah langkah dan membuat peningkatan, akan ada seribu satu akal, bila kita terbiasa mengelola intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajinatif, dan Iman (ISEAKI) kita.

Namun, bila kita tak pernah mengelola ISEAKI kita secara seimbang, terutama tak merawat, menyiram, dan memupuk dengan benar, maka mustahil kita akan mampu membuat perubahan pada rutinitas kita.

Lalu, bagaimana cara merawat ISEAKI kita agar seimbang dan berkembang? Kuncinya adalah ada pada sikap dan kebiasaan kita dalam membaca (literasi), analisis/kalkulasi/perhitungan (matematika), dan ilmu pengetahuan (sains).

Sayang, pendidikan Indonesia masih terpuruk bahkan kegagalan justru di sektor pondasi, yaitu pendidikan dasar, menengah, dan atas, pun perguruan tinggi.

Kolaborasi ini selama puluhan tahun terus beranak-pinak. Orang tua yang tadinya sekolah dan kuliah, juga banyak yang tak tuntas dan tak lulus dalam pendidikan budi pekerti, pun banyak yang tak menguasai dan akrab dengan literasi, matematika, dan sains. Saat para orang tua ini melahirkan anak-anak, juga sama, di rumah banyak gagal dibimbing orang tua yang juga gagal. Di sekolah dan perguruan tinggi juga budayanya masih sama. Hasilnya, ya kegagalan pendidikan yang beranak-pinak.

Bayangkan, yang mengenyam bangku sekolah dan bangku kuliah saja masih banyak yang gagal di pendidikan. Bagaimana yang tak pernah tersentuh pendidikan? Lalu, kira kira berapa persen perbandingan antara masyarakat Indonesia yang sekolah dan kuliah dibanding yang tidak?

Persoalan juga semakin diperburuk oleh kondisi, selama ini para operator pendidikan hanya menjadi pelaksana juklak yang dibikin legislator (kurukulum). Terpenting melaksanakan sesuai dengan yang diminta dan dimaui.

Sehingga operator yang terutama diisi para guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi, terkungkung dan tak bisa berpikir out of the box atau berpikir di luar kotak. Akibatnya macetlah pengembangan berpikir tajam, kritis, dan kreatif-inovatif. Siswa dan mahasiswa pun macet ISEAKI. Apalagi masyarakat umum.

Lihat bagaimana fenomena masalah larangan mudik. Yang bikin peraturan perlu dievaluasi ISEAKInya. Masyarakat pun bisa diukur ISEAKInya.

Bahkan, saat saya coba ricek grup-grup media sosial anak-anak usia sekolah, di saat Idul Fitri di tengah pandemi, anak-anak ini pun jarang yang mengucapkan mohon maaf di grup maupun saling kirim di jaringan pribadi. Padahal itulah sarana yang paling utama di tengah pandemi untuk menjalin silaturahmi. Dan, anak-anak bahkan dengan gawai sangat lengket.

Ini perlu di teliti. Sebab,  sangat memprihatinkan. Ini degradasi moral. Dan, anak-anak jauh sekali dari ISEAKI yang diharapkan. Bahayanya lagi, sikap antipati atau seenak sendiri ini akan menjelma menjadi pribadi yang tak peduli, tak tahu diri, tak empati, tak simpati, tak rendah hati.

Pertanyaanya, ke mana dan apa arahan orang tua di rumah tentang pentingnya bersilaturahmi?

Inilah kegagalan beranak pinak di +62. Dunia formal gagal mendidik, nonformal pun tak berkutik. Mau jadi apa generasi beranak-pinak kita? Sementara para elite partai dan para pempimpin bangsa terus asyik dan sibuk sendiri dengan tahta, kekuasaan, kepentingan, KKN, hingga oligarki.

Sudah jelas dan terukur, pendidikan Indonesia gagal di membaca-literasi, dan sains. Maka, karena malas membaca akibatnya berdampak pada penguasaan ilmu pengetahuan, juga ilmu humanisme, pengetshuan umum, dll, sehingga perkembangan intelegensinya, sosialnya, emosionalnya terganggu.

Sudah begitu tak menguasai matematik dan mengantar pada lemah dalam kalkulasi dan analisis. Lemah dalam logika pun berpikir yang logis, sistematis, dan ilmiah. Lihat kasus mudik. Lihat kasus perseteruan tak berujung sisa Pilkada dan Pilpres. Itulah buktinya.

Akumulasinya, tak lahir sikap dan pemikiran kreatif-imajinatif-inovatif. Sementara masalah iman juga dipertanyakan.

Untuk itu, dari setiap kita, boleh merefleksi keadaan diri kita. Hingga seusia kita, bagaimana kondisi ISEAKI kita saat ini. Mana, yang sudah kuat dan harus dipertahankan. Mana yang masih lemah dan harus ditingkatkan.

Dengan demikian kita akan dapat membantu diri kita ke luar dari masalah dan rutinitas negatif. Lebih dari itu, kita juga dapat turut andil menjadi pencerah bagi orang lain. Menularkan dan merawat, serta mengembangkan ISEAKI demi kemaslahatan kehidupan pribadi, bermasyarakat, hingga berbangsa dan bernegara.









Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler