x

Ilustrasi Aksi Mahasiswa. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 23 Juni 2021 09:40 WIB

Masyarakat Nirdaya yang Ditinggalkan Cendekiawannya

Ketika semakin banyak kaum cerdik pandai mengabaikan suara rakyat, mengabaikan suara hati nuraninya sendiri, menutup mata terhadap ketidakadilan, mengubur kebenaran dalam-dalam, ketika itulah masyarakat berada di ambang keruntuhan. Rakyat semakin tidak memiliki daya karena penopangnya selama ini, kaum cerdik cendekia, lebih senang diam menyaksikan ketidakberdayaan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Secara konstitusional, rakyatlah pemegang kedaulatan. Sayangnya, kenyataannya tidak begitu. Di hadapan ketiga ranah institusi negara—eksekutif, legislatif, yudikatif; rakyat bagaikan kaum tanpa daya, lemah, tak bertenaga. Bahkan, di hadapan orang-orang yang di masa pemilu meminta-minta agar dipilih oleh rakyat sehingga mereka bisa duduk di pemerintahan maupun parlemen, rakyat juga nirdaya. Suara rakyat jarang diperhatikan, aspirasinya jarang diserap. Rakyat hanya bisa bersuara menuntut, tapi tak berdaya untuk mengubah keadaan dan ikut mengambil keputusan.

Di masa-masa sekarang, rakyat-banyak tidak memiliki daya untuk memaksa pemerintah maupun parlemen, serta institusi negara lainnya, agar suara rakyat-banyak dipertimbangkan dan dijadikan dasar pengambilan keputusan. Apa yang terjadi pada penyusunan omnibus law, revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] maupun pemilihan pimpinan KPK, revisi undang-undang minerba, dan perkara lain yang berdampak penting terhadap nasib rakyat, aspirasi rakyat justru tidak diperhatikan. Rakyat menjerit hingga habis suara, namun elite politik jalan terus dengan agenda mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana mungkin rakyat yang memilih, tapi aspirasi rakyat tidak diperhatikan? Inilah tragedi demokrasi. Sungguh tragis bahwa pada masa pemilihan berikutnya rakyat seakan lupa mengenai apa yang pernah dialami dan tetap memilih orang-orang yang telah mengabaikan aspirasi mereka. Apakah rakyat telah letih dan apatis untuk menjaga diri agar tetap sadar mengenai apa yang sedang terjadi pada negerinya sendiri? Apakah rakyat merasa tidak lagi punya harapan dan tak peduli lagi siapapun yang mereka terpilih?

Bahkan, di masa pemilihan itu, rakyat diminta oleh orang-orang yang memburu kursi kekuasaan agar mau mendengarkan omongan mereka. Kita diminta mendengarkan slogan-slogan mereka yang berulang-ulang diucapkan tanpa jiwa. Kita diminta menghadiri kampanye mereka yang berisi obral janji. Kita diberi sembako sekedarnya seolah itu bukti kedermawanan mereka. Ya, bahkan di masa pemilu pun, rakyat seperti kita tidak diberi kesempatan untuk berbicara dan giliran mereka yang mendengarkan.

Tak kalah menyedihkan ialah bahwa kaum cendekia yang semestinya menjadi mercu suar dan suluh yang memandu bangsa ini agar berjalan di rel yang benar menuju cita-cita Republik ternyata juga tunduk pada kekuasaan. Kecerdasan mereka tidak lagi dimanfaatkan untuk membimbing dan menyelamatkan masyarakatnya. Kecerdasan mereka takluk pada hasrat akan jabatan.

Banyak cendekiawan yang semula menyuarakan cita-cita rakyat kini memilih menjadi juru lantang kekuasaan, menjadi penyusun argumentasi kekuasaan untuk meyakinkan rakyat, bahkan menjadi sekedar kepanjangan tangan kekuasaan. Syukurlah masih ada sedikit cendekiawan yang tetap menjaga kesadaran, nalar-sehatnya, serta mata-hatinya untuk kebaikan masyarakatnya. Namun hingga kapan mereka sanggup bertahan? Terlebih ketika suara mereka pun tidak diperhatikan.

Ketika semakin banyak kaum cerdik pandai mengabaikan suara rakyat, mengabaikan suara hati nuraninya sendiri, menutup mata terhadap ketidakadilan, mengubur kebenaran dalam-dalam, ketika itulah masyarakat berada di ambang keruntuhan. Rakyat semakin tidak memiliki daya karena penopangnya selama ini, kaum cerdik cendekia, lebih senang diam menyaksikan ketidakberdayaan rakyat. Mereka lebih senang berdiam diri di sangkar emas dan berlaku seolah-olah tidak tahu perihal apa yang terjadi di tengah bangsanya. Mereka pintar berkilah dan berdalih karena mereka pada dasarnya cerdik cendekia.

Dalam keadaan seperti ini, kepada siapa rakyat akan berpaling agar kedaulatannya kembali? Kepada siapa rakyat dapat meminta pertolongan agar suaranya didengarkan, keinginannya diperhatikan, dan aspirasinya dijadikan dasar keputusan kekuasaan? Sekedar contoh, alasan-alasan agar seseorang bisa menjabat presiden selama tiga periode adalah hasil kecerdasan tanpa hati nurani, yang hanya berpikir dalam kerangka kekuasaan dan tidak peduli pada masa depan demokrasi yang sehat. Usulan amendemen terhadap aturan dua periode menunjukkan dengan gamblang betapa konstitusi diperlakukan sebagai kesepakatan yang bisa diubah kapanpun agar sesuai dengan kepentingan sendiri.

Di masa-masa seperti ini, menjadi penting untuk menengok sejarah. Bukan untuk bernostalgia, melainkan untuk mengingat kembali bagaimana rakyat dan kaum cerdik cendekia bekerja bersama.

Di masa perjuangan kemerdekaan, kaum cerdik cendekia berada di garda terdepan dan menjadi pemandu masyarakatnya dalam perjuangan melawan kaum kolonial. Mereka bukan hanya mengerahkan kecerdasannya untuk membebaskan bangsa ini dari kaum kolonial, tapi juga menajamkan mata hati mereka untuk menangkap jeritan penderitaan rakyat dan menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan bersama. Di masa kini, banyak cerdik cendekia lebih senang makan minum bersama dengan elite kekuasaan, dan bahkan menjadi penyambung lidah mereka ketimbang memperjuangkan dan memperkuat barisan rakyatnya yang nirdaya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB