x

Ilustrasi Aksi Mahasiswa. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 30 Juni 2021 11:35 WIB

Anggota Parlemen: Mengapa Ragu Jadi Penyambung Lidah Rakyat?

Mengapa para anggota parlemen terlihat enggan menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat? Mengapa mereka lebih mengesankan sebagai wakil partai politik, juru bicara elite politik, bahkan sekutu pemerintah yang amat akrab? Mungkinkah situasi itu berakar pada latar belakang para anggota Dewan yang umumnya kaya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada pertanyaan yang mengusik: mengapa para anggota parlemen terlihat enggan menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat? Padahal rakyat yang memilih mereka untuk mewakili duduk di DPR. Mengapa mereka lebih mengesankan sebagai wakil partai politik, juru bicara elite politik, bahkan sekutu pemerintah yang amat akrab? Padahal, nama institusi tempat mereka berkantor setiap hari adalah Dewan Perwakilan Rakyat—sangat gamblang: perwakilan rakyat.

Realitasnya, ketimbang menjadi penyambung lidah rakyat, mereka lebih terlihat sebagai kepanjangan elite politik di partai maupun pemerintahan. Malah ada yang menjuluki petugas partai, maksudnya kalau tidak mau nurut kemauan [elite] partai, yo wassalam saja sebab yang ngantri pengen duduk di kursi parlemen masih panjang. Bahkan, ada yang sanggup bayar milyaran biar bisa menggantikan kursi yang kosong karena satu dan lain penyebab.

Mungkinkah situasi itu berakar pada latar belakang para anggota Dewan? Maksudnya, ada korelasi antara kebiasaan dan gaya hidup anggota Dewan dengan pandangan mereka dalam melihat persoalan rakyat bawah, misalnya kurangnya lapangan pekerjaan dan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari, khususnya sembako. Apakah mereka tahu bahwa di saat pandemi seperti sekarang banyak ayah dan bunda yang berantem karena penghasilan menurun serta seret pula, sementara harga-harga bergerak naik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mayoritas pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD memang bukan berasal dari rakyat menengah bawah, malah lebih dari separo anggota DPR merupakan pengusaha. Mereka agaknya tidak mengenal baik kehidupan rakyat bawah, yang mudah goyah oleh kenaikan harga sembako. Lantaran tidak peka terhadap perubahan pasar—dalam arti sebenarnya, mereka mungkin merasa keadaan baik-baik saja. Kalaupun mereka tahu bahwa harga sembako naik, datanya mungkin berasal dari BPS. Mereka tidak melihat sendiri keadaan di pasar bagaimana harga bahan makanan bisa naik turun dalam satu pekan.

Mayoritas pimpinan MPR/DPR/DPD tidak berumah di gang-gang sempit, tidak biasa berbelanja di pasar tradisional, dan mungkin tidak pernah makan di warung-warung. Kalau tinggal di gang sempit, lantas mau disimpan di mana mobil-mobil mereka, masuk gang saja susah. Mereka juga tidak suka berbelanja di pasar tradisional yang becek di waktu hujan dan beraroma sedap, padahal di pasar-pasar inilah ada banyak inspirasi untuk disuarakan di gedung parlemen. Misalnya, bagaimana ibu-ibu menawar cabe—beda seribu rupiah pun wajib dinegosiasi agar anggaran belanja rumah tangga superketat tidak goyah. Pernahkah ibu-ibu DPR berbelanja sendirian ke pasar tradisional, tanpa pengawal, tanpa berombongan, dan tanpa ngajak jurnalis, biar tahu persis dialog cerdas di antara pembeli dan pedagang? Mereka mungkin juga tidak pernah mendengarkan obrolan di warung Tegal atau warung kopi lainnya, tempat rakyat berbicara jujur mengenai diri mereka sendiri.

Meskipun nama formalnya wakil rakyat, tapi tidak pernah hidup di tengah rakyat bawah, bagaimana mungkin mereka akan menangkap pikiran dan perasaan rakyat serta menyuarakan aspirasi rakyat? Ada pimpinan yang hobi mengoleksi mobil mewah sekelas Ferrari dan Lamborghini, ada pimpinan yang tajir melintir dengan laju peningkatan kekayaan yang mengagumkan.

Lantas apa pentingnya, apa relevansinya, antara latar belakang para pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD dengan rakyat? Latar belakang kehidupan jelas memengaruhi cara pandang anggota parlemen itu terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan, dan ini kemudian memengaruhi kebijakan-kebijakan mana yang mereka dukung dan mana yang mereka tolak. Kalau soal kemudahan dan insentif untuk investasi usaha, mereka mudah nyambung, sebab mayoritas mereka pengusaha.

Gaya hidup mereka juga memengaruhi kepekaan terhadap persoalan-persoalan yang dirasakan oleh masyarakat bawah. Mereka tidak sensitif, misalnya, pada kenaikan harga ayam potong atau telur ayam sekitar 3-4 ribu rupiah per kilo. Padahal bagi masyarakat bawah, ini sudah mengganggu anggaran rumah tangga. Tidak mengherankan bila para DPR-wan/wati itu maupun para ‘sultan’ yang duduk di pemerintahan tidak mampu menangkap apa yang dipikirkan rakyat. Indera mereka tidak mampu merasakan apa yang dirisaukan rakyat. Hati mereka tidak mampu berempati terhadap kesukaran yang dialami rakyat.

Karena itu, menjadi agak sukar untuk berharap bahwa para politisi yang duduk di MPR/DPR/DPD akan berperan sepenuh hati mewakili rakyat. Demokrasi kita kelihatannya nyaris gagal menempatkan wakil rakyat sejati di gedung parlemen, sebab gedung itu justru lebih banyak diisi oleh kelompok masyarakat papan atas. Rakyat, wong cilik, orang kebanyakan hanya menjadi tangga pijakan mereka memasuki gedung parlemen. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler