x

cover buku Ma Yan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 24 Agustus 2021 16:01 WIB

Ma Yan - Kisah Gadis Muslim di Tiongkok dalam Mengejar Pendidikan

Ma Yan adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata. Novel ini berkisah tentang perjuangan seorang ibu yang mengupayakan pendidikan bagi anak perempuannya. Novel ini juga menuturkan perjuangan Ma Yan, seorang anak perempuan dari suku Hui yang beragama Islam di Tiongkok dalam menjalani pendidikannya dalam kondisi miskin dan lapar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ma Yan

Penulis: Sanie B. Kuncoro

Tahun Terbit: 2009

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Bentang        

Tebal: vii + 214

ISBN: 978-979-1227-50-6

 

Saya merasa begitu akrab dengan buku ini. Sebab ada paling tidak dua singgungan antara saya dan buku ini. Pertama adalah tentang bagaimana tokoh utama buku ini - Ma Yan harus mengalami penderitaan yang sangat hebat dalam menggapai pendidikan. Demikian pun saya. Meski kisah pendidikan saya tentu tak sebanding dengan kisah Ma Yan. Tetapi pendapat Ibu Ma Yan dan pendapat ayah saya adalah sama. Hanya pendidikan adalah alternatif terbaik untuk melepaskan diri dari takdir kemiskinan (hal. 121). Seperti halnya ibu Ma Yan, ayah saya juga meyakini hal itu. Ketika keluarga kami bangkrut dan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah, ayah saya marah besar. Beliau mengatakan bahwa kalau saya tidak sekolah, maka seluruh keluarga akan tetap menjadi orang miskin.

Singgungan kedua adalah asal suku Ma Yan. Suku Hui. Kebetulan di tahun 2004-2010 lalu saya mondar-mandir ke Provinsi Yunnan di Tiongkok mengerjakan sebuah program pertanian di wilayah Delta Mekong. Salah satu penerima manfaat program dimana saya bekerja adalah Suku Hui. Suku Hui adalah salah satu suku minoritas dari 58 suku di Tiongkok. Suku Hui beragama Islam. Mereka taat menjalankan agamanya. Meski menjalankan agama Islam dengan sangat taat, tetapi mereka tetap berbudaya Tiongkok. Saya pernah diundang makan siang oleh Kepala Dinas Pendidikan. Karena Kepala Dinas tersebut tahu saya dari Indonesia, maka dia menyiapkan makanan khusus buat saya. Makanan halal! Jadi, kami berdua makan dari piring-piring lauk yang dia siapkan khusus buat saya. Sementara para penyuluh pertanian lainnya menikmati makanan yang mengandung daging babi.

Berbeda dengan keluarga Ma Yan yang dikisahkan oleh Sanie B. Kuncoro (Sanie) dalam buku ini, suku Hui yang saya temui tidaklah terlalu miskin. Mereka tinggal di kota sampai ke desa-desa pelosok. Selain menjadi petani dan pegawai negeri, ada dari mereka yang membuka usaha rumah makan halal di kota-kota di Provinsi Yunnan, termasuk di Kunming. Anak-anak mereka bersekolah dengan baik. Memang mereka yang tinggal di pelosok hanya bisa menikmati pendidikan sampai kelas 2 di desanya. Kalau mereka harus melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, mereka harus tinggal di asrama yang letaknya di Kota Kecamatan.

Saya suka cara Sanie mengisahkan Ma Yan. Dia membuka permasalahan kemiskinan keluarga Ma Yan, bukanlah karena mereka malas. Kemiskinan keluarga Ma Yan adalah akibat dari kebijakan negara yang kurang pertimbangan. Mao Tse Tung yang ingin negaranya segera berjaya membuat kebijakan yang kurang memperhatikan dampak jangka panjang. Maka kerusakan alam, hilangnya air sebagai akibat dari kebijakan tersebut menyebabkan kemiskinan yang absolut kepada rakyat pedesaan. Bekerja sekeras apapun orang tak akan bisa membebaskan dirinya dari kemiskinan struktural ini.

Sanie memilih dua orang perempuan untuk mengungkap kisah yang luar biasa ini. Ma Yan dan ibunya secara bergantian menjadi orang pertama yang bertutur. Dua perempuan! Melalui tokoh Bai Juhua – ibu Ma Yan, Sanie bertutur tentang cinta dan kerja keras seorang ibu. Sementara dari penuturan Ma Yan, kita disuguhi bagaimana perjuangannya dalam kemiskinan – dan bahkan kelaparan, untuk menjangkau pendidikan. Tuturan dua perempuan ini membuat saya bisa mendapatkan perspektif sebuah peristiwa dari pihak anak dan dari pihak ibu. Sungguh sangat menarik.

Para perempuanlah yang sesungguhnya menjadi korban terdalam dari sebuah sistem. Bai Juhua menyadari bahwa sebagai perempuan hidupnya tidaklah menarik dan sama sekali tidak penting. Kalaupun para perempuan ini memiliki peran penting yaitu melahirkan generasi berikutnya, peran tersebut sesungguhnya hanyalah sebuah proses melanjutkan kemiskinan dari generasi ke generasi. Namun Bai Juhua tidak ingin menjadi perempuan yang sekadar menjadi penerus tradisi kemiskinan. Ia berupaya memberi pendidikan kepada anak-anaknya. Termasuk pendidikan bagi Ma Yan, anak perempuannya!

Tinggal di sebuah desa yang gersang dengan luasan lahan yang hasilnya tak cukup untuk memberi makan keluarganya, ayah dan ibu Ma Yan harus bekerja keras dalam upaya untuk memberikan pendidikan yang memadai bagi ketiga anaknya. Ayah Ma Yan selain mengerjakan lahannya sendiri, juga bekerja untuk lahan tetangganya. Kadang ia harus bekerja ke Mongolia Dalam sebagai tenaga kerja liar di proyek konstruksi. Karena berstatus sebagai tenaga kerja liar, maka sering ditipu oleh pemberi kerja. Mereka ditinggal begitu saja tanpa mendapatkan bayaran. Sedangkan Ibu Ma Yan harus rela bekerja keras di ladang dalam kondisi sakit lambung yang semakin parah.

Setelah segala upaya yang dilakukan sepertinya tak akan membawa hasil, Bai Juhua menyerahkan catatan harian yang dibuat oleh Ma Yan kepada para bule yang sedang melakukan ekspedisi ke desanya (hal. 14). Buku yang berisi catatan harian Ma Yan inilah yang kemudian membuka mata dunia akan masalah akses pendidikan di wilayah pelosok dan orang-orang yang miskin secara struktural.

Penuturan Ma Yan tak kalah menarik. Bagaimana semangatnya untuk mendapatkan pendidikan yang dituangkan oleh Sanie begitu mengharukan. Ma Yan harus jalan kaki karena tidak mempunyai cukup uang untuk menuju dan pulang dari sekolah. Padahal jalanan yang harus dilalui sering ada perampok yang kejam (hal. 38). Kisah bagaimana Ma Yan mendapatkan pena pertamanya juga sangat menyentuh. Ma Yan harus berpuasa beberapa pekan supaya bisa membeli pena tersebut (hal. 55). Dengan pena itulah Ma Yan membuat catatan harian.

Sebenarnya kemiskinan tidak serta-merta membunuh sengat anak-anak untuk bersekolah dan belajar. Bagi beberapa anak, kemiskinan justru menjadi pemicu baginya untuk berjuang lebih giat menjangkau pendidikan. Namun kadang upaya yang dilakukannya bersama dengan keluarganya tak cukup besar untuk bisa naik dalam kereta yang bernama pendidikan tersebut. Perlu ada pihak-pihak yang harus bertanggung jawab untuk membuka akses pendidikan bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan karena sebab apapun. Pihak itu adalah Pemerintah yang telah diberi kuasa untuk menyejahterakan rakyatnya. Selain itu, beberapa dari mereka dibantu oleh semesta sehingga bisa menikmati kemewahan pendidikan meski keluarganya sebenarnya tak mampu untuk membiayainya. Semesta yang bekerja. Saya adalah salah satunya. 619

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler