x

cover buku Sekuntum Nozomi III

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 26 Agustus 2021 07:39 WIB

Sekuntum Nozomi III - Dokumentasi Tragedi Perkosaan dan Pembunuhan Mei 1998

Tragedi Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan. Novel karya Marga T ini mendokumentasikan kekejaman tragedi tersebut. Perkosaan dan pembunuhan terhadap para perempuan Tionghoa dan yang mirip tionghoa, serta identitas para perusuh digambarkan secara detail dalam novel ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Sekuntum Nozomi III

Penulis: Marga T

Tahun Terbit: 2007

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama        

Tebal: 464

ISBN: 978-979-22-2892-2

 

“Cina-cina itu bukannya pemberontak dengan Gerakan Cina Merdeka. Mereka bukan mau mendirikan Republik Cina di Indonesia, kenapa kita aniaya kaum wanita mereka kayak gitu? Memang banyak Cina yang tengik, tapi itu cuma yang kaya dan tengiknya itu karena punya dekingan kuat di antara penguasa… Para korban mungkin berharap dan menunggu-nunggu kedatangan polisi yang akan menyelamatkan mereka. Nyatanya sampai mereka diperkosa dan kemudian dibunuh, tidak ada yang menolong.” Demikain ungkapan Brigjenpol Razab saat meminta berhenti sebagai polisi kepada atasannya (hal. 307).

Sebenarnya saya sudah hampir menyerah membaca novel ini. Sebab novel ini menggunakan terlalu banyak tokoh yang sangat sulit untuk saya ingat. Bahkan masing-masing tokoh-tokoh itu sudah pernah muncul sebagai tokoh utama di buku-buku karya Marga T sebelumnya. Bahkan tokoh Karmila yang menjadi tokoh utama novel pertama Marta T masih ikut muncul di novel ini. Di bagian Akhir, Karmila menjadi anggota DPR yang ikut menginvestigasi peristiwa Mei 1998.

Jalinan ceritanya pun sangat rumit berbelit. Sebab, seperti para tokohnya, kisah di Sekuntum Nozomi III (SNz-3) ini bersangkut kait dengan kisah-kisah yang sudah ditulis oleh Marga T sebelumnya. Kesulitan yang saya alami dalam membaca novel ini adalah karena saya belum pernah membaca novel-novel Marga T sebelumnya. Memang Marga T memberikan peta jalan supaya para pembaca yang tidak membaca karya-karya beliau sebelumnya bisa mengikuti alur di SNz-3 ini (lihat bagian Keterangan di halaman 25-27 dan Daftar Nama Tokoh di halaman 419). Namun peta jalan itu tak cukup membantu saya untuk memahami detail alur cerita dan para tokohnya.

Semangat saya untuk meneruskan membaca novel ini terpicu oleh banyaknya tokoh yang memberikan sambutan atas Sekuntum Nozomi III. Tak kurang Wimar Witoelar, Melani Budianta, Leo Suryadinata Richard Oh dan Rosita S. Noer memberikan pengantar di buku ini. Bahkan Pak Leo membantu Marga T mengoreksi detail budaya Peranakan yang muncul di berbagai halaman di novel ini.

Novel ini spesial sebab SNz-3 secara khusus membahas peristiwa Mei 1998 yang membawa banyak korban dari kalangan perempuan tionghoa. Bahkan Wimar Witoelar menjuluki SNz-3) sebagai karya besar, novel historis berukuran epic (hal. 15). Melani Budianta mengapresiasi keberanian Marga T untuk menuangkan peristiwa sadis nan tragis tersebut ke dalam karya sastra (hal. 18). Tentu ini adalah sebuah keberanian. Sebab, meski novel ini ditulis 8 tahun setelah peristiwa Mei 1998, namun harus disadari bahwa para otak yang mendisain peristiwa barbar ini masih hidup, masih punya kuasa dan masih punya senjata untuk menculik dan membunuh siapa saja yang berupaya mengungkap kebrutalan kemanusiaan ini.

Saya menduga Marga T sudah lebih dulu menulis SNz-3 sebelum kemudian mendapat ide untuk memasukkan tragedi Mei 1998 ke dalamnya. Sebab baru di Bab 40, kisah tragedi 1998 ini mulai muncul di SNz-3. Artinya 223 halaman awal sudah terlebih dahulu ada, sebelum bagian tragedi Mei 1998 masuk.

Jadi, bagi yang ingin membaca novel ini karena ketertarikannya terhadap Peristiwa Mei 1998, silakan langsung membaca dari bab 40 di halaman 224.

Mulai di Bab 40 inilah tokoh yang bernama dokter Lydia mulai mengambil peran sebagai tokoh penting. Dokter Lydia adalah pribumi yang wajahnya mirip cina. Ibunya menderita sakit ginjal yang memerlukan uang sangat banyak untuk perawatan. Tokoh Om Liem menjadi sahabat keluarganya yang banyak membantu dalam pengobatan ibu dokter Lydia. Melalui hubungan keluarga Lydia dengan keluarga Om Liem, Marga T menggambarkan betapa harmonisnya hubungan antara pri dan non pri. Dokter Lydia digunakan oleh Marga T untuk menjadi “mata” dalam mendokumentasikan peristiwa-peristiwa keji yang dialami para perempuan Tionghoa dan yang mirip Tionghoa pada kerusuhan 1998.

Peristiwa-peristiwa yang didokumentasikan di novel ini diantaranya adalah pelecehan dan perkosaan para perempuan cina di bus di sekitar Slipi (hal. 244). Dalam peristiwa ini Lydia digambarkan sebagai saksi mata sekaligus korban yang selamat. Dokter Lydia selamat karena para perusuh ternyata bisa membedakan KTP pri dan nonpri. Ternyata KTP nonpri ada tandanya (hal 247). Adalah sangat menarik untuk menganalisis mengapa para perusuh ini bisa membedakan jenis KTP yang orang awam tidak tahu. Pengetahuan yang khusus semacam ini tentu hanya dimiliki oleh mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan intelejen. Para perusuh ini juga takut kepada Pak Kijang yang datang menyelamatkan para perempuan yang sedang dilecehkan tersebut. Sepertinya antara kelompok Pak Kijang saling kenal dengan para perusuh tersebut (hal 255). Kelompok yang dipimpin Pak Kijang adalah orang yang menyelamatkan para perempuan yang sedang dilecehkan dan diperkosa di dekat Slipi. Orang misterius ini menyembunyikan para korban di sebuah rumah sehingga sebagian dari para korban ini selamat.

Kisah lain yang dimuat dalam SNz-3 adalah penyerbuan ke sebuah Bank di Kelapa Gading. Kejadian ini selain dipakai untuk menggambarkan kekejaman para perusuh yang melecehkan dan memperkosa para perempuan pegawai bank, juga dipakai oleh Marga T untuk mendeskripsikan dialek tertentu yang dipakai oleh para perusuh. Para perusuh berambut cepak, berbadan kekar itu terorganisir dan memakai dialek tertentu.

Di bagian depan buku ini Marga T secara khusus menyebut nama Sintawati dan Margaretha Martadinata. Kedua nama ini adalah korban perkosaan peristiwa Mei 1998. Marga T menuliskan kisah Sinta di halaman 294. Sinta memilih untuk bunuh diri dengan minum baygon karena tidak tahan dengan penderitaan yang dialaminya (hal. 311).

Di halaman 378, Marga T mulai mengisahkan sebuah tim yang akan memberi kesaksian kekejaman ke Washington. Setelah para relawan ini memberi kesaksian kepada Tim Pencari Fakta, mereka berniat untuk berangkat ke Amerika demi memberi kesaksian kekejaman terhadap perempuan ini. Tokoh bernama Bonita, seorang aktifis ditemukan tewas dalam kondisi telanjang, mengalami luka tusukan di berbagai tempat di tubuhnya, lehernya digorok dan ada bekas perkosaan (hal. 384). Sementara yang muncul di berita media adalah Bonita seorang pecandu narkoba yang melacurkan diri. Para relawan ini selain diteror juga dihancurkan nama dan reputasinya.

Selain berkisah tentang kekejaman terhadap perempuan, Marga T juga menggambarkan persahabatan yang penuh nilai kemanusiaan. Marga T mengisahkan Pak Kijang dan kelompokya - yang sepertinya berlatar belakang militer, yang berupaya menyelamatkan para korban. Pak Kijang tahu bahwa tindakannya ini bisa sangat berbahaya bagi karir dan keselamatan jiwanya. Ada kisah Brigjenpol Razab yang tidak kuat menanggung tekanan batin karena sebagai polisi dia tidak bisa melindungi warganya (hal. 307). Ada juga tokoh yang sekelebat muncul yang mempunyai peran menyelamatkan korban perkosaan dan pembunuhan. Tokoh tersebut adalah Haji Harun (hal 350). Dalam tragedi kemanusiaan senantiasa hadir orang-orang yang memiliki rasa kemanusiaan dan keberanian untuk menyelamatkan sesama. 620.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler