x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 30 September 2021 14:23 WIB

Petaka di Desa Wonopati - Part 4: Kebenaran

Akhirnya Usman menceritakan sebuah kebenaran yang selama ini ditutupinya. Sebuah kebenaran dibalik insiden kematian Aki Cokro Ismoyono.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Usman mengaku bahwa dia dan Suparji bekerja untuk Mbah Bhadrika sebagai pesuruh, sehingga mereka menjadi saksi atas kehidupannya yang tidak diketahui oleh banyak orang. Mbah Bhadrika tinggal bersama istri dan kedua anaknya di sebuah rumah yang terletak di dalam hutan dan di tepi tebing gunung; agar jauh dari keramaian, sehingga dia bisa memperkuat ilmu kebatinannya.

Mbah Bhadrika berhasrat jadi seorang dukun hebat di desanya, sehingga dia menjadi pesaing Aki Cokro. Namun di balik semua itu, dia juga seorang simpatisan pasif Kelompok Merah. Meskipun paham Kelompok Merah sangat kontras dengan profesinya, tapi dia sangat terinspirasi dengan ajaran yang selalu mengatasnamakan rakyat kecil yang tertindas dan penentangan terhadap kepemilikan lahan oleh para tuan tanah. Walhasil, tidak mengherankan jika dia sering menyantet para tuan tanah di Desa Wonopati, baik itu permintaan dari klien atau sekedar inisiatifnya.

Saat meletusnya pembasmian Kelompok Merah, Mbah Bhadrika menjadi sangat panik. Tetapi berkat akal liciknya, dia menyuruh Usman dan Suparji untuk menyebarkan rumor bahwa Aki Cokro adalah seorang anggota Kelompok Merah. Mbah Bhadrika juga mengancam mereka, jika berani melaporkannya, maka dia tidak segan menyeret mereka agar ikut dieksekusi bersamanya. Mengingat bila seorang majikan atau pekerja yang tertangkap sebagai simpatisan atau anggota dari Kelompok Merah, maka mereka semua akan ikut diseret untuk ditahan atau dieksekusi. Selain itu, Mbah Bhadrika juga meyakinkan mereka bahwa dia akan menjamin keselamatannya jika kooperatif. Dengan ancaman dan janji manisnya, lantas mereka menuruti perintahnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemudian Mbah Bhadrika menyuruh mereka untuk bergabung menjadi sukarelawan pembasmi Kelompok Merah, demi menyerang rumah Aki Cokro sembari menyisipkan simbol dan buku-buku berpaham Kelompok Merah yang dimilikinya, agar menciptakan kesan bahwa itu adalah milik Aki Cokro. Walhasil, tidak mengherankan jika mereka berdua jadi sangat provokatif dan menggila saat mengetahui Santi - cucu Aki Cokro - dapat mengucapkan 'istighfar'. Semua itu dilakukan demi mencuci tangan dari petaka, sekaligus menghancurkan Aki Cokro. 

Semenjak kematian Aki Cokro, Mbah Bhadrika berhasil menjadi dukun nomor satu di Desa Wonopati, tanpa harus susah payah bersaing dengannya. Bahkan pelanggan Mbah Bhadrika juga meningkat pesat. Banyak warga desa yang berbondong-bondong ke rumahnya untuk berobat, meminta amanat, atau menyantet orang. Di saat itu jugalah, Mbah Bhadrika menyebarkan berita palsu pada warga mengenai Aki Cokro dengan bumbu-bumbu yang dramatis penuh kenistaan.

Setelah satu tahun telah berlalu dan peristiwa pembunuhan misterius mulai menggemparkan Desa Wonopati, Mbah Bhadrika menyadari adanya ancaman yang mengincar orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian Aki Cokro, termasuk dirinya. Saat itu juga dia mencoba melawannya. Tetapi Mbah Bhadrika selalu gagal, sampai akhirnya dia sadar, bahwa sosok yang dihadapinya adalah sosok yang kuat, tua, dan jahat. Lebih-lebih dibakar oleh api murka dan dendam, sehingga makin sulit untuk ditaklukan. Namun dia tetap berusaha melawan, hingga di hari Usman datang ke rumahnya. 

Usman datang ke rumah Mbah Bhadrika karena dia mengetahui bahwa dia adalah gilirannya untuk mati. Usman mengetahuinya karena urutan orang yang terbunuh itu sama dengan urutan orang yang menggagahi Santi. Dimulai dari Panji, terus Suparji, lalu Maruf, setelah itu baru dirinya. Karena gelisah akan keselamatannya - ditambah dengan hari yang mulai gelap - membuat Usman mengingkari janji dengan teman-temannya dan pergi lebih awal ke rumah Mbah Bhadrika, sekaligus menagih janji perlindungannya. 

Setibanya di sana, Usman disambut oleh berang Mbah Bhadrika dan ketakutan dari keluarganya. Mereka menganggap Usman datang sambil membawa sosok itu ke rumahnya, sehingga terjadi cekcok di antara mereka berdua. Namun semua itu berakhir setelah terdengar suara tiupan angin keras, hingga melemparkan bebatuan, tanaman-tanaman, dan mengubrak-abrik pepohonan yang ada di sekitar rumah Mbah Bhadrika. Setelah menyadari perihal itu, Mbah Bhadrika menjadi sangat panik, seakan malaikat maut telah tiba di rumahnya. 

Karena takut keluarganya ikut jadi korban, Mbah Bhadrika segera melakukan hal gila dengan dalih penyelamatan. Dia menyuruh Usman dan istrinya untuk mengikat kedua anaknya dengan batu dan membuangnya ke dalam sumur yang terletak di halaman belakang rumah. Lantas mereka melakukannya dengan perasaan ngeri, sedih, dan lainnya yang sulit diungkapkan. Mereka juga memotong tali sumur itu dan menutupnya dengan tumpukan kayu, membiarkan anak-anaknya mati tenggelam di dalam sumur tersebut.

Arkian, Mbah Bhadrika segera menyuruh istrinya untuk mengakhiri hidupnya. Di waktu yang bersamaan, pintu rumahnya terbuka dengan sendirinya dan diiringi oleh pecahnya kaca-kaca jendela, sehingga menciptakan butiran debu kristal di seluruh penjuru ruangan. Usman yang ketakutan segera lari masuk ke dalam lemari kayu dan bersembunyi, sambil mengintip dari lubang kunci. 

Dia menyaksikan Mbah Bhadrika bersama istrinya yang panik sembari melihat ke arah pintu yang terbuka itu, seakan mereka melihat sosok yang sangat mengerikan. Kemudian Mbah Bhadrika langsung menggertak sosok tersebut sambil menghunus kerisnya. Namun sebelum dia sempat membacakan mantra, seketika tubuhnya terangkat ke langit ruangan dengan sendirinya, lalu pecah menjadi 65 potong. Darahnya bercipratan ke mana-mana, menodai dinding, lantai, langit-langit ruangan, hingga mengenai sekujur tubuh istrinya yang histeria selama menyaksikan adegan horor itu. 

Lantas istri Mbah Bhadrika segera lari masuk ke dalam kamarnya. Di sana Usman hanya melihat melalui pantulan bayangan dari dinding kamar, bahwa istri Mbah Bhadrika mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri. Kemudian suasana menyisakan suara raungan mengerikan dan suara benda dilempar atau berjatuhan; sekaligus terdengar juga suara cakaran di dinding, lantai, dan pintu. Semua itu berhenti setelah suara pintu rumah yang kembali tertutup, sehingga membuat keadaan menjadi gelap gulita. Usman tidak berani mengintip keluar dan terus mendekam ketakutan sampai teman-temannya datang dan menemukannya.

****

"Bangsat!" bentak Wahyu sambil meninju wajah Usman.

"Jadi selama ini, kamu bagian dari simpatisan Kelompok Merah?" tanya Herman dengan penuh amarah.

Mereka semua sangat tidak percaya pada kenyataan itu. Sedangkan Usman hanya bisa memohon ampun sembari menangis sesenggukan.

"Brengsek! Berani-beraninya kalian memperalat kami untuk membunuh orang yang tidak bersalah?" bentak Broto sambil menendang perut Usman hingga tersungkur di atas lantai.

"Sekarang teman-teman kita jadi harus mati! Dan kita juga harus ikut menanggungnya! Dasar sialan! Merah bajingan!" teriak Herman penuh murka.

Tiba-tiba angin mengembus kencang memasuki ruang - tempat mereka berada - melalui jendela yang bolong itu, sehingga membuat mereka terdiam dan melihat keadaan sekitar dengan panik. Namun, di waktu yang bersamaan, mereka juga dikejutkan oleh jerit kengerian Usman.

"Tidak! Tidak! Dia... dia datang! Dia datang!" teriak Usman sembari mengarahkan jari telunjuk ke arah luar jendela yang menghadap hutan. 

Sontak mereka semua menoleh ke arah yang ditunjuk Usman, tapi tidak menemukan apa-apa selain pepohonan yang bergoyang.

"Sialan! Kamu mau mempermainkan kami lagi?" ujar Wahyu.

"Jangan! Tidak!" teriak Usman, "Maafkan aku! Jangan bunuh aku! Ampuuunn!"

Lantas dia langsung berlari keluar melalui pintu belakang, dan masuk ke dalam hutan. Sedangkan mereka bertiga segera mengejar Usman sampai di sebuah tepi jurang. Di sana Usman melompat ke dalam jurang itu dan menewaskannya seketika, akibat benturan dari bebatuan tajam, sehingga memecahkan kepalanya. Mereka bertiga yang melihat kejadian itu langsung histeria.

Tidak jauh dari tempat mereka berada, terlihat seorang pria berusia sekitar kepala tujuh dan mengenakan pakaian serba putih. Di tangan kirinya memegang sebuah tongkat kayu untuk membantunya berjalan menuruni bukit. Kumis dan jenggot putih yang menghiasi wajahnya telah menciptakan karisma pada dirinya. Apabila dilihat dari penampilannya, pria itu tampak seperti seorang Kyai. Dia menatap ketiga pemuda itu dengan rasa iba, lalu segera menghampirinya.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB