x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Januari 2024 11:29 WIB

Penampilan Gibran yang Arogan dan Tuna Adab dalam Debat Cawapres

Putra Jokowi itu telah mempertontonkan sikap arogan dan tuna adab di acara debat kedua cawapres 2024. Dia melanggar aturan serta tata-tertib debat KPU hingga melecehkan paslon lain secara personal. Selain itu ia juga dinilai tidak memahami topik debat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apabila seorang paslon lahir dengan cara cacat etika, maka tidaklah mengherankan jika karakternya akan mengangkangi adab dan tidak berkualitas. Pasca debat kedua capres lalu (7/1/2024), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti kurangnya substansi dan visi dalam debat tersebut, karena adanya mencela hingga serangan personal. Namun kritik tersebut justru dikangkangi oleh putra sulungnya sendiri, yaitu paslon cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka.

Dalam debat kedua cawapres kemarin (21/1/2024), penampilan Gibran dinilai arogan, tidak beradab dan terkesan menyerang personal secara eksplisit. Sepanjang debat, ia secara membabi buta menyerang, merendahkan dan mengolok-olok karakter personal paslon lain. Bahkan, ia juga berkali-kali meremehkan KPU sebagai penyelenggara debat dengan tidak mematuhi aturan dan tata tertib debat yang terus-menerus diulang oleh moderator.

Kita bisa menyaksikan, bagaimana Gibran berusaha menjatuhkan paslon cawapres nomor urut 01 Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dengan menyebut pertanyaannya dapat bocoran dari Wakil Ketua Timnas AMIN Thomas Trikasih Lembong. Selain dari itu, ia juga mempertanyakan komitmennya soal lingkungan hidup karena menggunakan botol plastik saat debat dengan nada yang merendahkan. Padahal menurut klarifikasi dari Kapten Timnas AMIN, Muhammad Syaugi Alaydrus, botol plastik tersebut telah disiapkan oleh panitia (Detik News, 22/1/2024).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan, ia juga masih memakai akronim dan istilah asing dalam debat. Seperti memakai LFP (Lithium Ferro Phosphate) saat bertanya ke Cak Imin, karena sering digaungkan oleh timsesnya. Kemudian menggunakan istilah ‘greenflation’ untuk paslon cawapres nomor urut 03 Mahfud MD, dengan dalih bahwa ia seorang “profesor”, sehingga seharusnya tahu dengan istilah tersebut. 

Akan tetapi, pemakaian istilah tersebut bukan untuk mendapatkan jawaban, melainkan hanya ingin mengolok-olok kandidat lain. Hal tersebut dilakukan demi menciptakan kesan bahwa mereka tidak memiliki pemahaman dan wawasan yang luas. 

Pada kasus LFP, Gibran menanggapi jawaban Cak Imin dengan menilai ia tidak sinkron dengan timsesnya. Ia juga menegaskan bahwa timses Cak Imin sering berbicara soal LFP terutama Tesla yang tidak memakai nikel, sebagai bentuk pembodohan publik. Menurutnya, Tesla memakai nikel sehingga bisa menjadi kekuatan Indonesia dalam bentuk bargaining, sebagai negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Namun kenyataannya, pernyataan Gibran kurang akurat.

Menurut Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Pengembangan Industri sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusumah, saat ini Tesla memang tercatat masih menggunakan nikel sebagai komponen pembuatan baterai kendaraan listrik, yakni baterai Nickel Mangan Cobalt (NMC). Namun, kedepannya Tesla akan menggunakan baterai baru tipe prismatik atau LFP yang akan diaplikasikan di semua jenis EV Tesla (CNBC Indonesia, 23/1/2024).

Kemudian, pada kasus ‘greenflation’, pertanyaan tersebut sejatinya sempat dijawab oleh Mahfud MD. Bahkan, menurut Pengamat Politik Airlangga Pribadi Kusman, jawaban dari Mahfud MD bisa dikatakan benar. Karena dalam kultur Madura sudah terbiasa dalam melakukan daur ulang ekonomi dan mengelolanya bagi ekonomi hijau, sehingga memiliki peran sebagai cultural capital (modal budaya) yang penting untuk menurunkan inflasi hijau (iNews.id, 22/1/2024). 

Namun jawaban tersebut direspon Gibran dengan gestur pantomim mencari sesuatu sehingga terkesan meledek. Ia kemudian memberi penjelasan bahwa greenflation adalah terjadinya kenaikan biaya dalam proses pengelolaan energi hijau, karena ada konversi dari pangan. Bahkan ia juga mengaitkannya dengan gerakan rompi kuning di Paris, jika proses tersebut tidak dilakukan secara hati-hati. Akan tetapi, penjelasannya justru dinilai keliru oleh para pengamat.

Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy Security Studies, Ali Ahmudi Achyak, greenflation erat kaitannya dengan transisi energi seperti melakukan inovasi mencari sumber-sumber baru, sehingga menyebabkan kenaikan harga pangan (Kumparan Bisnis, 21/1/2024). Penjelasan tersebut juga didukung dari laman European Central Bank (ECB), yang mendefinisikan greenflation sebagai inflasi yang diakibatkan adanya transisi energi. Hal ini terjadi karena harga bahan mentah meningkat akibat adanya transisi ke energi hijau.

Selain itu, kaitan greenflation dengan gerakan rompi kuning di Paris juga tidak tepat. Sebab gerakan rompi kuning yang mencuat pada akhir tahun 2018 silam, dipicu oleh sistem pajak yang memberatkan dan tidak sepadan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat Prancis. Dalam aksi tersebut, peserta demo menuntut kenaikan upah minimum, peningkatan kualitas hidup, hingga transparansi pemerintah (CNN Indonesia, 22/1/2024).

Dari kasus ini, Gibran tampak tidak memahami pertanyaannya sendirinya atau bahkan tidak menguasai materi debat, namun ia berusaha menutupi dengan gimmick yang merendahkan kandidat lain. Perihal ini bisa dilihat dari banyaknya jawaban yang tidak nyambung maupun substantif.

Ketidakprofesionalan Gibran dalam menjawab pertanyaan dapat dilihat dari bagaimana ia menanggapi jawaban Mahfud MD terhadap pertanyaan panelis, khususnya mengenai strategi dalam menanggulangi praktik ilegal dalam pertambangan. Ia hanya menjawab cukup dengan cara mencabut izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan yang bersangkutan.

Lantas, jawaban tersebut disanggah oleh Mahfud MD, bahwa permasalahannya perusahaan-perusahaan ilegal tersebut banyak dilindungi oleh para mafia, sehingga pencabutan IUP tersebut menjadi terkendala. Selain itu, jawaban Gibran juga dinilai “konyol” oleh beberapa pengamat dan kalangan masyarakat, karena perusahaan ilegal tentu tidak memiliki izin.

Contoh lainnya adalah saat Gibran ditanya oleh Mahfud MD, seputar komitmen Jokowi tentang tidak akan mengimpor pangan, dan konsep Trisakti Bung Karno terkait kemandirian pangan. Alih-alih langsung menjawab, ia justru memulai dengan mengejeknya sedang ambek akibat diberi pertanyaan sulit. Setelah itu, baru ia menjelaskan dengan masalah el nino, pabrik pupuk, hingga membawa contoh keberhasilan proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Namun, keberhasilan tersebut “dipaksakan” demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong yang mangkrak di tangan Kementerian Pertahanan, sekaligus paslon capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (Kompas.com, 21/1/2024).

Manuver gimmick Gibran yang dipertontonkan selama acara debat cawapres kali ini termasuk paling memalukan sepanjang sejarah debat capres-cawapres Indonesia. Bahkan hasil analisis dari lembaga analisis media sosial, Drone Emprit, merilis bahwa sentimen negatif warganet X (dulu Twitter) terhadap Gibran mencapai 60% dan itu adalah yang tertinggi dibandingkan paslon lain (Databoks, 22/1/2024).

Publik telah menilai, bahwa sikap Gibran selama debat sangat tidak etis dan bahkan sudah melecehkan kompetitornya. Ia sama sekali tidak mencerminkan strategi kampanyenya yaitu santun, beretika dan mempersatukan (Radar Bogor, 18/1/2024). Bahkan sesama kandidat dari paslon lain juga ikut mengomentari perihal tersebut.

Cak Imin menyentil bahwa terdapat etika dalam segala bentuk kegiatan, termasuk di dalam forum. Ia juga menambahkan bahwa debat bukan untuk tebak-tebakan definisi atau singkatan, melainkan untuk berdiskusi seputar policy dan kebijakan. Sedangkan Mahfud MD menilai bahwa pertanyaan Gibran adalah pertanyaan “receh” secara akademis dan bagian dari gimmick yang tidak edukatif, sehingga tidak layak dijawab karena apapun jawabannya akan “dianggap salah”.

Kasus ini sama sekali tidak bisa disamakan dengan debat kedua capres sebelumnya. Ini dikarenakan dalam debat tersebut, Prabowo hanya dicecar oleh pertanyaan seputar data pertahanan Indonesia yang kurang memenuhi ekspektasi, hingga kritik terhadap kinerjanya di Kementerian Pertahanan selama ini. Alhasil, pertanyaan tersebut sebenarnya dapat dibantah dengan sesama data. Dan perihal yang paling jelas, semua paslon capres tetap menghormati aturan dan tata tertib KPU di acara debat tersebut.

Penampilan Gibran juga memberi dampak buruk terhadap anak muda bangsa ini, karena selama ini ia sering “direpresentasikan” sebagai perwakilan generasi muda. Sebab, akan timbul stigma yang merusak citra anak muda bangsa kita, sebagai sosok yang tidak bisa menghormati sosok yang lebih senior dan tidak paham etika. Bahkan stigma tersebut dapat berbuntut dengan hilangnya harapan akan adanya pemimpin muda.

Perihal tersebut dapat disaksikan dengan muncul penilaian publik, bahwa penampilannya dalam debat tersebut menjadi alasan kuat mengapa capres-cawapres harus memiliki usia minimal yaitu 40 tahun. Bahkan, jika menelisik dari reaksi para warganet, mereka yang awalnya mendukung majunya pemimpin muda kini mulai mempertimbangkan ulang hingga menarik dukungannya.

Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, keputusan usia minimal 40 tahun bukanlah sesuatu yang spontan dan tidak punya alasan yang kuat. Ia juga menilai bahwa Gibran adalah contoh nyata dari calon pemimpin yang belum matang secara emosional maupun pengalaman sehingga bertingkah kekanak-kanakan, tidak bijaksana, suka merendahkan orang lain, hingga bicara di luar konteks dan cenderung tidak nyambung (Warta Ekonomi, 23/1/2024).

Selain itu, Gibran juga ikut mempermalukan Jokowi sebagai ayahnya sekaligus kepala negara. Sebab, publik pun akhirnya menyadari akan perbedaan yang sangat kontras, dari cara ayahnya berdebat yang elegan dan beradab dibandingkan dirinya. Sampai-sampai, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengaku terkejut sekaligus menilai bahwa kepribadian Gibran mulai terpengaruh akan sifat negatif, seperti emosional dari Prabowo dan semakin jauh dari Jokowi (Detik News, 22/1/2024). 

Walaupun Indonesia terdiri oleh banyak suku dan budaya, tapi dalam hal adab maupun etika tetap sama dan tidak bisa diperdebatkan, sehingga telah menjadi bagian dari ciri khas budaya negara. Sebagai warga Indonesia, tentu kita sudah dididik sejak kecil untuk mengedepankan adab ketimuran, sehingga kita memiliki pemahamanan yang luas tentang tata krama.

Bahkan kita pernah diajarkan untuk menghadapi lawan debat secara sportif, edukatif dan saling menghormati. Sampai-sampai, telinga kita sudah tidak asing dengan pepatah “adab harus di atas ilmu”. Dengan begitu, sebenarnya kita ini sudah bisa membedakan antara “kritik” dengan ujaran “kebencian” atau “cemoohan”.

Oleh sebab itu, kita pasti menginginkan seorang pemimpin yang menjunjung tinggi nilai budaya ketimuran, dan diseimbangkan dengan nilai keilmuan yang mencukupi. Sebab, seorang pemimpin juga harus bisa memberi contoh inspiratif kepada generasi penerus bangsa. Akan tetapi, dalam debat kedua cawapres kemarin, Gibran telah menunjukkan bahwa ia tidak memiliki nilai-nilai tersebut. Ia justru menjadi contoh atau bahkan edukasi buruk bagi masyarakat luas, terutama bagi generasi muda. Jika ini dibiarkan, maka Indonesia bisa berubah menjadi negara tidak beradab.

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

9 jam lalu

Terpopuler