x

Sumber gambar : Pixabay

Iklan

Agus Buchori

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Selasa, 9 November 2021 10:28 WIB

Setelah Penyetruman Itu

Kisah tentang seorang aktivis yang kehilangan ingatan dan diasingkan ke sebuah pulau pembuangan para penentang penguasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rico  hanya bisa  mengingat saat dua kabel berwarna merah dan biru itu ditusukkan ke telinganya. Setelah itu, ia tak mampu mengingat lagi apa-apa yang berkaitan dengan peristiwa sebelum penusukan kabel itu. Arus listrik yang mengalir dari dua kabel  itu mengejutkan serta mengacaukan isi kepalanya. Ia menggeliat merasakan pusing yang teramat sangat bagai ribuan semut menggerogoti isi kepalanya. Setelah itu gelap dan kosong.

“Aku mau dibawa ke mana?” Rico bertanya ketika seseorang berseragam membangunkannya dari pingsan beberapa saat.

“Kamu diam dan ikuti apa kata  kami atau kamu akan tinggal di ruang interogasi ini selamanya,” Jawab petugas yang rambut cepak dengan tegas. Rico tidak mengerti lagi apa yang mereka omongkan. Ruang interogasi? Apa itu? dan mengapa ia  berada di sana pun ia tahu alasannya. Ia lupa segalanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Cepat, lakukan apa yang kami perintahkan , waktu kita tidak lama!” bentak salah seorang dari petugas. Mereka menyuruhnya untuk segera mandi.

Rico bergegas ke kamar mandi sambil terhuyung-huyung. Kamar mandi itu  terletak di sebelah ruangan di mana ia ditusuk kabel  keparat yang menyakitkan itu. Rico masih tak mengerti dengan apa yang ia alami.

Diguyurnya kepalanya dengan air yang membuatnya sedikit lega dari perasaan yang berat di kepalanya. Ia ingin berlama-lama mandi tetapi suara gedoran di pintu kamar mandi membuatnya segera menyelesaikan aktivitasnya di kamar mandi.

Brak! Brak! Brak! Kembali pintu kamar mandi digedor dari luar. Keterkejutan membuatnya merasakan pusing lagi di kepalanya. Ia bergegas berpakaian dan segera keluar menemui mereka. Seseorang menyodorkan kain hitam ke arahnya, “tutup matamu!” Sambil kebingungan ia mengikuti perintahnya. Ia pasrah saja saat Tangannya digandeng melangkah ke luar ruangan.

Rasa panas mentari di tubuhnya serasa seperti cubitan kecil di sekujur punggung karena begitu menyengat. Mungkin keringat tubuhnya yang tak mau kompromi dengan kulit karena terbakar matahari. Ia menggerakkan punggunnya. Menggeliat.  Dan masih dalam kondisi mata tertutup itu,  dari kejauhan, terdengar bunyi “ Siap….Grak.” Beberapa pria kekar baris berbaris dan terdengar beberapa derap kaki bersepatu.

“Jangan bersuara atau berteriak!”  sekali lagi ia diancam  tapi ia  tak tahu kenapa aku tak boleh bersuara atau berteriak. Apa resikonya jika ia  bersuara. Apakah suaranya akan membuat mereka kena masalah. Rico hanya bertanya dalam hati.

“Ada apa dengan ini semua aku bahkan lupa dengan namaku sendiri.  Aku hanyalah manusia yang hidup tanpa identitas. Aku kini hanyalah manusia yang tergantung pada perintah-perintah. Digiring oleh beberapa orang tanpa tahu tujuan dan alas an,” Rico bertanya dalam hati.

“Kita akan ke suatu tempat. Di sana nanti kamu akan tinggal dan hidup sebagai orang yang diamankan,” suara itu terdengar dari suara yang sama dengan suara orang saat membangunkannya saat  pingsan tadi.

Mereka membawanya  memasuki sebuah jeep dengan bunyi mesin meraung pelan.. Dalam ruangan kendaraan yang membawanya itu, ia disuruh tetap tenang. Tiba-tiba seseorang berkata, “Perlu kamu tahu,  nasibmu masih lebih bagus dibandingkan dengan temanmu yang  lain. Ada di antara mereka yang terpaksa kami lenyapkan  dengan cara tradisonal  untuk menghilangkan jejak pembunuhan kami terhadap orang orang sepertimu: menenggelamkannya ke laut dalam sebuah kantong yang kami beri pemberat. Ini semata-mata untuk menghilangkan jejak kami dan ini dilegalkan oleh negara.”

Mendengar  nada bicaranya sepertinya ia mengatakan kekejaman itu dengan bangga dan tanpa rasa penyesalan. Intonasi suaranya tegas dan tenang tanpa getar keragu-raguan.

“Teman? Aku punya teman? Teman yang mana?” Rico bergumam.  sambil menebak-nebak ke mana ia akan dibawa. Tiba-tiba timbul dipikirannya ketakutan-ketakutan akan kematian.

Ikatan di kepala yang menutupi matanya membuatnya merasa pusing kembali. Kali ini lebih menjadi-jadi sakitnya. Ia memutuskan untuk bersandar dan tidur saja.

“Apa yang terjadi denganku? Mengapa kalian membawaku dengan cara seperti ini?” Rico meronta di dalam jeep yang melaju cepat ke selatan.

Sepertinya ia dibawa ke pelabuhan. Terdengar bunyi riak gelombang yang semakin lama semakin jelas. Dalam kegelapan karena matanya dibebat kain, terdengar bunyi mesin dan sesuatu yang bergerak di atas air. Apakah ia akan bernasib sama dengan orang-orang yang oleh mereka disebutnya sebagai temannya  yaitu menjadi bangkai sia-sia di dasar lautan.


"Mau ke manakah kita?" Rico bertanya pada salah seorang yang membawanya.

"Kau ikuti saja kami, jangan banyak bertanya atau kamu ingin bernasib sama seperti teman-temanmu, hah!"

Rico makin bingung tak tahu apa yang terjadi. Ia  lupa segalanya bahkan pada dirinya sendiri. Ia bergumam dalam hati, “Apakah aku ini tak punya saudara atau orangtua. Mengapa mereka tidak mencariku dan membawaku pulang agar aku bisa mengenal lagi diriku.”

Ia  memutuskan diam. Rico digelendeng turun dari kendaraan. Masih dengan mata tertutup ia dituntun menuruni titian yang mengarah ke sebuah sampan. Sepertinya memang sebuah  sampan tapi berukuran  kecil dan bisa melaju cepat. 

Deru mesin tempel meraung dan Rico terus bertanya- tanya. Udara sangat dingin  di sekelilingnya. Sudah memasuki  malam hari. Angin kencang menerpa membuatnya  menggigil. Di antara mereka  tak ada yang bersuara. Ia pun tertidur.

Ia terbangun saat seseorang menyuruhnya membuka penutup mata. Ia silau oleh matahari yang meski masih jingga menerpa matanya. Ini semua disebabkan   karena begitu lama matanya tertutup sehingga  terganggu juga saat menatap cahaya pagi.


Di ujung haluan  terlihat gundukan hitam,  seperti sebuah pulau. Mereka makin mendekat ke bayangan hitam di ujung haluan. Ketika semakin mendekat,   bayangan di horison tersebut makin jelas bentuknya.  Dan nampak jelas pantai yang kosong hanya jajaran pohon kelapa yang ada. Pulau apakah itu dan ia pun penuh rasa ingin  tahu. Sepi.

“Kita merapat ke dermaga satu," salah seorang yang membawanya memberi perintah pada juru mudi sekoci.

Sebuah dermaga kecil dengan bahan dari papan batang kelapa menyambut kedatangan sekoci itu. Mereka turun dan mengikuti jalan setapak yang membawanya menuju ke tengah hutan. Pulau itu masih asli karena banyak tumbuhan liar dan bukan sebuah lahan perkebunan. Jalan setapak yang mereka lewati penuh tumbuhan jamur dan lumut serta di kanan kirinya penuh dengan tumbuhan perdu.

Semakin ke dalam hutan, cahaya matahari makin berkurang, nampak nuansa-nuansa cahaya yang menyelinap di antara daun yang menjadi kanopi bagi areal hutan ini. Bunyi suara hewan liar makin riuh dan bermacam-macam. Rico merasa  takut kalau-kalau ketemu ular atau hewan buas.

Perjalanan sangat melelahkan karena harus naik turun bukit serta tujuan yang tak jelas ke mana arah yang ditempuh, membuat rasa lelahnya semakin bertambah. Anehnya hutan itu sepertinya sudah familiar dengan orang–orang yang mengantarnya. Banyak tanda penunjuk arah dengan simbol yang tak lazim. Namun, para pengantarnya itu sanggup membaca rambu jalan dengan mudah dan mereka  tak pernah tersesat. Sepanjang perjalanan mereka tak pernah berbalik arah ke arah semula.  

Ternyata di dalam pulau tersebut , yang entah apa namanya, ada pondok kecil yang cukup untuk beberapa orang. Banguna kayu itu, berada di area yang luas dengan kondisi yang agak tertata dan rapi. Ada nampak orang berlalu lalang,  namun mata mereka sepertinya buta. Tatapan mata mereka kosong. Mereka beraktivitas dengan cara sederhana: duduk, bejalan mondar mandir atau melamun. Ada beberapa yang membaca namun sepertinya tak bereaksi dengan apa yang sedang mereka baca.

Ketika berpapasan dengan salah satu dari mereka, Rombongan Rico tak saling bertegur sapa. Mereka  seperti makhluk asing di mata mereka. Tak ada interaksi. Apatis.

"Pulau ini adalah tempat tinggalmu yang baru. Kamu cukup kuat menerima siksaan dari kami. Temanmu banyak yang mati setelah proses penyetruman itu. Namun setidaknya,  itu telah mengamankan kami dari masalah yang akan timbul jika kamu kami lepaskan kembali ke keluargamu," Salah satu petugas pengawal menjelaskan tentang sesuatu yang Rico sendiri tak mengerti.


"Apa itu penculikan? Dan siapa yang mati yang menurutmu temanku itu?” tanya Rico


"Di antara kalian yang selamat dari kejamnya kabel biru dan merah itu,  kita tempatkan  di sini selamanya. Karena kalian masih hidup dan telah menjadi amnesia."


Dengan bingung Rico kembali bertanya, "Bagaimana nanti aku bias melanjutkan  hidup di sini. Ini pulau apa dan di mana lokasinya?"

 

"Akan ada bekal makanan untuk kamu setiap tiga bulan sekali. Kamu bisa hidup dengan cara kamu sendiri. Tapi jangan bertanya-tanya tentang lokasi ini di mana dan namanya apa. Kuharap kamu memahami itu. Amnesia yang kamu derita, termasuk  beberapa  temanmu yang selamat itu, membuat kami memutuskan  untuk membuat kalian tetap hidup. Tapi kalian akan menjadi pribadi yang hilang. Di tempat ini  mulailah menjadi orang baru dengan nama baru tanpa sejarah dan kenangan," terang si rambut cepak dengan ketus.

 

"Mengapa kalian tidak membunuhku saja daripada aku hidup tanpa ingatan?"


"Membunuhmu tak akan  menyelesaikan masalah. begitu pula jika kami  menngembalikan dirimu ke keluargamu, tentu persoalan akan  semakin rumit keadaanya. Bayangkan jika kamu kembali dengan kondisi begini. Para politisi dan aktivis kemanusiaan  akan bertanya-tanya. Siksaan apakah yang telah  kalian terima?"

 

"Memang seperti apa cara kalian  menyiksaku selama ini?"

 

“Sudahlah jangan lagi banyak bertanya. Mulailah untuk menjalani hidup baru di sini.”

 

Di tengah kesendiriannya di pulau tersebut, Rico mulai membaca apapun. Termasuk juga membaca beberapa tumpukan kliping koran  yang ditinggalkan oleh orang-orang yang berbadan gempal yang telah mendampinginya ke pulau asing itu.

 

Pulau yang sepi,  mungkin layak disebut pulau amnesia karena meski ada beberapa orang yang tinggal di sini,  namun mereka tak saling mengenal. Mereka adalah penghuni-penghuni tanpa identitas dan lebih layak disebut  pribadi-pribadi yang mati dalam hidup. Atau sebenarnya mereka  ini adalah  adalah hewan yang berwujud manusia.

 

Para aktivis dilaporkan menghilang sejak demonstrasi yang berakhir rusuh. Mereka adalah aktivis pro demokrasi dan kebebasan bersuara yang seringkali menggalang aksi massa untuk melawan ketidakadilan yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Entah, kini mereka ada di mana.”

 

Rico membaca sebuah potongan berita. Namun ia hanya membaca begitu saja tanpa tahu maknanya sama sekali. Dan ingatanya  hanya kembali ke peristiwa menyakitkan itu. Peristiwa penusukan kabel merah dan biru di telinganya selalu saja meninggalkan rasa pusing yang membuatnya  kejang jika mengingatnya.

Ikuti tulisan menarik Agus Buchori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler