x

Ilustrasi Aksi Mahasiswa. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Iklan

Ade Mulyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Juli 2020

Selasa, 9 November 2021 12:50 WIB

Payung Hitam

Bu, jangan lagi bersedih, aku akan pulang ke rumah tepat pada Hari Paskah 12 April. Semoga Tuhan memberkati perjuanganku melawan otoritarianisme di republik ini. Aku mempunyai keyakinan, Bu. Tahun ini akan menjadi tahun musim semi bagi kemanusiaan—bagi tibanya demokrasi. Setelah puluhan tahun lamanya penghinaan terhadap hak asasi manusia terjadi. Aku hanya minta doamu, Bu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siang itu matahari sudah bertakhta di atas kepala saat seorang perempuan berusia lanjut begitu khusuk membaca secarik kertas di pangkuannya. Dari air mukanya tampak kesedihan telah mengungkung hidupnya.

“...Bu, jangan lagi bersedih, aku akan pulang ke rumah tepat pada Hari Paskah 12 April. Semoga Tuhan memberkati perjuanganku melawan otoritarianisme di republik ini. Aku mempunyai keyakinan, Bu. Tahun ini akan menjadi tahun musim semi bagi kemanusiaan—bagi tibanya demokrasi. Setelah puluhan tahun lamanya penghinaan terhadap hak asasi manusia terjadi. Aku hanya minta doamu, Bu.”

Tanpa disadari kantung matanya yang sudah kendor menumpahkan air, dan menyeberangi pipinya yang keriput. Matanya kembali dihantam oleh tangis. Entah sudah yang ke berapa. Barulah sesudah khatam membaca tulisan tangan anaknya, dipeluknya surat itu dengan erat. Sekali-dua kali diciuminya surat itu sebelum dilipat dan disimpan di dalam kotak kecil di samping foto anaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah 21 tahun perempuan tua itu tidak pernah absen membersihkan kamar anaknya setiap pagi. Jika mentari sudah memicingkan matanya di ufuk timur, ia segera bergegas memasuki kamar anaknya untuk membersihkan tempat tidurnya. Baginya tidak ada yang lebih penting untuk dilakukan di pagi hari selain membersihkan kamar anaknya. Ia rela bertengkar dengan suaminya hanya karena kebiasaannya itu.

“Apa kamu tidak bosan setiap pagi membersihkan kamar yang tidak boleh ditempati. Lalu untuk apa setiap pagi dibersihkan?” tanya suaminya setengah jengkel kepada istrinya yang membiarkan dirinya kelaparan.

“Apakah Bapak tidak pernah membayangkan anak kita kelaparan atau tidak? Apakah anak kita meraung kesakitan atau sehat-sehat saja? Apakah anak kita telah dilemparkan ke kandang anjing yang kelaparan atau sebaliknya mengais-ngais tulang? Apakah Bapak tidak mendengar rintihan suaranya? Apakah anak kita sudah mati atau belum? Aku yang mengandung dan melahirkannya, aku juga merasakan laranya,” jawabnya sambil menangis tersedu-sedu sebagaimana yang sering dikatakan para pujangga, bahwa satu-satunya keahlian perempuan hanya menangis jika hatinya tergores.

Sejak adu mulut di pagi buta itu suaminya tidak lagi memprotes kebiasaan istrinya. Suaminya sadar hanya dengan begitu istrinya dapat menenangkan kesedihannya. Meski kamar anaknya tidak terlihat kotor dan berantakan, istrinya tetap bersikeras untuk merapikan kamar tidur anak kesayangannya. Barulah setelah itu, ia akan membersihkan buku-buku anaknya. Kegiatan rutin yang dilakukannya saban pagi itu membuat ia hafal buku-buku bacaan anaknya. Mulai dari sastra, filsafat, politik, hingga sosiologi. Terutama buku Hannah Arendt—filsuf favorit anaknya.

Barangkali hal itu ia lakukan supaya dapat melepas rasa rindunya yang teramat dalam. Meski hati kecilnya selalu berharap suatu hari nanti ia akan mendapati anaknya sedang terlelap di kamarnya. Alasan itu juga yang membuat suami, anak, dan menantunya kelimpungan.

Begini ceritanya, sudah dua kali rumahnya disatroni pencuri. Terakhir tiga hari yang lalu. Untunglah hanya perabotan kecil yang digondol dengan susah paya oleh pencuri setelah dipergoki oleh perempuan tua itu—yang selalu terjaga di tengah malam.

“Nak, apakah itu kamu?” kata perempuan tua malam itu setelah memergoki tamu tak diundang di loteng rumahnya.

Dengan gerakan cepat seperti kijang pencuri itu lari tunggang langgang hingga menabrak tembok, kursi, sebelum menghilang di balik pintu yang tidak terkunci.

Semua penghuni rumah dibuat panik terutama suaminya yang mendapati istrinya sedang bersimpuh sambil menangis tersedu-sedu di halaman rumah.

“Pak, anak laki-laki kita pulang. Dia lari ke sana,” ujarnya sambil menudingkan telunjuknya.

Suaminya jelas kebingungan melihat kejadian ganjil malam itu. Kemudian menuntun istrinya masuk ke dalam rumahnya dengan langkah tertatih.

“Radio kesayangan Bapak hilang,” kata Riska. “Ya, sudah mulai sekarang pintu rumah harus dikunci,” ujarnya dengan nada tinggi.

“Tidak!” bentak perempuan tua itu kepada anaknya. “Bagaimana kalau anakku pulang?” sambungnya.

Selama ini perempuan tua itu tidak pernah mengunci rumahnya hanya berharap suatu malam nanti anaknya akan pulang sebagaimana kebiasaannya dulu. Apakah itu hanya alasan untuk menghibur hatinya saja? Hanya ia sendiri yang tahu sebagai seorang ibu yang kehilangan putranya. Itu sebabnya, di kamar itu ia selalu mengingat anaknya dari masa kecil hingga dewasa. Terlebih saat anaknya memasuki dunia pergerakan sebagai aktivis pro demokrasi, kamarnya selalu ramai karena dijadikan basecamp untuk berdiskusi dengan teman-temannya.

Begitulah kehidupan seorang ibu yang kehilangan anaknya karena kekejaman rezim otoriter—yang gemar mengumbar azimat “subversif” untuk meringkus pengkritiknya. Salah satu korban dari keberingasan rezim militerisme ialah Bimo anak lelaki perempuan tua itu. Yang kini keberadaannya ditelan bumi—dibawa lari angin entah ke mana hingga bau tubuhnya pun tidak tercium.

Orang tua Bimo terutama ibunya, awalnya berat hati dengan kegiatan anaknya yang mengundang marabahaya untuk dirinya sendiri. Terceritalah percakapan terakhir antara anak dan kedua orang tuanya.

“Memperjuangkan demokrasi dan kebebasan ialah panggilan kemanusiaan. Betul kan, Pak?” tanya Bimo suatu sore di berenda rumahnya.

“Apa kamu sudah berpikir matang, Nak?” balas Ayahnya balik bertanya sesudah menyeruput kopi hitam kesukaannya.

“Semua sudah kupikirkan. Termasuk konsekuensi perjuangan yang harus kutanggung.”

“Ibu takut sesuatu yang buruk terjadi padamu, Nak.”

Siapa sangka itu akan menjadi pertemuan terakhir antara anak dan orang tuanya yang penuh perasaan emosional. Seperti dikabulkan oleh Tuhan, kini apa yang ditakuti ibunya telah menjadi kenyataan.

Sebab, 22 hari sebelum penguasa rezim otoriter mengumumkan pengunduran dirinya, Bimo sudah tidak dapat lagi ditemukan keberadaannya. Berbagai tempat sudah didatangi oleh keluarga Bimo, namun jawaban yang diterima seragam: menggelengkan kepala.

Ibunya tidak putus asa, satu persatu teman-teman kuliah Bimo ikut didatanginya, sebelum kawan seperjuangannya memberikan pengakuan yang membuat dadanya sesak seperti ditonjok: “Bimo diculik, Bu,” ujarnya dengan suara parau.

Mendengar jawaban itu ibu Bimo langsung jatuh pingsan. Semua dibuat panik. Syukurlah setelah setengah jam akhirnya ibu Bimo telah sadarkan diri. Sementara ayah Bimo masih berbincang dengan kawan seperjuangan anaknya itu yang diketahui bernama Serenada.

“Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi dengan Bimo,” pinta Ayah Bimo kepada Serenada.

“Kejadiannya begitu cepat. Waktu itu kalau tidak salah awal bulan April, Bimo hanya menitipkan pesan setelah pertemuan di Grogol. Jika aku tidak bisa lagi dihubungi berarti situasiku dalam bahaya. Jika aku tidak bisa lagi ditemukan berarti aku telah diringkus,” balas Serenada menirukan ucapan Bimo.

Mendengar cerita itu ayah Bimo tak kuasa menahan tangis. Dari situ tahu bahwa air mata bukan milik seorang perempuan semata.

Tidak lama setelah peristiwa itu, “Konfrontasi” sebuah lembaga yang menangani tindak kekerasan dan penculikan paksa merilis berita korban-korban penculikan paksa yang dilakukan oleh rezim penguasa. Dari sekian banyaknya daftar, nama P. Bimo A menjadi salah satu korban dari kebengisan rezim tirani. Rilis berita itu mempertegas kesedihan keluarga Bimo, terutama ibunya. Perempuan yang sudah membesarkannya selama 25 tahun.

***

Pasca-Reformasi yang menandai tumbangnya rezim otoritarianisme, keluarga korban penghilangan paksa seakan-akan mendapatkan setitik asa saat seorang dari civil society berhasil memenangkan pemilu presiden. Tidak terkecuali perempuan tua itu. Di usianya yang sudah senja, uban telah menjadi mahkota di atas kepalanya, ia masih menjaga api pengharapan akan tibanya suatu keadilan untuk anaknya yang telah dirampas hidupnya. Setidaknya ia tahu di mana anaknya dikuburkan jikalau telah meninggal.

Nasi telah menjadi loyang. Puisi telah menjadi prosa dalam pengertian sebaliknya: membual. Padahal, bukan itu yang dimaksud Vaclav Havel. Sebagaimana menjadi pengetahuan umum, penguasa dari civil society itu kembali terpilih memimpin bangsa yang tidak ingin kusebut namanya. Sialnya, yang membuat perempuan tua itu kembali mamah kesedihan ialah nato: not action talk only. Penguasa hari ini layaknya penguasa sebelumnya: memilih bungkam. Membiarkan kasus pelanggaran HAM berat bagai awan mendung menggantung antara bumi dan langit.

Hari itu seperti biasa perempuan tua itu masih melakukan kebiasaannya: membersihkan kamar anaknya hingga menghabiskan setengah harinya. Riska anak perempuannya—kakak Bimo, kemudian menghampirinya dan mendapati ibunya sedang menangis tersedu-sedu sambil mengelap foto anak lelakinya. Meski foto anaknya itu selalu bersih sebagaimana tempat tidurnya yang selalu rapi dan wangi.

Riska memberanikan diri duduk di sebelahnya lalu mengelus punggungnya. “Bu, ini pakaian hitamnya sudah aku setrika,” kata Riska. “Ibu tidak lupakan nanti sore Aksi Kamisan akan diadakan di depan Istana Negara?” ujarnya lagi.

“Para pemimpin negara boleh lupa, tapi seorang Ibu yang ingatannya terus digerogoti usia, sedikit pun tidak akan lupa kemalangan nasib anaknya,” jawabnya lirih.

“Kalau begitu sekarang Ibu makan dulu sejak dari pagi belum makan.”

“Ibu tidak berselera, Nak. Seperti pemerintah tidak berselera jika dihidangkan menu kasus HAM. Membiarkannya basi barangkali ialah cara terbaik bagi mereka.”

Sudah menjadi pembicaraan umum, entah sudah berapa banyak Aksi Kamisan digelar untuk meminta keadilan. Siang itu matahari dengan ganasnya menyengat ibu kota dari sebuah negara yang malas untuk kusebut namanya. Ratusan orang terutama dari keluarga korban pelanggaran HAM berdiri di depan Istana Negara dengan baju hitam dan payung hitam.

Di antara banyaknya orang yang mengikuti Aksi Kamisan di depan Istana Negara, terlihat perempuan tua dengan wajah letih. Badannya yang kurus dibungkus baju hitam. Ia berdiri sekuat tenaga sambil tangan kirinya memegang payung hitam dan tangan kanannya memeluk foto anaknya: Bimo

 

Ikuti tulisan menarik Ade Mulyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB