x

Iklan

Diah Mulyaningsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 November 2021 11:07 WIB

Lelakiku di Ujung Sembilu

Sebuah cerpen cinta yang terinspirasi dari senja. Senja, penghujung hari, di mana hari nan panjang akan segera berganti. Namun, ia dapat mengajarkan bahwa segala sesuatu yang berada di ujung tak selalu berakhir dengan kelam. Sebab, masih ada esok hari yang bisa disambut dengan penuh cita dan asa. Sebuah hari nan baru akan tercipta, dengan cerita yang baru tentunya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Senja. Apakah yang tengah engkau cari? Kumpulan kata yang mencipta teduh, kota yang semakin riuh, ataukah kita yang kian rapuh? Pasir putih itu membentang begitu panjang. Debur ombak yang baku hantam tidak dapat membuatnya berantakan. Bahkan, ketika sabit muncul di permukaan, biasnya tetap memantul dari butiran pasir basah sehabis bermandikan air asin. Dalam gulita malam yang tak sepantasnya membuat seorang wanita terduduk sendirian, ada gurat sendu yang meneriakkan penantian dari bibirnya yang seolah bisu.

Sehelai selendang bermotif bunga-bunga yang mulai lapuk dimakan usia dengan setia memeluk tubuh yang berbetah diri menatap ke ujung lautan tanpa takut ditelan karang. Ia berdiam saja, membiarkan udara malam mengecup mesra permukaan kulitnya meskipun tidak ada yang tahu bahwa pergolakan batin sedang menggerogoti sukmanya.

Berdiri di atas tebing curam, dua keyakinan yang berbeda menikam kita dengan tajam. Ketika kau menyebut Dia Tuhanmu dan aku menyebut Dia Tuhanku, aku bertanya kenapa harus memaksa untuk bersama jikalau ujungnya akan terluka. Kau pun menjawab karena kau begitu mencinta. Jangan kau tanya lagi kenapa aku bertanya. Sebab kau pun laksana udara yang kuhirup di setiap detik dalam hidup. Namun, kesetiaan pada Tuhan tetaplah harus dipertahankan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

***

Ingatan adalah satu-satunya harta yang kupunya. Sebab itu, kusampaikan ini kepadamu sebelum manusia-manusia itu merampasnya dariku, seperti dulu keadaan merampasmu dariku.

Tidak akan ada yang mengerti tentang ini. Bahkan malaikat maut pun tak peduli. Tapi dia masih terus menguntitku, menunggu perintah atau waktu yang tepat, entahlah. Aku tak mau tahu urusannya.

Barangkali cuma jendela dan hujan yang mengerti. Dan Fransisco, tentu saja. Lelakiku satu itu memang teramat tampan. Gadis mana yang tak akan jatuh hati melihat keelokan parasnya?

Aku senang memberitahukannya segala sesuatu yang sederhana. Ya, seperti hujan di pagi ini. Pikirannya sudah amat rumit oleh banyak hal. Makanya, aku mengajaknya melihat hujan, menyentuh angin yang melewati sela-sela jemarinya yang dingin, dan menghirup udara yang kuyakini tak akan berumur panjang.

“Umur panjang untuk hidup yang begini-begini saja pastilah amat membosankan.” Itu kata Frans dulu, saat aku duduk di sampingnya sembari menikmati rinai hujan. Kutengadahkan tangan, lalu kuseka perlahan-lahan wajahnya dengan air nan dingin itu. Wajah flamboyan nan begitu rupawan itulah yang menjadi salah satu hal penting dari dirinya dan akan selalu aku rindukan saat jauh bersamanya.

“Berapa lama aku harus menunggu?”

Dagunya sedikit terangkat saat dia melontarkan pertanyaan untukku. Pertanyaan yang membuatku semakin sayang meski ada sedikit rasa bersalah. Lelaki ini tidak pernah mau membebaniku dengan perasaan bahwa aku yang pergi dan dia adalah orang yang pantas dikasihani karena ditinggalkan.

Dia menempatkan dirinya sebagai laki-laki yang memang sudah semestinya tak memaksakan apa yang dikehendakinya. Hanya menanyakan seberapa lama waktu yang dia perlukan untuk menjalani tugas menunggunya itu. Beginilah dia.

“Tidak akan lama, Frans.”

Kutatap matanya dalam-dalam untuk meyakinkan kekasihku. Meski di balik itu, aku tidak yakin dengan perkataanku sendiri. Seharusnya Frans tahu itu.

***

Hujan hari ini memang tidak ada capai-capainya. Jatuh terus sejak pagi. Tapi ini apa ya, siang atau sore? Atau masih pagi? Langitnya sama saja, hitam dan menakutkan. Bulu-bulu lenganku sampai tidak kelihatan kalau aku tidak mendekatkan diri ke jendela. Saking gelapnya, kalau hujan seperti ini hampir tidak ada orang berkeliaran. Cuma mobil-mobil yang berderet panjang di jalan besar sana. Tidak tahu sepanjang apa. Tapi, sejak tadi aku melihatnya hanya bergerak maju sedikit saja. Bahkan, kau tak akan tahu mobil itu sudah bergerak maju kalau tidak memperhatikannya dengan saksama dan dalam tempo yang lama.

Bumi mungkin sudah terlalu sesak. Orang-orang terlalu cepat melahirkan anak-anak. Apa yang bisa mereka perbuat? Cuma teriak-teriak. Tidak jelas. Bahasanya saja aneh-aneh. Maka jangan salahkan aku kalau sejak tadi ada dua bocah di ruangan ini yang hanya diam karena telah kumarahi. Kerjaannya tertawa dan ngomong keras-keras tanpa faedah. Membuyarkan pikiranku yang tengah serius mengerjakan tugas dari dosen saja.

Kedua bocah laki-laki ini, berbadan gempal. Salah satunya baik, suka tersenyum. Meski kadang aneh. Kalau aku sedang rindu dengan lelakiku, dia akan memperlihatkan benda yang ada orang bergerak di dalamnya.

Aku menyeruput cangkir kopiku untuk ke sekian kali. Lalu kuletakkan di atas meja, di samping laptop kecilku. Cuma ini penghilang penatku di rumah. Duduk menghadap jendela sambil memperhatikan manusia-manusia kecil itu berkejar-kejaran, seolah siap bersaing dengan dunia. Jendela kayu yang menghadap ke gang depan rumah mampu membuat mataku menatap jauh hingga ke jalan besar sana.

Ayah membangun rumah ini semakin besar, padat, dan mengkilap. Tiangnya yang dulu dibangun kokoh oleh kakek, diganti dengan beton. Di sana-sini dindingnya yang tebal, kaku, dan dingin telah diwarnai. Jendela samping inilah yang bersikeras kupertahankan. Tidak boleh diganti dengan besi ataupun ditambahkan kaca. Katanya aneh, jendela ini terlihat kecil untuk rumah yang semakin megah.

***

Hari selanjutnya, usai seharian hujan turun dengan derasnya, matahari bersinar walau masih tampak malu-malu. Namun, setidaknya seharian ini aku dapat menghabiskan waktu bersama Frans untuk mengatasi segala kepenatan usai seminggu belakangan kami dihajar oleh soal-soal ujian semester.

“Mau ke mana kita?” tanyaku pada Frans tatkala kami sampai di parkiran kampus.

“Hmmm...”

Aku menjadi kesal dengan jawabannya. Namun, ia justru tertawa geli dengan kekesalanku. Aku menjadi semakin kesal.

Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah mall tak jauh dari kampus. Frans menggenggam tanganku. Kami berjalan menuju lantai atas, memesan tiket untuk menonton film yang tengah diputar hari ini. Dan, dua buah tiket pun berhasil kami dapatkan. Frans menyuruhku duduk. Lalu ia memesan popcorn dan minuman sebelum kami menuju pintu teater yang telah dibuka.

“Gimana, masih kesal?” tanyanya padaku usai kami duduk di sesuai nomor kursi. Aku tersenyum sembari mencubit lengannya gemas. Dan kami pun larut dengan cerita dalam film itu hingga selesai diputar.

***

Frans adalah salah satu mahasiswa yang cerdas di kampus. Ia juga dikenal sangat aktif dalam berbagai organisasi di lingkungan kampus. Bahkan, ia berhasil menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan Seni. Posisi yang tentunya menjadi incaran tiap orang, dengan kepiawaiannya mudah saja ia dapatkan.

Sejak menjadi ketua HMJ, intensitas pertemuannya denganku pun semakin jarang. Ia menjadi semakin sibuk dengan kegiatannya yang baru. Pesan dan panggilan yang datang dariku pun seringkali dinomorsekiankan. Aku mengerti, bukan porsiku untuk menghalanginya berkegiatan. Selama itu hal yang positif, apapun yang dilakukannya tentulah kudukung sepenuhnya.

Seiring berjalannya waktu, kesetiaan menjadi sebuah ujian. Masih teringat jelas di benakku. Memasuki tahun ketiga, di penghujung bulan Januari, di mana hujan turun sehari-hari. Tatkala dua manusia memadu kasih dengan begitu indahnya, di saat itu pula badai pun mulai menerjang. Bak armada yang mulai terseok-seok di tengah lautan. Menunggu datangnya mukzizat sebelum ia karam.

Suatu sore nan mendung. Mungkin semendung hati yang tak bisa teringkari ketika kekasih yang begitu engkau cintai menggores luka nan menganga dengan membagi hati. Lantas, apakah engkau masih bisa percaya? Masihkah pintu maaf itu terbuka? Namun, bisakah hati kecilmu membiarkan ia melewati luka seorang sendiri tatkala berada di titik terendah dalam hidupnya? Jawabannya tentu tidak. Entah. Berapa pun besarnya luka yang tertoreh di relung hati, nyatanya cinta mampu membuka ruang-ruang maaf yang seolah tertutup rapat tiada bercelah.

Tahun itu menjadi tahun terberat yang mesti kulalui bersama Frans. Aku memutuskan untuk menerima Frans kembali dan mencoba melupakan segenap kesalahan yang telah ia lakukan. Di sisi lain,  aku juga semakin menyadari banyak hal bahwa semakin tinggi jam terbang, semakin banyak pula yang memberinya sanjungan, walau tak sedikit pula yang memberi ujaran mengandung kebencian.

Pencapaian gemilang yang berhasil ditorehkan Frans selama berkarier di organisasi kampus pun dengan berat hati harus ia relakan tatkala beberapa oknum berusaha menjatuhkan. Bahkan, hujatan-hujatan tajam pun bermunculan, menggiring opini miring sehingga orang-orang yang tak tahu-menahu banyak yang termakan omong kosong itu. Wajar, bila pada akhirnya ia merasa berada di titik terendah hidupnya saat itu. Begitulah hidup dan kehidupan.

“Tenang, kita akan melaluinya bersama.” Begitu kataku menguatkan.

“Terima kasih ya, kamu hadir untuk memberi dukungan dan kekuatan!” Demikian kata Frans kala itu. Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata tak ingin melepaskan.

***

Maafkan aku, Frans. Aku tak bisa menepati janjiku untuk terus bersamamu menjaga hati dalam hubungan nan pelik ini. Meski luka di relung hati tak bisa dipungkiri. Namun, tetap bertahan bukanlah sebuah pilihan. Kita adalah dua jiwa yang perih, tak kuasa melawan keadaan. Pada akhirnya, kita pun menyerah. Makanya, kita lebih memilih diam dan membiarkan semua terjadi dengan semestinya.

Ini adalah perjalanan yang berat. Aku akan membiarkannya pergi, melanjutkan kehidupan kami masing-masing. Perpustakaan kampus, di sinilah pertama kali aku bertemu dengan Frans, sosok yang perlahan menjelma menjadi kekasihku. Di sini pulalah terdapat sebuah taman, juga bangku kayu tempat kami sering menikmati hujan. Namun, di tempat ini pulalah yang akan menjadi tempat penuh kenangan.

Frans terus memandang wajahku dan pada akhirnya mengerti. Ia membiarkanku pergi menemui jalanku sendiri. Kita mungkin telah sampai di persimpangan jalan yang menukik dengan begitu tajam. Walau kutahu, jalan yang diambil ini sangat berat.

Aku tersenyum, tapi hatiku pedih, pedih sekali. Air mata pun tak kuasa kutahan. Kuusap jemari tangan Frans yang lembut. Untuk terakhir kali, aku tak sanggup menatap matanya. Aku yakin ia tak akan menangis saat ini. Lelaki flamboyan yang paling kucintai itu tidak pandai memperlihatkan kesedihannya.

“Mungkin aku tidak tahu rasanya ditinggalkan. Tapi, meninggalkanmu adalah sakit yang tak akan bisa kugambarkan dengan apapun di dunia ini.”

***

Aku terjebak di sebuah toko buku dan belum bisa pulang karena hujan belum juga reda. Tak jauh dari situ, ada sebuah kedai kopi yang memang tak asing lagi. Aku sering menghabiskan waktu di sini dulu, bertahun-tahun yang lalu. Jika pergi membuat kehilangan, maka pulang seharusnya menjadi penawar. Seharusnya. Ah, sudahlah, entah apa yang tiba-tiba merasuki pikiranku hingga dihujani bayang-bayang masa silam.

Sebuah meja kosong di ujung kedai pun kupilih untuk sejenak melepas lelah. Sembari menunggu moccacino panas, kubuka lembar demi lembar buku yang telah kubeli. Sungguh, tak ada yang mampu menandingi nikmatnya secangkir kopi ditemani sebuah buku tatkala hujan tiba. Tak berselang lama, sebuah pesan masuk di layar ponsel. Dari seorang kawan yang akan kuberikan undangan. Aku menunggunya di kedai itu sembari larut dengan frasa demi frasa yang membuat mata ini menari ke kanan dan ke kiri untuk menikmatinya.

“Permisi, Mbak, boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang padaku.

“Oh, silakan saja, Mas!” jawabku sekenanya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Yang kutahu, kedai ini semakin ramai. Maka tak ada salahnya berbagi meja dengan yang lainnya. Barangkali dia tak mendapat tempat duduk, begitu pikirku dalam hati. Sunyi, hingga akhirnya lelaki di mejaku itu kembali bersuara. Suara yang tak asing kedengarannya bagiku. Kuhentikan membacaku lalu menoleh ke arahnya. “Frans! Ya Tuhan, dia Frans. Benarkah demikian?”

Frans tersenyum ramah. Tangannya terjulur kepadaku. Aku menyambut uluran tangannya yang dingin di atas meja. Delapan tahun telah berlalu sejak kepergianku waktu itu. Namun, lelaki itu masih sama seperti dulu. Masih gagah dan menawan. Kami berbicara banyak hal selama tak bertemu hingga tiba di detik ini. Meski kami tidak bisa menikah, aku tetap mencintainya. Dia menyuruhku punya anak. Dia ingin melihat anak kecil hadir dalam hidupku. Tapi dengannya, tidak bisa. Mustahil katanya.

Tubuhku bergetar. Aku tak lagi menghiraukan kelanjutan perkataannya. Aku hanya memandang ke arah jendela, menyaksikan gerimis yang masih turun membasahi bumi. Frans ulurkan kembali tangannya untuk menyentuh pipiku yang kini basah oleh air mata yang tak lagi bisa tertahan.

Aku semakin terisak dalam dekapnya. Dan benar, saat matahari hendak terbenam, gerimis semakin deras, berubah menjadi hujan. Dan Frans, duduk menatapku sembari menguatkanku, mengulang kenangan lama, duduk di tepi jendela sembari menikmati hujan.

Frans memang tidak pernah pergi. Dia selalu menungguku. Menemaniku menikmati hujan bertahun-tahun berikutnya hingga tak mampu kuhitung lagi berada di tahun ke berapa kami sekarang ini? Tidak tahu. Tapi manusia-manusia semakin aneh. Aku menarik napas berat menatap jendela yang tertutup sebelum mobil benar-benar melaju.

Ingatanku masih utuh. Tak ada yang kulupakan sedikit pun. Tapi aku diam saja. Bagaimana pun aku tidak akan membiarkan seseorang mengganggu ingatanku yang sempurna ini.

 

<><> selesai <><>

 

Ikuti tulisan menarik Diah Mulyaningsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler