x

Lukisan karya Gustave Dore

Iklan

Muhaimin Rizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 November 2021 11:13 WIB

Do Re Mi

Saat tiba di kamarnya, Andrea memukul-mukul tuts pada pianonya secara acak, berharap suara si bocah perempuan SD sialan itu bisa muncul dari sela-sela tuts piano tersebut. Namun nonsens. Itu hanya melahirkan suara-suara aneh yang membuat langit menggerutu. Hujan turun siang itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Denting piano kala jemari menari. Nada merambat pelan di kesunyian malam, saat datang rintik hujan, bersama sebuah bayang yang pernah terlupakan.

            Sebagaimana lirik lagu Yang Terlupakan tersebut, Andrea memainkan jemarinya di atas piano, di dalam malam nan sunyi dan dingin. Bagaimana tidak terasa dingin? Lelaki bujang itu membiarkan angin malam masuk-menusuk membawa beberapa anak hujan ke dalam kamarnya yang remang. Kian deras air-air Tuhan itu menyentuh kulih Andrea, kian terasa dingin menusuk tubuhnya. Di saat itulah Andrea semakin keras bernyanyi, semakin keras jemarinya menekan tuts yang merasa celaka ditakdirkan menjadi tuts piano. Nada dan suara Andrea menyeruak gulita yang membekap ingatannya tentang seorang perempuan SD. Perempuan kecil itu adalah sebuah bayang yang pernah terlupakan dalam lagu Iwan Fals yang dia nyanyikan sekarang.

            Andrea adalah anak lelaki biasa, se-biasa anak-anak SMA lain yang pergi ke sekolah untuk sekedar menjalankan formalitas dan mencari pasangan perempuan yang dirasa pantas. Namun yang membuat dia berbeda dengan lelaki kebanyakan di sekolahnya adalah kelihaiannya  menekan tuts piano.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Siang tadi, saat pak Suharto memukul bel masuk kelas dengan keras. Bel kelas berdentang begitu lantang. Saat itu, suara pak Suharto ikut memukul gendang telinga siswa-siswa yang tak kunjung masuk ke kelas. Andrea dan Dara adalah salah dua anak yang enggan merasakan suasana kelas yang “panas”. Mereka lebih memilih bolos, duduk di dalam kantin pak Pardi. Karena pak Pardi begitu loyal dengan kenakalan anak-anak di sana. “Kalian boleh bersembunyi di sini, tapi kalau kalian kena, jangan bawa-bawa bapak,” begitu ucap pak Pardi setiap kali ada anak-anak yang mencoba bolos kelas mulai menutup rapat pintu-jendela kantin pak Pardi. “Aku juga pernah jadi kalian, ya beginilah. Tapi jangan sering-sering juga ya,” ucap pak Pardi belakangan ini, tampak sadar bahwa yang dia lakukan adalah salah –namun sekarang ia hanya bisa pasrah.

            “Emm, cewek yang kamu suka pertama kali siapa?” pertanyaan itu seharusnya tak pernah Dara lemparkan kepada Andrea. Karena perkataan itulah, bayangan seorang perempuan SD yang telah lama hilang dari benak belantara Andrea, kembali muncul. Apakah dia benar-benar seorang anak perempuan SD? Mungkin dia sudah seumuran Andrea sekarang. Tapi dalam ruang ingatan Andrea, perempuan itu tetaplah seorang anak SD, tak bertambah umur walau hanya sedetik. Kala itu Andrea bergeming. Matanya menatap kosong, menembus wajah Dara, pacarnya. Siapa sangka, pertanyaan itu menghujani Andrea sedemikian rupa. Secuil demi secuil rasa cintanya kepada Dara mulai terkikis oleh hujan pertanyaan-pertanyaan yang mulai beranak-pinak: “Di mana dia sekarang?”; “Sedang apa?”; “Apakah dia masih mengingatku?”.

            Dara bimbang. Apa yang salah dengan pertanyaannya yang sekilas seperti angin lalu itu, hingga Andrea pamit kepada pak Pardi untuk kembali ke kelas. Andrea tiba-tiba mengacuhkannya. Dara hendak mengikuti Andrea, tapi dia sadar bahwa mereka memiliki kelas yang berbeda.

Sepulang sekolah, Andrea memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dara terbelalak kebingungan. Dara tak terima. Dara meminta penjelasan. Dara menangis waktu itu. Namun Andrea hanya tertunduk oleh pertanyaan-pertanyaan yang semakin membebani benak kepalanya, tak mengindahkan seribu sikap Dara.

            Siapa namanya? Dia bertanya sepanjang perjalanan pulang. Namun jawaban itu tak jua mengetuk batok kepala Andrea. Padahal andaikan dia mau mendongakkan kepalanya ke langit yang biru di atas sana sejemang saja, dia akan menemukan jawabannya saat itu juga. Tapi dia terus tertunduk, merasa bersalah tidak bisa mengingat masa lalunya itu.

            Bagaimana suaranya? Sungguh sial, Andrea bahkan tidak menyangka, dia bisa lupa seperti apa suara perempuan yang benar-benar menghantuinya itu. Saat tiba di kamarnya, Andrea memukul-mukul tuts pada pianonya secara acak, berharap suara si bocah perempuan SD sialan itu bisa muncul dari sela-sela tuts piano tersebut. Namun nonsens. Itu hanya melahirkan suara-suara aneh yang membuat langit menggerutu. Hujan turun siang itu. Andrea memilih tenang sejenak. Mengganti seragamnya dengan kaos berwarna kuning, lalu di atas kasur ia mendekap kedua kakinya yang putih-bening. Dia merasa tak punya waktu untuk memakai celana. Celana dalam sudah cukup menjaga kemaluannya dari pandangan Monalisa berkepala anjing yang bertengger di tembok kamarnya.

            Seperti apa wajahnya? Semua itu bermula saat Andrea duduk di bangku kelas lima SD. Ibu Andrea merasa risau, Andrea tak cukup menemukan hiburan di sekolahnhya dulu. Hingga kelas piano menjadi jawaban atas kerisauan ibunya. Namun sebenarnya, bukan piano-lah yang membuat Andrea merasa senang berada di kelas piano waktu itu, tapi perempuan seumurannya, yang duduk tepat di samping Andrea, menyemangat-ajari lelaki malang itu, yang masih bebal mengeja nada do re mi, saat semua anak di kelas itu sudah hapal letak tuts-tuts pada piano dari ujung ke ujung.

            Dua minggu di kelas piano, dengan hanya enam kali pertemuan saja, tepat di pertemuan ke enam, Andrea tak lagi melihat jemari perempuan itu di setiap tuts-tuts piano tempat kursus tersebut.

“Anak itu sudah pindah ke luar kota,” kalimat yang diucapkan guru piano Andrea itu dikatakan sambil dielusnya pipi Andrea, seakan dia tau bahwa Andrea kecil menanam suka ke perempuan SD tersebut. Namun usapan tangan itu bagai tamparan celaka bagi Andrea. Wajah Andrea mendung hari itu, semendung pikirannya malam ini. Hujan kian melebat, pertanyaan-pertanyaan akan perempuan SD pada masa kecilnya itu kian menyesaki kepala Andrea.

Malam pun tiba. Malam yang mala. Andrea membuka jendela, membiarkan angin malam masuk bersama hujan-hujan kecil yang tertiup angin. Andrea mulai membuat jemarinya menari di atas piano, sembari menyanyikan lagu Yang Terlupakan. Lagu itu seakan merapal doa kepada Tuhan agar ingatan Andrea kembali tertanam, karena dari sana akan tumbuh kebahagiaan. Andrea setidaknya bisa tau siapa namanya, bagaimana rupa wajahnya, seperti apa suaranya, agar ia lebih mudah mencari perempuan yang tetap bertubuh mungil itu di dalam ingatannya, karena mungkin tubuhnya akan jauh berbeda di luar sana sekarang.

***

Cahaya mentari mengelus halus kepala dan tubuh Andrea yang sepanjang malam bergulat dengan ingatannya. Itu adalah malam yang panjang baginya dan tuts-tuts yang berbaring rapi di atas tubuh pianonya. Letih menyelimuti Andrea selepas tahu dia tak dapat menang melawan ingatannya yang begitu enggan terbuka, hingga dia tertidur (duduk) di atas kursi piano dan kepalanya tertopang tuts-tuts piano yang merasa makin sial ditakdirkan menjadi tuts piano. Wajahnya tersiar menghadap ke arah jendela yang terbuka.

Saat sinar mentari purna membuat kelopak mata Andrea terbuka, Andrea sekonyong-konyong tercengang kegirangan melihat ke luar jendela. Senyumannya terikat simpul. Tangannya secara tidak sadar menekan tuts do re mi dengan tertatih-tatih, seperti kala awal kali jemarinya mengenal tuts-tuts tersebut, seperti saat perempuan SD itu mencotohkannya dengan perlahan. Begini bunyinya, do re mi, dia tiba-tiba ingat kalimat pertama yang ia dengar dari perempuan SD tersebut. Walau hanya kalimatnya yang berhasil ia ingat, tidak dengan suaranya, tapi wajahnya seketika nampak begitu semringah. Dia segera menuju ke arah jendela.

Ketika sinar mentari itu membasuh mata Andrea, netra itu kian terbuka lebar. Dia menatap ke atas langit yang begitu cerah sehabis semalaman tertutup awan. Tubuhnya berguncang senang. Bukan karena tak lagi hujan, namun di langit yang biru itu dia menemukan sesuatu. Nama anak perempuan SD itu: Byru Langit. Sejurus dengan hal tersebut, dia mengingat dan melihat senyum seorang Byru Langit di langit biru sana, yang mungkin akan menjadi jawaban awal, dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap membelenggu kepala Andrea selama ini.

            Sedangkan, di waktu yang sama, saat mentari sudah sempurna keluar dari persembunyiannya. Jauh ratusan kilometer dari rumah Andrea, perempuan yang kini sudah bertukar menjadi seorang gadis rupawan, Byru Langit, tengah terbangun dari tidur lamanya. Dia juga mengalami hal yang sama seperti yang Andrea alami sekarang. Dia lupa. Namun yang membedakannya dengan Andrea, lupa yang Byru alami tak ‘kan pernah pergi dan mungkin tak ‘kan pernah ‘ia sadari. Karena saat dia tengah bangun dari tidur lamanya yang para dokter sebut koma: Ada perban di kepalanya, yang ia dapatkan sehabis kecelakan yang begitu malang; Ada penyakit yang bernama amnesia di kepalanya, yang membuatnya harus kehilangan memori jangka panjang.

            Andrea tersenyum melihat Byru Langit yang tengah duduk bersama mentari jauh di atas sana. Namun gadis itu justru membalas senyuman lelaki berkumis tipis itu dengan tatapan keheranan. Membatin. Siapa dia?

Ikuti tulisan menarik Muhaimin Rizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler