x

Iklan

Muhaimin Rizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 November 2021 11:15 WIB

Penerbit yang Menulis di Tembok

Orang ini benar-benar gila. Dia pasti ateis. Sudah pasti setelah mati, di agama mana pun, ada surga dan neraka. Surga adalah tempat bagi manusia yang berbuat baik, dan neraka sebaliknya. Aku, dengan segala perbuatan jahatku, tak yakin bisa masuk surga. Aku belum sempat bertobat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika tujuan menulis adalah ingin mengubah pola pikir seseorang terhadap sesuatu dengan cara menyuguhkan tulisannya, bukankah sebuah kepelikan di masa sekarang, melihat kini setiap orang perlahan meninggalkan buku, lebih memilih memahami sesuatu lewat media visual. Maka bukankah si penulis gagal?

Hanya tulisan itu yang dapat kuukir menggunakan darahku di tembok kamar mandi ini. Ideku benar-benar blong saat ini. Sedang air yang muncul dari kran di belakangku sudah meluap hingga perutku. Orang yang tak kutahu dan tak mau kutahu namanya, malah bermain air di pojok ruangan ini, tak melakukan hal yang sama denganku. Aku enggan berbicara dengannya. Apakah dia ingin mati? Aku tak peduli.

“Sudahlah tak ada gunanya,” ujar orang dengan rambut yang terurai hingga bahu itu, kala aku sedang mencoba memukul-mukulkan gagang pisau yang kupegang dengan tangan kiriku, ke kepalaku. Berharap dengan begitu, ada ide yang tebersit dari otakku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Diam saja kau, jika tak mau membantu. Begitu susah sekali mencari ide dalam keadaan tertekan. Kau tahu, orang berkacamata hitam tadi menyuruh kita benar-benar menggunakan ide murni kita, bukan jiplakan, bukan plagiat. Apakah dia kira mudah menemukan sebuah ide yang benar-benar murni? Aku sudah mencobanya tadi, menggunakan gagasan seseorang, namun tiba-tiba hilang dari tembok ini, seperti sebuah busa sampo yang kau buang ke laut, sirna begitu saja. Tempat macam apa ini?” Jawabku sembari kucoba membuka satu-satunya pintu di ruangan itu untuk ke sekian kalinya, namun tetap saja pintu itu tak mau berkutik sedikit pun. Pintu itu begitu kokoh. Di sisi atas dan bawah pintu itu, tak ada celah barang nol koma sekian senti. Aku benar-benar akan mati.

“Harus berapa kali aku ingatkan kepadamu, tak ada gunanya.” Dia memelankan suaranya ketika sampai di tiga kata terakhir. “Biarlah kita mati dalam kamar mandi ini. Mati tak bernapas dalam air yang berada di dalam kamar mandi, bukankah itu hal yang luar biasa?  Aku juga penasaran, sebenarnya setelah mati, pikiran kita akan berada di mana? Tentu tak lagi menyatu dengan jasad ini, apakah lari ke jasad orang lain, atau sirna begitu saja? Jika sirna, lalu bagaimana rasanya, tidak memikirkan apapun, atau lebih tepatnya bagaimana rasanya tiada? Mari ikuti jalanku, menikmati menunggu kematian dan bermain dengan air ini, daripada kau buang-buang darahmu. Itu pasti sakit rasanya.” 

Orang ini benar-benar gila. Dia pasti ateis. Sudah pasti setelah mati, di agama mana pun, ada surga dan neraka. Surga adalah tempat bagi manusia yang berbuat baik, dan neraka sebaliknya. Aku, dengan segala perbuatan jahatku, tak yakin bisa masuk surga. Aku belum sempat bertobat.

Aku tak habis pikir akan berada di tempat seperti ini. Jika saja aku berhenti merepro[1] buku, ini tak ‘kan terjadi. Ya, aku sudah memiliki khusyuk yang demikian, aku berjanji ini yang terakhir. Andai saja aku tak menunda-nunda khusyuk baikku, tak akan seperti ini jadinya, aku tak akan berada di sini.

Ingat betul aku, dua jam yang lalu, aku dan Pigur pergi membeli stok kertas-kertas yang akan bermetamorfosis menjadi buku-buku baru. Ada kenikmatan tersendiri menjadi seorang perepro buku, kita sudah bagai penerbit yang dicari-cari oleh para penulis. Bahkan aku bisa menjadi segala penerbit di dunia ini. Aku bisa memanggil diriku penerbit, tanpa harus benar-benar menjadi penerbit.

Sepulang dari membeli stok itu, kami kecelakan sekaligus tidak sengaja mencelakakan seseorang. Kami menabrak dua orang yang masing-masing sedang mengendarai sepeda motor, dan nahasnya kedua pengendara sepeda motor itu cidera fatal dan tak sadarkan diri. Ketika aku sadar, Pigur sudah hilang dari tempat duduknya. Aku berusaha menghidupkan mobil, namun sialnya mesin mobil kami rusak. Mungkin sebab terlalu keras menghantam kedua sepeda motor itu. Aku bisa berspekulasi begitu, karena dua sepeda motor itu –sekaligus pengendaranya– terpental lima meter dari mobilku.

 Aku segera keluar dari mobil, Pigur tak begitu jauh masih kulihat tergopoh berjalan ke arah hutan. Mataku menyapu sekitar dan mulutku meneriak-panggili si Pigur. Si Pigur terus melangkah, tak menggubrisku barang menoleh. Awalnya aku berprasangka kepada Pigur, hingga kemudian aku tahu alasan Pigur bergegas pergi sampai melupakanku, ada mobil polisi yang ditakdirkan melewati jalan itu. Mobil itu kian mendekat dari kejauhan, dari jalan yang terlihat tak berujung. Aku berusaha berlari. Punggung Pigur sudah tak nampak sama sekali. Aku memaksa masuk ke hutan nan dimasuki Pigur. Mobil polisi itu sampai di tempat kecelakan itu terjadi. Polisi-polisi itu turun. Mereka agaknya tahu pengendara mobil itu adalah aku. Pasti akan banyak pertanyaan yang ingin mereka tanyakan padaku, melihat tak ada lagi orang yang bisa mereka tanyakan di sana. Dan polisi itu pasti sudah menanam prasangka padaku. Ya, mereka mengejarku.

Hutan itu nampak remang dan mengerikan. Namun, polisi-polisi tambun yang mengejarku terlihat lebih mengerikan daripada hutan itu. Hingga kudapati pohon besar yang berbisik, kemari[2]. Aku berlari menuju sisi belakang pohon itu, dan kudapati sebuah lubang di badannya. Tanpa pikir panjang, aku masuk.

Setelah aku pikir aman, aku segera keluar. Seorang pria berkacamata hitam mementungku, dan aku tak sadarkan diri untuk kedua kalinya dalam beberapa jam ini.

Aku bangun tengah diseret dalam sebuah lorong panjang, oleh pria sama yang tadi mementungku. Tanganku dalam keadaan diikat, mulutku dibungkam menggunakan selotip hitam yang melingkar hingga ke belakang leherku. Sekitar lima sampai delapan menit, kami sampai di ujung lorong: Sebuah pintu berwarna biru dan kamar mandi di dalamnya, dengan luas dua kali dua meter dan tinggi satu tiga per empat meter.

Ketika sampai di ujung lorong, aku dibebaskan dari tali yang mengikat tanganku, dan lakban hitam yang menutup mulutku, namun aku dilapaskan di ruangan di balik pintu biru itu, tepatnya kamar mandi yang aku diami kini. Kemudian pisau yang ia gunakan untuk membebaskanku dari dua hal yang merepresi mulut dan tanganku, diserahkannya padaku. Dia menjelaskan bahwa untuk bebas, aku harus memenuhi empat sisi tembok beserta langit-langit kamar mandi ini dengan tulisan ide yang murni muncul dari kepalaku, menggunakan darah yang kumiliki. Dan tak lama kemudian, orang berambut sebahu itu masuk menemaniku, dijelaskan hal yang sama dengan apa yang telah orang berkacamata hitam itu jelaskan kepadaku. Namun, dia hanya membalas dengan sebuah tawa.

Aku perhatikan ruangan itu dengan saksama. Tembok itu berwarna biru muda, lantai keramik di bawahku biru tua, dan langit-langit itu pun berwarna biru, birunya hampir menyerupai birunya lantai, namun sedikit lebih muda. Langit-langit itu memiliki lubang-lubang kecil sekecil lubang kunci, mungkin agar kami tidak kehilangan oksigen. Dan jika dari segi kebersihan, ruangan ini memang layak ditempati cukup lama, karena memiliki pemandangan yang sedap dipandang dan bau yang enak diendus.

Setelah pintu biru itu ditutup, kucermati pintu itu terbuat dari besi. Sebuah kran berdiameter lima senti memuntahkan air. Air itu tak dapat dihalangi untuk keluar. Kian dihalangi, kian deras air itu keluar. Jika kukalkulasi, kami harus memenuhi empat sisi tembok dan langit-langit ruangan ini dengan darah kami kurang dari dua puluh menit, sebelum kami mati tenggelam.

Cipratan air yang dimainkan oleh orang di belakang kananku itu, mengenai leherku, dan membuatku berhenti membuka lembar ingatanku. Seketika aku sadar, air itu sudah mencapai leherku, aku kembali memutar otakku. Aku mencoba berpikir tenang dan relaks. Dan ya, pikiran relaks adalah jawaban dari problem ini. Setelah aku mencoba mengatur napas, aku terus dijatuhi ide-ide baru. Aku terus melukai tangan-tubuhku dengan pisau bergagang merah itu. Lalu kuukir sedikit demi sedikit kata pada tembok itu, tak ubahnya seorang pelukis yang melukis di kanvas besar, dengan darah dan jari sebagai cat dan kuasnya.  

Entah sudah berapa menit lamanya hingga kurasa tubuhku benar-benar lunglai, namun  pikiranku akan takut mati mendorongku untuk terus melukai diriku dan berpikir. Walhasil, tinggal satu ide dengan isi tujuh sampai delapan kata lagi untuk dapat bebas dari ruangan ini. Darah yang melekat di tembok rupanya tak pudar disapu air. Apakah memang begitu? Atau tembok ini yang istimewa? Dan aku tak habis pikir, sebenarnya apa tujuan dari orang berkacamata itu mengurung kami berdua di sini, dan kenapa harus kami? Kesalahan apa yang kami perbuat?

“Terkadang sesuatu tak membutuhkan alasan.” satu-satunya orang di ruangan itu –selain aku– menyeletuk. Pria yang masih bermain air itu, seakan tahu isi pikiranku.

Aku tak ambil pusing memikirkannya. Kuatur napasku untuk yang kesekian kalinya. Dan jduar, sebuah ide seakan menyambar otakku, bak petir yang menyambar pohon nan rindang. Merubah pohon itu begitu cepat, dari hijau ke hitam. Aku mendapatkan sebuah ide yang benar-benar apik dan baru untuk yang terakhir ini, sebelum aku bebas dari ruangan ini, dan aku yakin belum ada yang pernah memikirkannya. Ketika aku mencoba melukai jidatku –karena darah di seganap jari tangan-kakiku, badan, dan leherku  sudah tandas– tulisan yang hampir memenuhi seluruh sisi kamar mandi ini, sirna, seperti tulisan sebelumnya, tulisan-tulisan plagiat itu. Tulisan itu hilang begitu saja seperti tulisan spidol pada papan putih yang dihapus menggunakan lap. Bersih seperti awal kali aku memasuki tempat ini. Bagaimana bisa?

Setelah lama aku diam tegemap dilebur rasa murka, orang ateis itu kembali berucap sambil terkekeh. “Untuk terakhir kalinya, tak ada gunanya. Setiap ide sudah pernah dipikirkan oleh seseorang, entah itu tulisan atau sekedar lisan, entah itu di tahun yang sama atau milyaran tahun yang lalu, intinya: pernah. Jadi tak ada gunanya, tulisanmu pada tembok ini akan terus hilang, cepat atau lambat. Sebenarnya kita memang diantar ke sini untuk mati, tantangan itu hanya sebuah omong kosong, lucunya kau berupaya untuk menyelesaikannya.”

Batinku, keparat. “Lalu kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?” Aku benar-benar kesal tak percaya.

Orang itu justru tertawa terbahak-bahak, “Sebentar, aku mau menyelesaikan tawaku..” Lalu dia mengeluarkan tangannya yang sudah purna berada di dalam air, menggaruk kepalanya dan menggosok kepalaku yang sudah setengah tertutup air. “Tunggu, apa yang akan kukatakan? Ah ya, bukankah aku sudah bilang tak ada gunanya?”

“Tapi kau tak menjelaskan kalau ini semua memang benar-benar tak ada gunanya. Aku kira kau bilang begitu, karena memang kau memilih mati”

“Tentu tidak. Dan ya, memang tidak aku jelaskan. Begini, jika Tuhan memberitahu kita bahwa kita akan dilapaskan di neraka, kita tak perlu susah-susah menabung pahala. Begitu pun jika aku memberitahumu bahwa ‘tidak ada faedahnya membanjiri empat sisi tembok beserta langit-langit ini dengan gagasan-gagasan baru menggunakan darahmu, karena tidak ada yang namanya gagasan baru’, maka kau tidak akan pernah berpikir dan berusaha”

Aku berupaya meninju wajahnya, namun tubuhku sudah benar-benar kehilangan darah. Aku hanya bisa bergumul dengan pikiranku: Bukankah dia ateis? Mengapa dia mengerti Tuhan? Dan segala pertanyaan lain yang memorakporandakan pikiranku.

Aku termangu menatap langit-langit kamar mandi itu. Sisa darah yang keluar dari segala sisi badanku mencemari air itu. Hingga air itu berubah warna menjadi sedikit kemerah-merahan. Dan pada akhirnya air itu memenuhi ruangan. Beberapa belas menit kemudian, raga kami kehilangan nyawanya, dengan wajahnya yang tersenyum, dan wajahku yang menatap kosong. 

 

[1] Repro: sebuah istilah eufimisme untuk kata bajakan, yang merupakan singkatan dari reproduksi/tiruan.             

[2] Dalam prolog novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata, pohon-pohon di pekarangan rumah seorang tokoh yang kerap dipanggil Hob, dimanifestasikan seperti seorang manusia, yang dapat merasa dan mengindra, seperti berbicara. Padahal sebenarnya tidak, semata untuk memperindah tulisannya.

Ikuti tulisan menarik Muhaimin Rizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB