x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 10 November 2021 13:05 WIB

Listrik Masuk Kampung

Setiap menjelang Pemilu, kampung itu selalu kedatangan politisi yang menjanjikan kepada penduduk bahwa listrik akan segera masuk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Politikus itu berdiri mengenakan setelan gelap dan mahal, yang harganya cukup untuk memberi makan salah satu orang di depannya setidaknya untuk satu tahun. Dia tersenyum layaknya seorang politikus, energik dan penuh optimisme yang tidak dimiliki oleh orang-orang di depannya.

“Hari ini adalah hari bersejarah!” serunya bersemangat. Lampu kilat kamera-kamera para wartawan yang datang bersama rombongannya menyambar-nyambar. Penerjemah yang berdiri di sampingnya, seorang wanita berpakaian elegan, memantulkan kegembiraannya ketika dia menyampaikan pesan ke dalam bahasa daerah. Sekelompok kecil penduduk setempat terus menatap dengan sabar.

“Ini adalah pertama kalinya kampung ini terhubung ke PLN. Berkat Program Listrik Pedesaan dari pemerintah, kami menghubungkan sembilan belas desa lagi seperti ini di seluruh provinsi. Pada akhir masa jabatan kami tahun depan, negara akan mencapai cakupan listrik hampir 97%!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata-kata Sang Politikus menyembur melalui gigi putihnya, menerobos senyum di bibir yang terpampang di wajahnya. Dia memastikan untuk terus menoleh ke kiiri, sehingga kamera akan membidik sisi wajahnya yang mulus tak bernoda.

Penerjemah menjelaskan tanpa banyak kata apa yang dikatakan Sang Politikus. Ada gumaman yang berdesir di antara kerumunan. Beberapa orang bertepuk tangan, tetapi mereka adalah yang termasuk dalam rombongannya.

Yang lain tidak terkesan. Bagi mereka, ini tak lain selingan dari kehidupan sehari-hari yang tenang. Mereka ada di sini hanya untuk menonton.

Pertama kali seorang politikus datang untuk berbicara dengan mereka tentang listrik, orang-orang tua masih merupakan remaja belia. Mereka datang dengan kendaraan militer dengan seorang pria yang berbicara dengan mereka tentang listrik yang akan tersambung kurang dari satu bulan.

Seminggu kemudian, seorang kontraktor muncul dengan kayu gelondongan dan mereka mulai mendirikan tiang listrik. Tetapi pria yang membuat janji itu gagal mendapat kursi di ibukota dan tiang listrik dibiarkan lapuk tanpa kabel listrik melintang di antaranya.

Politikus lain datang dengan janji yang sama.

Bagi mereka yang punya ingatan kuat, politisi datang dengan seragam militer atau baju safari mewah, lulusan perguruan tinggi ternama, membuat janji dan tidak menepatinya.

Kali ini, pria ini, dengan setelan yang lebih murah dan wajah serius, datang menjanjikan sambungan lastrik sebelum pemilu.

Dia melakukannya di semua kampung setelah kampung mereka. Pemilu bebas pertama yang mereka saksikan sejak tahun 70-an. Negara ini tidak lagi dikuasai rezim militer. Orang-orang di ibukota telah memutuskan bahwa semua orang ingin kembali ke demokrasi yang sejati. Pria ini juga telah berbohong, dan pemilu berjalan seperti biasa. Lebih banyak pilihan tanpa penyelesaian. Dan itu adalah akhir dari masalah ini.

Dan lima tahun kemudian, datang lagi politikus yang berbeda. Datang sekali, tetapi hanya untuk melihat Kepala Kampung. Setelah sepuluh menit, mereka pergi dengan tergesa-gesa, menuju desa berikutnya. Sebulan kemudian pekerjaan dimulai. Tiang listrik dari logam dipasang. Tiang-tiang kayu tua, yang tidak pernah digunakan, dicabut dan diangkut kembali ke ibukota. Mereka bahkan tidak mernyisakan barang sebatang untuk tukang kayu di kampung.

Setengah tahun kemudian sebuah mobil van siaran televisi datang untuk melihat tiang-tiang yang dipasang berkarat. Mereka membuat liputan tentangnya.

Seminggu kemudian muncul kabel listrik yang terhubung ke rumah Kepala Kampung, dengan satu lampu jalan besar di depan rumahnya.

Minggu berikutnya, si Politikus muncul membawa podium, tenda, beberapa pembicara, dan pita. Dia berdiri di depan mereka, memberi tahu mereka bahwa kampung mereka telah terhubung dengan jaringan PLN.

Remaja desa bersemangat, tetapi pria dan wanita yang lebih tua tetap diam. Kegembiraan mereka telah sirna sejak lama. Sekarang yang mereka lakukan hanyalah menonton.

Politisi itu secara dramatis turun dari podium dan berjalan bersama Kepala Kampung ke sebuah saklar di dinding rumah. Ada pita serupa bendera di atasnya. Mereka berpose di depannya untuk pengambilan gambar, dan kemudian kepala lampung diizinkan untuk menekan tombol.

Lampu jalan langsung menyala disambut tepuk tangan meriah. Penduduk kampung telah diberitahu untuk bertepuk tangan saat lampu jalan menyala. Ada galdi resik di sini malam sebelumnya. Dan mereka bertepuk tangan. Anak-anak memekik kegirangan ketika mereka melihat ke atas dan menemukan matahari yang lebih kecil dan lebih dekat. Yang lebih tua mengekang kegembiraan mereka, meski menyadari bahwa harapan mereka telah menjadi kenyataan.

Setelah beberapa foto lagi, dan sambutan dari penduduk kampung yang dipilih sendiri oleh Kepala Kampung, orang banyak itu menikmati nasi lemak dan ayam gorang dalam kotak. Di bungkusnya ada wajah presiden saat ini. Mereka juga mendapat t-shirt. Wajah yang sama. Kegembiraan menguasai semua orang. Seseorang mendapat ide untuk menggunakan speaker untuk mengeraskan suara musik dangdut dari radio. Upacara berubah menjadi pesta.

Media dan Politikus pergi setelah beberapa jam. Mereka telah memesan sebuah hotel di kota terdekat, yaitu sekitar satu setengah jam dari kampung. Jalannya kasar berbatu yang tidak mereka rasakan karena duduk nyaman dalam mobil mewah mereka.

Tak urung Sang Politikus memaki keras di dalam mobil. Seorang ocah kampung telah mengotori bajunya dengan jari-jari kecilnya yang bau. Penerjemah diam. Dia berasal dari kota yang akan mereka tuju. Mereka akan menurunkannya di sana.

Ketika malam datang, anak-anak duduk di bawah cahaya lampu jalan. Mereka bermain. Mereka berlari ke ujung batas yang jelas antara cahaya dan bayang-bayang kegelapan, dan mereka melompati 'garis demarkasi' berulang kali. Saat berada di sisi gelap, mereka berpura-pura mengantuk karena hari malam. Saat berada di sisi terang, mereka berpura-pura menguap dan meregangkan tubuh seperti baru bangun tidur karena hari ‘siang’.

Mereka bermain untuk waktu yang lama, sampai istri Kepala Kampung keluar dengan lentera minyak dan menyuruh mereka pulang sebelum dia mengusir mereka dengan gagang sapu. Mereka semua lari sambil tertawa.

Agam, putra pandai besi, yang pertama kali mengatakan apa yang salah.

“Mengapa rumah Kepala Kampung masih memakai lentera padahal dia mendapat listrik?” dia bertanya pada teman-temannya. Mereka berdiri di depan sebuah gubuk. Mereka tertawa sebentar lalu berpisah. Di dalam gubuk, seorang lelaki tua duduk, dengan lembut mengipasi api tungku tempat memasak ramuan herbalnya.

Dia tertawa mendengar kata-kata Agam. Anak laki-laki itu adalah anak yang cerdas. Mungkin dia akan tumbuh dewasa untuk menjadi kepala kampung suatu hari nanti.

Semua orang tua di kampung itu tahu bahwa listrik hanyalah untuk pertunjukan. Mereka tahu bahwa kepala kampung menjadi panutan yang diharapkan partai-partai politik untuk bertahan hidup. Mereka tahu bahwa lampu jalan di luar rumah kepala kampung adalah satu-satunya listrik yang akan didapat kampung ini.

Mereka tahu.

Dan itulah mengapa tidak satu pun dari mereka pernah memilih.

 

Bandung, 9 November 2021

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB