x

Untuk Cerpen: Suara-suara Berkabut pada Pagi Paling Busuk

Iklan

budi susilo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Kamis, 11 November 2021 11:06 WIB

Suara-suara Berkabut pada Pagi Paling Busuk

Suara-suara berkabut menghambur memadati ruang-ruang sesak dalam kepala. Ruang bakar memampat, meledak-ledak merayakan sepi pada pagi paling busuk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seberkas cahaya menampar pagi nan kelam. Embun berselimut halimun dalam pelukan daun-daun. Matahari enggan membuka kelopak ufuk. Suara-suara berkabut menghambur memadati ruang-ruang sesak dalam kepala. Ruang bakar memampat meledak-ledak merayakan sepi.

Perlahan aku melucuti pelupuk. Memindai dinding kaku. Semat pendek tersengal-sengal mengejar bilangan. Pasak panjang tertawa-tawa setelah berhasil melaju dua langkah di depan angka lima.

Aba-aba memandu pedati terbuat dari besi, agar lulus melewati portal berjarak sejengkal dari pagar rumahku. Mesin diesel bersama suara-suara berkabut membawa truk berwarna kuning menderu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Sampah! Sampah, Bu,” lengking selayaknya suara emak-emak melompat dari kerongkongan seorang pria.

Kerangkeng kelabu merahasiakan bangunan abu-abu pembungkus penghuni dalam gagu yang beku. Selalu begitu. Rumah angkuh enggan memberikan lembaran ungu atau biru, meski sampah di depan pagar menggunung.

Setiap selepas subuh, truk kuning pembawa sampah menyusuri aspal kompleks untuk mengambil limbah rumah tangga. Biasanya digantung di pagar dibungkus kantong keresek, atau dimasukkan ke dalam tong atau bak sampah.

Buangan-buangan besar berupa potongan tanaman dan pohon ditumpuk begitu saja di tepi jalan. Kemudian petugas kebersihan menyapu gunung sampah, membopong pengki ke dalam bak truk. Pemilik rumah yang tahu diri akan menyisihkan sejumlah uang.

Bukan upah. Bukan juga ongkos bongkar. Bukan!

Suda  seharusnya pekerjaan mengangkat sampah rumah tangga adalah tugas pokok mereka. Para petugas kebersihan, berikut armadanya, telah dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah dari pemerintah setempat. Notabene anggaran yang berhulu dari pajak-pajak dibayarkan oleh, salah satunya, penghuni kompleks.

Jadi berdasarkan kaidah tersebut, tidak perlu lagi diadakan pengupahan secara mandiri.

Kendati demikian, keikhlasan hati akhirnya mendorong para penghuni kompleks memberikan uang lelah.

Kecuali Linda, tetangga sebelah penghuni rumah abu-abu berpagar kelabu. Wanita berbadan subur itu enggan, senantiasa tidak mau menyisihkan sekadar uang rokok untuk sampah selalu menggunung.

Ia hanya mau membayarnya dengan nada tinggi, “kan mereka sudah digaji!”

Linda sendiri. Aku sendiri. Sama-sama dewasa. Sama-sama menunggu senja menjemput usia menuju kelam nan abadi.

Akan tetapi aku tidak ingin sepelit tetangga penyuka kue taart itu. Lebih suka berbagi sedikit rezeki dari uang pensiun. Mengangsurkan lembaran berwarna ungu, hijau, atau biru demi menyenangkan mereka. Pada saat-saat menjelang lebaran, mengamplopi sejumlah uang sebagai tambahan biaya merayakan kegembiraan.

Sekali waktu truk kuning kesiangan. Sampah bertumpuk-tumpuk sudah menunggu. Mereka tampak lusuh. Aku memasrahkan kantong kertas berisi gorengan baru dibeli ke tangan-tangan kotor. Biar. Hari ini aku mengalahkan ego, tidak memakan gorengan sebelum sarapan.

Ya betul! Makan gorengan adalah ritual wajib sebelum sarapan. Juga menjelang Magrib sembari menyeruput kopi sore.

Lagi pula, menyisihkan sedikit uang dan, sesekali, memasrahkan gorengan tidak bakal mengurangi harta. Kegembiraan petugas kebersihan merupakan nilai tak terkira bagi kebahagiaan.

Mereka demikian bersemangat mengangkat kantong-kantong keresek dari atas pagar. Kebetulan di rumahku tidak tersedia tong atau bak sampah.

Kemudian kantong-kantong, tong, dan bak sampah adalah tempat pembuangan akhir di kompleks perumahan ini. Berisi benda-benda tersingkirkan, berupa: saset kosong, potongan kertas, kardus bekas belanja barang daring, potongan sayuran menguning, kepala dan tulang ikan, rongkong ayam goreng, bangkai tikus, dan barang-barang lain yang sudah habis manfaat.

Benda-benda sudah tamat masa pakainya tersingkir dan akhirnya tiba pada tempat hangat, lembap, dalam ruang gelap. Padanya menguar-nguar bacin, berasal dari cairan berwarna kecokelatan hasil fermentasi. Belatung-belatung lunak berkelir putih menghirupnya, menggeliat sesak bersama jutaan bakteri pembusuk.

Itu juga yang akan terjadi, bila petugas kebersihan terlambat mengangkat limbah rumah tangga di pagar-pagar, tong dan bak sampah. Oleh karena itu mereka rutin mengambilnya.

Para pemukim kompleks juga rutin memberikan uang lelah. Kecuali Linda, tetangga sebelah penghuni rumah abu-abu berpagar kelabu yang sampahnya menggunung.

Hingga pada suatu pagi yang masih bernuansa hitam, suara-suara berkabut menghilang. Sepi menyelimuti.

Terlambat kah mereka?

Hingga senja menjemput, suara-suara truk sampah masih tiada. Sampai subuh berikutnya, erangan mesin diesel beserta teriakan “sampah” ke tetangga sebelah tidak terdengar.

Apakah kemarin sore dari kemarin sore aku demikian lelap? Apakah usai menyantap sebungkus gorengan dan menyesap cangkir kopi pekat di bawah asap putih bergulung-gulung? Apatah aku melewatkan Subuh? Atau kah aku tidur sampai dengan matahari mengukus permukaan bumi?

Aku tidak yakin demikian. Tidak!

Fajar yang mestinya kekuningan sekali ini hanya menyisakan sinar gelap. Lindap. Hening memadati gendang telinga dengan suara hampa paling pengang. Aku beku tanpa mampu berbuat barang sesuatu. .

Samar-samar cahaya dari kelam mempertunjukkan geliat makhluk-makhluk putih, menggerayangi tubuhku bersama jutaan bakteri pada pagi paling busuk. Aku tersingkir pada tempat hangat, lembap, dalam ruang gelap. Beku bersama pilu paling ngilu(*).

Ikuti tulisan menarik budi susilo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler