x

Iklan

Tika Widya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Sabtu, 13 November 2021 12:58 WIB

Orang Bati


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Malika keluar dari rumah kepala desa. Ia membanting pintu tepat di muka Ahver sembari berteriak marah, “Kamorang panggil lagi saya setelah lulus sakola!” Tak lagi didengarnya jawaban Ahver. Malika mengeraskan genggaman tangannya, menahan marah. Ia menarik napas panjang sekali dua sebelum akhirnya membalikkan badan dan berjalan ke tempat anaknya menunggu. 

Ketika Malika menghampirinya, Kinara sedang memandangi kerikil di kakinya. Malika bisa merasakan kerisauan di hati anaknya. Kinara seperti air. Air yang arusnya deras di dalam tapi tenang di luaran. Membesarkan Kinara selama tiga belas tahun, membuat Malika mencintai derasnya. Mereka berdua berjalan perlahan pulang ke sebuah pondok mungil di atas bukit. 

Malika membuka pintu rumahnya. Pondok itu seperti oasis di padang pasir bagi mereka berdua. “Ose taru akang di situ dolo,” Malika meminta anaknya meletakkan amanisal di meja dapur. Malika menyiapkan air di kamar mandi. “Ose mandi dulu sini,” Kinara menghampiri Malika lalu melepaskan bajunya satu per satu. “Airnya dingin tidak?” Malika menggeleng. Air daerah pesisir tidak pernah dingin. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak lama kemudian, Kinara sudah berendam di dalam ember kayu yang tampak terlalu kecil untuk badannya yang semakin tinggi. Malika membasuh wajah putrinya yang penuh lumpur, ketika kemudian Kinara bertanya, “Mama, apa beta merepotkan?” Malika menelisik wajah putrinya yang tetap saja seperti air tenang. “Tidak,” sejauh Malika bisa mengingat Kinara adalah satu-satunya hal yang membuat hidupnya bahagia. 

“Mama tidak takut sama beta?” Kinara bertanya lagi sembari berusaha menjangkau punggungnya. Malika bergerak ke punggung Kinara dan membantu anaknya itu menggosok punggung. Kinara terlahir dengan benjolan besar di punggungnya yang membuat dia tidak tampak seperti anak berusia tiga belas tahun biasanya. Ia harus berjalan bungkuk membawa benjolan yang semakin tahun tumbuh semakin besar. Dukun desa berkata ini kutukan. Kutukan karena Malika hamil tanpa nikah. Kinara lahir tanpa bapak. 

“Kenapa saya harus takut sama Ose?” Malika membalas dengan pertanyaan. Kinara menunduk diam. Malika menduga bahwa Kinara sedang berusaha mencari penjelasan yang tepat. Kinara memulai jawabannya dengan menghela napas panjang. “Dorang bilang beta itu Orang Bati yang makan semua ternak dorang. Makanya dorang lemparkan lumpur kepada beta.”

Malika menghetikan segala kegiatan menggosok luka dan lebam. Ia memastikan putrinya mendongak melihat wajahnya dengan jelas ketika berkata, “Mama tak lihat ose punya sayap seperti Orang Bati.”

“Apalagi suka makan bayi,” sambut Kinara. Mereka berdua pun tertawa. Ini bukan pertama kalinya meski ini mungkin yang terparah. Sudah bertahun-tahun, Malika dan Kinara diperlakukan seperti penduduk desa kelas dua. Mereka sering kali dipersalahkan untuk sesuatu yang tak pernah mereka lakukan. Malika dikucilkan karena dulu mereka percaya bahwa Bapak Malika adalah seorang dukun ilmu hitam. Sedangkan, Kinara dikucilkan karena mereka tidak suka anak cacat. Mungkin, nasib ini sudah turunan. Mungkin, sebuah pulau terpencil dengan penduduk tak lebih dari seratus jiwa memang selalu curiga terhadap perbedaan. 

“Kinara, nelayan yang handal tidak pernah lahir dari laut yang tenang. Laut katong ini bergelombang, tapi Mama tetap mencintai Ose. Ose anak mama satu-satunya,” Malika mengusap rambut basah Kinara dan beranjak untuk mengambil selembar handuk. “Mama juga satu-satunya untuk beta, apalagi beta tak punya papa.” Langkah Malika terhenti. Kinara berdiri keluar dari ember dan akhirnya mengambil handuknya sendiri. Malika keluar dari kamar mandi dan menyiapkan makanan. Mereka berdua makan sup ikan sambil banyak bercanda hari itu. 

Malam tiba dengan langit keunguan menggantung di atas pulau kecil mereka. Terdengar ketukan di pintu pondok mungil itu. “Malika, betong perlu bicara,” Malika mendengar suara Ahver sang kepala desa dari luar rumahnya. Wajah Malika mengeras. Ia membuka pintu rumahnya dan mendapati puluhan warga desa membawa obor menunggunya. Seketika Malika mengepalkan tangannya, “apalagi yang kamorang mau?” Ahver mengusap keringat dari keningnya, “Beta sudah tidak bisa menghentikan dorang.” Malika mengernyit dan terlihat seperti hendak menerkam Ahver. 

“Tak perlu banyak bicara, seret dorang badua sekarang!” Sebuah suara yang berasal dari kerumunan massa memberikan komando. Malika mengenali suara itu dan dengan cepat menemukan wajah si lelaki yang menyeruak di antara kerumunan. “Apalagi yang mau ose ambil dariku, Bora?” Malika menjerit marah.

Sayangnya sebelum Malika sempat menyerang lelaki bernama Bora itu, beberapa lelaki lainnya dengan sigap menyergap dan membungkam Malika. Tak hanya itu, mereka menyeret Kinara ke luar dari rumah. Malika berontak. Tapi umumnya, seorang wanita tidak bisa mengalahkan empat orang laki-laki sekaligus dalam hal adu fisik, tak terkecuali Malika. 

Warga menggelandang Malika dan Kinara ke Tebing Tinggi. Dinamai begitu karena memang tempat tersebut adalah tebing tertinggi di pulau kecil mereka yang langsung menghadap ke laut lepas. Deburan ombak memecah karang terdengar seperti gemuruh. Langit tak lagi ungu. Malika serta merta menyadari apa yang mereka inginkan. Ketakutan bergelayut menghampirinya bersamaan dengan datangnya awan mendung. Ia memberontak lebih keras, ketika akhirnya mereka melepaskannya. 

“Lepaskan ana parampuang beta!”, Malika melepaskan genderang kemarahannya sekaligus. Sebuah parang kemudian ditempatkan di leher Kinara bersamaan dengan jawaban Bora, “Katong tak mau serepot ini juga kalo bukan karena kepentingan desa!” Ahver si kepala desa tiba berlarian di belakang Bora. “Bayi Ua Maria meninggal, Malika,” Ahver menjelaskan. Malika menggeleng, “Itu tak ada hubungannya dengan beta dan Kinara!” Bora berjalan ke tengah-tengah Malika dan Ahver. Bora meletakkan ujung parangnya tepat di bawah dagu Malika. “Mulut ose masih juga lantang!” Malika serta merta meludahi wajah Bora. Bora mengangkat parangnya ketika Ahver berteriak, “Cukup!”

Semakin banyak warga berdatangan ke Tebing Tinggi. Kasak-kusuk meninggi. Malika dapat mendengar banyak dari mereka menuntut suatu penghakiman atas anak perempuannya. Mereka semua menuduh Kinara sebagai penyebab satu-satunya kematian bayi Ua Maria. Orang Bati, begitulah mereka menamai anak perempuan Malika. Orang Bati ini adalah makhluk mistis bersayap yang dipercaya suka memakan bayi.

Ketika tak ada lagi yang datang, Ahver menghentikan dengungan khalayak dengan mengajak mereka berdoa, sesuai keyakinan masing-masing tentunya. “Lucu!” bentak Malika. “Kamorang menyeret ana beta ke tebing untuk berdoa! Lalu apa? Berharap setan keluar dari tubuh batong begitu?” Bora menyergap Malika dari belakang dan membungkam mulut Malika dengan tangan lebarnya, “Ose yang meminta ini, Malika”. Bora berbisik dengan napas memburu di telinga Malika. Malika mengernyit jijik ketika merasakan sesuatu mengeras di belakangnya. 

“Seperti yang kamorang dengar, benar, bayi Ua Maria yang lahir hari ini meninggal sesaat setelah menyentuh tanah pulau,” Ahver memulai. Beberapa warga nampak terkejut. Beberapa mulai bergumam satu sama lain sambil menunjuk ke arah Kinara. Malika melirik Kinara dengan kekhawatiran yang terus memuncak. Ketakutan hinggap dan menjalar ke seluruh tubuh Malika secepat kilat. “Tidak pernah sekalipun hal ini terjadi sebelumnya. Beta bisa memahami kekhawatiran kamorang. Ketika ada kejanggalan, maka katong sebagai penerus roda kehidupan pulau harus segera mengatasinya bagaimanapun caranya!” Pidato Ahver disambut meriah oleh warga. Malika berusaha memberontak tetapi Bora terlalu kuat. 

Ahver menghampiri Kinara. Sebelum Ahver membuka mulutnya, Kinara terlebih dahulu bertanya. “Jika beta menurut, apa ose akan lepaskan Mama?” Malika berusaha memberontak sekali lagi ketika mendengar kata-kata ini, masih percuma. Ahver mengangguk pelan. Malika bisa melihat anaknya itu melemparkan tatapan tajam kepada Ahver. Gadis itu tampak sedang menimbang-nimbang sejenak apakah lawan bicaranya bisa dipercaya. 

Tak berapa lama, Malika bisa melihat Kinara menganggukan kepala tanda persetujuan. Ahver menengok Malika yang sedang mengawasi dari jarak beberapa depa. Tatapannya melembut sepersekian detik. Kemudian ia membalikkan badan dan membisikkan sesuatu di telinga Kinara. Susah payah Malika berusaha untuk mendengar, tapi setiap kata terlumat oleh derasnya ombak dan kasak-kusuk warga. Ahver akhirnya meminta para warga melepas Kinara dari sergapan mereka. 

Melihat Kinara dilepaskan membuat Malika seketika bernapas lega. Ketakutan menjelma menjadi sesuatu yang hangat di dada. Mungkin akhirnya mereka semua tersadar dari kegilaan ini, lalu memutuskan untuk membebaskan putrinya. Syukur, ia pun menghela napas panjang sekali lagi. Badai mungkin sudahlah selesai. 

Tetapi, kenyataan berkata sebaliknya. Apa yang terjadi berikutnya sama sekali tidak bisa diduga oleh Malika. Kinara melemparkan senyum tipis kepada Malika lalu berlari dan meloncat dari tebing. Mulanya Malika tidak paham apa yang terjadi. Tapi, sedetik kemudian perih menghujam bagai belati. Bora melepaskan Malika yang lalu berlari ke pinggir tebing dan meraung-raung menangisi anak semata wayangnya. Ombak terus berdebur dan langit mulai bergemuruh hujan. Pekikan Malika bersatu dengan alam yang bergolak. 

Ahver menghampiri Malika dalam diam. Malika bisa merasakan sentuhan tangan Ahver di pundaknya. Kesedihan itu tiba-tiba saja berubah menjadi sebentuk amarah dan dendam. Malika berlari mendadak ke arah Bora yang terkejut kemudian berhasil merampas parang Bora dari sarungnya. Diayunkan parang itu sambil menangis dan tertawa. Bora mundur teratur. Malika benar-benar sudah gila sekarang. “Malika…” Ahver berusaha menenangkannya. Malika mengacungkan parang itu ke leher Ahver yang kemudian mengangkat tangannya. 

“Diam!” Jerit Malika. “Tutup saja mata ose seperti empat belas tahun lalu,” pandangan mata Malika seperti pisau menembus kepala Ahver. Dalam keadaan ini, warga tidak berani mendekat. Leher kepala desa mereka dipertaruhkan. “Katakan pada dorang, apa yang sudah orang-orang itu lakukan pada beta!” Malika terus mengacungkan parang ke leher Ahver. “Malika, dulu beta bukan siapa-siapa. Sekarang keadaannya sudah berbeda,” jawab Ahver. “Jika benar keadaan berubah, kenapa bukan kelima laki-laki itu yang ose seret ke Tebing Tinggi?”, tuntut Malika. Sebelum Ahver sempat menjawab, Malika tertawa janggal. “Tentu saja, parampuang seperti Malika dan Kinara tidak cukup berharga untuk ose bela. Ose melihat bora dan kawan-kawannya memperkosa beta, tapi ose diam saja. Kenapa bukan kepala dorang yang menggelinding di sini? Kenapa harus ana parampuang beta?!” Pekik Malika. 

“Tahukah ose neraka apa yang beta alami sejak saat itu?” Air mata Malika yang menggenang bercampur menjadi satu dengan hujan. Malika mengenang bagaimana terkejut dan takutnya ia ketika mengetahui bahwa ia hamil sebagai hasil dari perkosaan para lelaki bajingan itu. Malika mengenang betapa usahanya membenci luluh lantak saat pertama kali menggenggam Kinara yang lahir berbeda dan sungguh membutuhkannya sebagai ibu. Malika tertawa. Bahagianya bersumber dari suatu kemalangan. Mungkin sudah nasibnya hidup terkucil. Ialah yang membawa sial bagi Kinara. Kinara adalah korban dari ketidakadilan yang tak pernah terselesaikan. Malika menoleh ke kumpulan warga yang sebagian sedang terkejut. Bora dan kawan-kawannya sudah pergi, tak nampak. Kalaupun mereka tetap di sini, Malika juga tidak yakin bisa melawan mereka sekaligus. Dendam ini ternyata memang harus usai oleh ketidakmampuannya.

Ahver jatuh bersujud. “Maafkan beta, Malika!” Ahver menangis tersedu. Pria ini cuma bisa menangis. Bagaimana mungkin dia akan menghukum kelima pria bajingan yang sedang kabur entah ke mana itu. Yang bisa pria itu lakukan hanyalah memaksa putri tunggal Malika terjun dari Tebing Tinggi. Amarah kembali memuncak, Malika menebas ke arah Ahver. Tapi ia ternyata hanya mampu membuat goresan di pipi Ahver. Malika tertawa lagi menyadari ketidakbecusannya. Dia tidak berdaya dan tidak punya siapa-siapa lagi. “Ahver,” bisik Malika, “Pengecut seperti ose ternyata memang hidup lebih lama”. Malika berlari kencang kemudian meloncat mengikuti jejak putrinya. 

Malika menyerahkan tubuhnya pada ketiadaan. Dia tidak berteriak. Dia hanya diam menikmati detik-detik terakhir sisa hidupnya. Malika melemparkan senyum selamat tinggal ketika sesuatu mencengkram pundaknya dan menghentikan jatuhnya. Ia menoleh ke atas dilihatnya sepasang sayap seperti kelelawar mengepak pelan. Malika terkesiap. Ia mengenali wajah itu. Putrinya masih hidup. Kinara terbang dengan gagah dan menyelamatkannya dari kematian. Benjolan di punggung Kinara telah berganti menjadi sepasang sayap. Putrinya ternyata memang benar-benar Orang Bati yang mereka gunjingkan.

Kinara membawa Malika kembali ke puncak Tebing Tinggi. Dalam hati, Malika berani bertaruh bahwa beberapa orang dari kerumunan penduduk desa pasti sudah pingsan melihat ini semua. Ahver lari terbirit-birit seakan tahu apa yang akan menimpanya. Desa ini memang aneh. Mereka menghabiskan belasan tahun menuding anaknya Orang Bati tapi lari ketakutan ketika rumor yang mereka mulai itu memang benar adanya. Kinara mendaratkan Malika perlahan. “Mama, nelayan yang kuat tidak pernah lahir dari laut yang tenang.” Malika berkaca-kaca mengangguk. Putus asa berlalu seketika mengetahui anaknya tetap hidup. Semistis apapun ia dan seajaib apapun caranya, Malika tidak peduli. 

Kinara lalu meminta mamanya itu memejamkan mata. Malika menurut saja. Sesekali Malika mendengar jeritan suara manusia. Sesekali ia mencium bau anyir dari cairan kental yang terlempar ke arahnya. Malika tertawa dalam diam. Rasakan. Pembalasan dendam memang benar manis adanya. 

 

Ikuti tulisan menarik Tika Widya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler