x

Iklan

Risti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Minggu, 14 November 2021 05:22 WIB

Kebudayaan Suku Sunda

Indonesia, negara kepulauan yang indah dengan keberagaman budaya dan suku-sukunya. Hampir di setiap wilayah di Indonesia didiami oleh bermacam-macam suku yang berbeda. Suku Sunda salah satunya, dengan populasi yang cukup besar di Jawa Barat jika dibanding populasi suku disekitarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KEBUDAYAAN SUKU SUNDA

 

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Budaya Nusantara

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dosen Pengampu: Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn

 

 

 

 

Oleh :

Devita Nela Sari          14148146

Risti Yuliana               14148110

 

 

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT SENI INDONESIA

SURAKARTA

2015

KATA PENGANTAR

 

Puji Syukur mari kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai “KEBUDAYAAN SUKU SUNDA”. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara, semester ganjil program studi Televisi dan Film Institut Seni Indonesia Surakarta. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

 

            Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini tidak lepas dari dukungan, bantuan, dan arahan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penyusun mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

 

Pada akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan yang membutuhkannya serta menjadi amal yang insya Allah baik disisi Allah SWT. Pennyusun menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna karena yang maha Sempurna tetaplah Allah SWT. Maka dari itu, kritik dan saran dari para pembaca tetap diharapkan agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.

                                                                                                           

 

 

 

Surakarta, 25 September 2015

 

 

 

            Penulis

 

DAFTAR ISI

 

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

KATA PENGANTAR..................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

 

 

  1. PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang .................................................................................. 1
    2. Geografis............................................................................................ 2
    3. Sejarah Suku Sunda........................................................................... 3

 

  1. WUJUD BUDAYA
    1. Budaya Ide/Konsep ........................................................................... 5
    2. Budaya Tindakan/Aktivitas................................................................ 8
    3. Budaya Artefak.................................................................................. 18

 

  1. PENUTUP
    1. Kesimpulan ...................................................................................... 23
    2. Saran .................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Indonesia, negara kepulauan yang indah dengan keberagaman budaya dan suku-sukunya. Hampir di setiap wilayah di Indonesia didiami oleh bermacam-macam suku yang berbeda. Suku Sunda salah satunya, dengan populasi yang cukup besar di Jawa Barat jika dibanding populasi suku disekitarnya. Menurut Roger L.Dixion (2000:1) pada tahun 1998, suku Sunda berjumlah lebih kurang 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa Barat. Diperkirakan 1 juta jiwa hidup di provinsi lain. Berdasarkan sensus tahun 1990 didapati bahwa Jawa Barat memiliki populasi terbesar dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia yaitu 35,3 juta orang. Demikian pula penduduk kota mencapai 34,51%, suatu jumlah yang cukup berarti yang dapat dijangkau dengan berbagai media. Kendatipun demikian, suku Sunda adalah salah satu kelompok orang yang paling kurang dikenal di dunia. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sudan di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedi. Beberapa koreksi ejaan dalam komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese.

Berdasarkan survey yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa Suku Sunda tidak begitu dikenal di mata dunia, suku ini dianggap sebagai keturunan orang Sudan dari Afrika. Kekeliruan persepsi tersebut perlu diluruskan, Suku Sunda adalah suku asli dari Indonesia. Tidak berhenti sampai disitu, warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun perlu diperkenalkan kembali agar diketahui dan dilestarikan. Warisan budaya inilah yang nantinya akan mencerminkan jati diri suatu suku bangsa.

Penulis mengangkat topik mengenai Suku Sunda pada makalah ini, yang dibagi dalam 3 (tiga) pembahasan wujud budaya yakni, Budaya Ide, Tindakan dan Artefak; dimana nanti dapat ditemukan warisan-warisan budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sunda.

  1. Geografis

Indonesia memang kaya akan budaya dan tentu saja budaya tersebut terdapat di setiap wilayah di indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Dimana setiap daerah pun memilki luas yang berbeda-beda pula. Sama halnya dengan Suku Sunda yang populasi terbesarnya ada di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5o 50’ - 7o 50’ Lintang Selatan dan 104o 48’ - 108o 48’ Bujur Timur, dengan batas wilayah : sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta; sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia; dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten. (Eka Suhartono, 2014)

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Peta Wilayah Jawa Barat

(Sumber: http://macantua.com/2015/02/03/jawa-barat-sejak-lama-sudah-punya-pembalap-di-motogp/comment-page-1/)

 

Menurut Pandu Prabowo (2012) luas daerah Jawa Barat (Ranah Pasundan) mencapai 4.417.000 ha atau sekitar 35 % dari luas pulau Jawa dan Madura. Daerah ini berbatasan dengan DKI Jakarta dan Laut Jawa di Timur , disebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia dan Selat Sunda yang memisahkan pulau Jawa dan pulau Sumatera.

Masyarakat suku Sunda menyebut wilayahnya dengan sebutan Tatar Sunda, yang lebih familiar dikenal dengan nama Dataran Sunda. Heny Gustini menyatakan, Tatar Sunda merupakan wilayah (tanah, tatar) yang menurut sumber setempat meliputi bagian barat Pulau Jawa, dengan batas sebelah timur, (sampai akhir abad ke-16) adalah Sungai Cimapali (Kali Pemali sekarang), tetapi kemudian batas itu pindah ke sebelah barat Sungai Cilosari. Batas tahun 1513, batas sebelah timur adalah Sungai Cimanuk. Batas sebelah Tatar Sunda berupa laut yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, yaitu disebut Selat Sunda. (Heny Gustini, 2012:115)

 

  1. Sejarah Suku Sunda

Menurut Koentjaraningrat (2002:307) suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat atau Tatar Sunda atau Tanah Pasundan.

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Masyarakat asli suku Sunda

     (Sumber: http://edwin.ilearning.me/wp-content/uploads/sites/332/2013/04/sunda4.jpg)

 

Setiap suku memang tak bisa lepas dari sejarahnya masing-masing. Karena bagaimanapun juga masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang. Sejarah tersebut menjadi seperti sebuah jejak rekam yang kini disebut dengan warisan budaya mengenai proses berkehidupan sosial. Menurut Roger L. Dixion, pada abad-abad pertama Masehi, sekelompok kecil suku Sunda menjelajahi hutan-hutan pegunungan dan melakukan budaya tebas bakar untuk membuka hutan. Semua mitos paling awal mengatakan bahwa orang Sunda lebih sebagai pekerja-pekerja di ladang daripada petani padi. Kepercayaan mereka membentuk fondasi dari apa yang kini disebut sebagai agama asli orang Sunda. Mereka percaya bahwa roh-roh yang menghuni batu-batu, pepohonan, sungai dan objek tidak bernyawa lainnya. Roh-roh tersebut melakukan hal-hal yang baik maupun jahat, tergantung pada ketaatan seseorang kepada sistem tabu tersebut. Ribuan kepercayaan tabu digunakan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. (Roger L. Dixon, 2000: 1)

BAB II

WUJUD BUDAYA

 

  1. Budaya Ide/Konsep
  2. Adat Pengajaran

Manusia lahir memiliki perilaku masing-masing, dan pada dasarnya tidak dapat diubah oleh orang lain melalui pembelajaran apapun. Akan tetapi, perilaku yang kurang baik harus diubah, dan cara mengubahnya dengan belajar. Belajar dapat melalui nasihat, maupun guru, sebab mereka mengajarkan kepada hal-hal yang baik untuk menghindari sesuatu yang akan mengakibatkan kecelakaan, atau yang menimbulkan dosa, durhaka atau kutukan. Menurut Hasan Mustapa (dalam Maryati Sastrawijaya, 1985:4-5) manusia betul-betul menetapi adat yang dibawa kodrat, pasti ada pada setiap orang, yang tidak dapat diubah oleh pengajaran. Adapun yang berhak mengajarinya itu ialah orang yang lebih tua umurnya daripada yang diajari, banyak luangnya, atau banyak pengalamannya, pada hubungan saudara atau famili yang masih dekat, karena famili atau karena menyayangi yang lebih muda umurnya, agar yang dididik itu berhasil menaati perbuatan yang sesuai dengan orang lain.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang berhak memberikan pembelajaran itu ialah orang yang lebih tua umurnya daripada yang diajari, atau yang lebih memiliki cukup banyak pengalaman, bisa juga oleh seseorang yang masih memiliki hubungan saudara, keluarga atau orang terdekatnya, karena biasanya apabila yang memberikan pembelajaran tersebut ialah orang yang dekat dengannya, pembelajaran tersebut akan lebih mudah dipahami dan dipatuhi.

Sesuai dengan peribahasa yang mencontohkan keturunan yang baik, “pantaslah demikian karena anak merak kukuncungan, uyah tara tees ka luhur”. (Maryati Sastrawijaya, 1985:5) Maksudnya ialah apabila perbuatan anak itu baik itu dikarenakan perbuatan atau perilaku ayahnya juga baik. Ayah sudah semestinya akan memberikan pembelajaran yang baik kepada anaknya, dan apabila hal tersebut berhasil merubah perilaku sang anak maka otomatis masyarakat akan memuji orang tuanya.

 

  1. Larangan-Larangan

Bagi masyarakat Suku Sunda, orangtua sering memberikan nasihat berupa larangan - larangan kepada anaknya, tujuannya agar mereka tidak sembarangan melakukan kesalahan atau melanggar sesuatu hal yang dilarang. Hal ini mereka anggap efektif karena anak-anak akan patuh apabila diceritakan sesuatu yang membuat mereka takut.

Orangtua terkadang memberikan nasihat dengan jalan menceritakan para leluhur dan menakut-nakuti dengan sesuatu agar lebih mudah melekat dalam hatinya dan bertambah kepercayaannya, cukup dengan perkataan: jangan melakukan sesuatu yang dianggap tabu, diantaranya: “Tidak boleh bermain pada waktu matahari terbenam, kalau-kalau diganggu setan”; “Jangan makan makanan yang masam-masam pada saat matahari sudah terbenam mengakibatkan ditinggal mati ibunya”; “Tidak boleh melangkahi padi, akibatnya mendapat penyakit yang disebabkan oleh setan”. (Maryati Sastrawijaya, 1985:6-7)

Seperti yang sudah diuraikan diatas, larangan yang diberikan oleh orang tua tidak lebih adalah untuk menasihati anak-anaknya agar mau memperhatikan dan menghormati perkataan yang disampaikan kepadanya. Mereka ditakut-takuti, tujuannya agar ia dapat menyadari bahwa apabila ia melakukan kesalahan akibatnya akan ia tanggung sendiri. Sehingga kedepannya ia dapat menjadi manusia yang beragama, mengetahui baik dan buruk, dan berperilaku sopan; khususnya kepada orang yang lebih tua darinya.

  1. Indung Beurang

Masyarakat Suku Sunda begitu menghormati dan menujung tinggi kaum perempuan. Dalam satu keluarga Sunda, yang paling dijadikan panutan ialah sosok seorang Ibu. Mereka menyebut Ibu dengan sebutan Indung, sedangkan untuk Bapak tidak memiliki sebutan yang lebih tinggi. Menurut Hasan Mustapa (dalam Maryati Sastrawijaya, 1985:191) Siapa yang mendidik anak dari kecil, sekalipun bukan manusia, harus disebut indung (ibu). Apabila menyebutkan orang tua dalam pembicaraan apapun yang didahulukan adalah menyebutkan Ibu kemudian Ayah.

Penyebutan Ibu terlebih dahulu kemudian Ayah menunjukkan bahwa adat Sunda sangat mengatur sopan santun, bahkan dalam pergaulan antara perempuan dengan laki-laki. Dalam berbagai kesempatan atau perbincangan penyebutan perempuan adalah yang didahulukan, setelah itu penyebutan kata-kata laki-laki. Berlaku pula ketika membicarakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau mustahil, yang disebutkan adalah perempuan. Hasan Mustapa menyatakan, Kedua-duanya kalau sudah tua sekali disebut nenek-kakek, kalau masih anak remaja perawan-jejaka, kalau yang sudah pernah berkeluarga disebut janda muda. Adat Sunda lebih kuat kepercayaan kepada perempuan, demikian pula dalam kalimat yang memungkiri mendahulukan perempuan, misalnya perkataan agama: malaikat itu bukan perempuan bukan laki-laki. Misalnya lagi, di suatu kampung yang kosong, perempuan pun tak ada. Ini suatu tanda bahwa dalam kepercayaan tidak pernah disebut kaum lelaki. (Maryati Sastrawijaya, 1985:192)

 

 

 

 

 

  1. Budaya Tindakan/Aktivitas
  2. Bahasa Sunda

Setiap daerah memiliki bahasa sebagai identitas atau jati diri dari suku mana orang tersebut berasal. Bahasa inilah yang menjadi media antara satu orang dengan orang lainnya untuk mengkomunikasikan sesuatu. Untuk memahami suatu maksud yang dikomunikasikan, perlu adanya sebuah bahasa yang sama antar masyarakat. Seperti halnya suku Sunda, mereka memiliki keragaman dialek seperti bahasa Sunda dialek Priangan, Cirebon atau Banten, mereka mengenal pula undak-usuk basa (tingkat tutur). Masing-masing dialek mempunyai kosakata yang khas, lagu bicara sendiri bahkan susunan kalimat yang tersendiri pula, tetapi masih dapat saling memahami satu sama lain (Rosidi, 1984:137)

Menurut Ayip Rosidi, dalam Kongres Bahasa Sunda tahun 1926 diputuskan bahasa Sunda dialek Bandung sebagai bahasa Sunda umum. Tetapi apabila diteliti bahasa Sunda umum tersebut bukanlah bahasa Sunda dialek Bandung melainkan bahasa yang dikembangkan dari bahasa tulisan para ahli dan guru besar, seperti: D.K.Ardiwinata, R.Suriadiraja dan lain-lain. Bahasa tulisan tersebut yang kemudian dikembangkan para pengarang Balai Pustaka dan diajarkan di sekolah-sekolah guru, baik disekolah Raja maupun di sekolah biasa. Salah satu ciri bahasa Sunda umum yang dikembangkan melalui pengajaran di sekolah-sekolah guru dan ciri dalam buku-buku Balai Pustaka itu ialah sangat memperhatikan undak-unduk basa, yaitu tingkat-tingkat sosial penutur (pemakai) bahasa dalam masyarakat. “undak-usuk basa yang terbagi dalam tingkat-tingkat: kasar pisan (sangat kasar), kasar (kasar), sedeng (sedang), lemes (halus), dan lemes pisan (sangat halus) itu, merupakan usaha feodalisasi masyarakat Sunda setelah Tanah Pasundan di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram (Rosidi, 1984: 137-139)

Dijelaskan pula bahwa undak-usuk basa yang feodalistik itu sebelumnya tidak dikenal dalam bahasa Sunda, seperti terbukti dalam naskah-naskah kuno yang ditulis dalam huruf Sunda. Undak-usuk basa mulai terlihat dalam naskah-naskah yang tertulis dalam huruf Jawa dan huruf Arab, yaitu sebagai pengaruh bahsa Jawa setelah Tanah Pasundan dijajah Mataram.

Dayat Harjakusumah mengemukakan, bahwa pada mulanya bahasa Sunda semuanya menggunakan bahasa yang setara, tidak dikenal kasar dan lemes. Hal ini terbukti dari bahasa yang digunakan di masyarakat Baduy di Banten selatan, yang tidak mengenal perbedaan tingkat sosial antara si pembicara dengan lawan bicaranya (Idat A, 1986: 22)

Pada kesimpulannya bahwa penggunaan undak-usuk basa yang kasar maupun tidak itu tergantung pemakai bahasa, penggunaan tersebut tidak secara langsung menunjukkan derajat sosial orang yang memakai atau yang saling berkomunikasi. Undak-usuk basa sebenarnya lebih kepada sopan-santun kepada lawan bicaanya,  yang bergantung pada perbedaan umur orang yang berbicara dengan orang yang diajak berbicara.

 

  1. Upacara Pernikahan

`           Pernikahan merupakan sebuah momen yang sakral mengenai bersatunya laki-laki dengan perempuan dalam suatu ikatan yang sah. Masyarakat suku sunda melaksanakan pernikahan melalui beberapa tahapan yang cukup panjang, masyarakat ini memegang kuat tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur. Maka upacara pernikahan harus betul-betul dipersiapkan secara matang jauh-jauh hari. Berikut adalah tahapan upacara pernikahan suku Sunda menurut Suciati dalam makalahnya yang berjudul Simbol Dan Makna Upacara Pada Perkawinan Masyarakat Suku Sunda, tahapan-tahapan yang dilakukan pada upacara pernikahan sebagai berikut:

  1. Upacara sebelum pernikahan

Neundeun omong (berjanji), mengadakan perjanjian antara orangtua si bujang kepada orangtua si gadis. Pada dasarnya upacara ini dilaksanakan setelah kedua belah pihak mempunyai kebulatan tekad dan tersedianya bahan dan biaya untuk melangsungkan perkawinan nanti sebab antara melamar dan pernikahan jangka waktunya tidak lama.

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3. Keluarga dari pihak lelaki dengan perempuan berkumpul untuk mengikat janji (Sumber:https://41.media.tumblr.com/35d359aeb9db49216c2a087a3382ed47/tumblr_inline_nswm31XuJh1txd58r_540.jpg)

 

Ngalamar / nyeureuhan / nanyaan (meminang), orangtua si bujang meminta anak gadis dari orang tuanya dengan cara bertanya apakah si gadis masih bebas atau sudah ada orang yang memintanya atau belum bertunangan dengan orang lain. Seandainya masih bebas lalu secara halus ditanya rela tidaknya bila dipertemukan atau diperistri oleh anaknya.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4. Prosesi lamaran adat Sunda

       (Sumber: https://umarat.files.wordpress.com/2012/05/lamaran-212.jpg)

 

 

Papacangan (tunangan), si gadis dan si bujang bergaul sewajarnya untuk saling mengenal. Pergaulan keduanya agak diperlonggar meskipun tetap dalam pengawasan orang tua kedua belah pihak.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5. Tunangan dalam adat Sunda

(Sumber: http://www.muslimahcorner.com/wp-content/uploads/2015/05/tunangan.jpg)

 

 

Seserahan (menyerahkan), menyerahkan si bujang calon pengantin laki-laki kepada calon mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Upacara dilaksanakan 1 atau 2 hari sebelum hari perkawinan. Dalam upacara ini diserahkan pula barang bawaan (bingkisan) untuk calon pengantin perempuan. Barang itu berupa uang, pakaian perempuan, perhiasan, ditambah pula sirih, pinang, kue, beras, ternak, buah-buahan, kayu bakar, juga peralatan dapur dan rumah tangga.

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 6. Seserahan yang diberikan kepada calon mempelai wanita (Sumber: https://catatannina.files.wordpress.com/2014/04/img-20111119-00374.jpg?w=630&h=472)

Helaran (iring-iringan), calon pengantin pria dengan iring-iringan dari suatu tempat yang telah ditentukan menuju ke rumah calon pengantin wanita. Iring-iringan rombongan calon pengantin pria dijemput oleh calon pengantin wanita sebagai simbol saling menghargai.

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 7. Upacara Pernikahan Suku Sunda

(Sumber: https://putrifitrianys.files.wordpress.com/2013/10/sunda.jpg)

 

Ngeuyeuk seureuh (menyiapkan sirih pinang), dilaksanakan malam hari sehari sebelum hari perkawinan. Yang melaksanakan adalah wanita yang telah berumur dipimpin wanita ahli dalam upacara dibantu laki-laki yang juga harus berumur bertugas membacakan do’a dan membakar kemenyan. Banyaknya pelaksana upacara harus kelipatan 7 karena dianggap bertuah dan baik. Wanita yang belum kawin, wanita yang sering kawin dan wanita yang tidak pernah datang bulan serta anak-anak tidak diperkenankan hadir. Maksud nya adalah kerinduan seorang wanita dan pria yang sedang dilanda asmara akan berakhir setelah terlaksananya pernikahan setelah mereka bersatu sebagai suami istri bagaikan lumatnya sirih, kapur sirih, gambir, pinang dan tembakau pada saat ngalemar (makan sirih).

Siraman (memandikan calon pengantin), dilakukan sehari sebelum hari pernikahan Memandikan calon pengantin dengan bunga setaman antara lain melati, mawar, pacar banyu, ceplok piring, dan soka oleh orang tua dan keluarga yang dituakan.

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 8. Prosesi siraman

(Sumber: http://www.datasunda.org/pl/SUNDA-JPG-DOWNLOAD-ID.php?level=picture&id=999)

 

 

  1. Upacara pernikahan

Akad nikah (ijab kabul), diambilnya ijab dan kabul dari calon pengantin pria dengan wali calon pengantin wanita serta penyerahan mas kawin sebagai tanda syahnya perkawinan.

 

 

 

 

 

 

Gambar 9. Pernikahan adat sunda

(Sumber: http://bimg.antaranews.com/jambi/2012/03/ori/zumi_3.jpeg)

 

Munjungan (Sungkem), dilakukan kedua mempelai kepada orang tua serta keluarga yang lebih tua (pinisepuh) sebagai bakti dan terima kasih atas bimbingan dari lahir sampai ke perkawinan serta mohon do’a restu dalam membangun kehidupan rumah tangga yang baru agar selalu mendapat berkah Tuhan.

Sawer (menabur), dilaksanakan di luar rumah (panyaweran) dipimpin juru rias atau juru sawer. Adapun bahan-bahan sawer yang diperlukan adalah: beras putih lambang kehidupan bahagia, kunyit lambang kemuliaan, bunga atau rampai lambang keharuman nama baik rumah tangga, uang logam lambang kekayaan, payung lambang kewaspadaan, sirih yang digulung berbentuk cerutu berisi gambir, kapur sirih, pinang, tembakau lambang keterpaduan suami istri, serta permen lambang manis budi dan ramah tamah. Sajak yang dilagukan adalah syair nasehat bagi mempelai dari sekar macapat yaitu Dandanggula, Kinanti, Sinom, Asmarandana.

Nincak endog (injak telur), upacara yang melambangkan cara berkomunikasi atau pergaulan suami istri dalam kehidupan sehari-hari.

Buka pintu, upacara yang melambangkan percakapan kedua mempelai di dalam rumah yang mengandung petuah atau nasehat dilakukan oleh juru rias atau juru sawer.

Huap lingkung (saling menyuapi), kedua mempelai duduk bersanding saling meladeni makan dengan cara bersilang atau saling menyuapi pada saat bersamaan menandakan saling mencintai.

 

  1. Upacara setelah pernikahan

Numbas (menebus), upacara selamatan sebagai bukti mempelai wanita masih perawan dan mempelai pria adalah pria yang sehat.

 

 

 

  1. Ruwatan

Salah satu upacara tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat Sunda adalah upacara Ruwatan. Menurut Heny Gustini, (2012:140) Ruwatan berasal dari kata “ruwat” dan mendapatkan sufiks-an. Kata “ruwat” mengalami gejala bahasa metafesis dari kata luwar, yang berarti terbebas atau terlepas. Tujuan diselenggarakannya upacara ruwatan adalah seseorang yang “diruwat” dapat terbebas atau terlepas. Dari ancaman bahaya (malapetaka) yang melingkupinya.

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar  10. Upacara Ruwatan

(Sumber: http://www.kotasubang.com/wp-content/uploads/2013/10/subang-ngaruwat-banceuy1.jpg)

 

Hal tersebut dimaksudkan untuk menghalau penyakit dan wabah, ataupun menyembuhkan seseorang dari suatu penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara langsung oleh ahli kedokteran. Biasanya dalam upacara ini akan dibacakan mantra-mantra untuk mengusir penyakit tersebut.

Adapun pada upacara ini memiliki syarat-syarat tertentu, tetapi hal ini bukan merupakan sesuatu yang baku karena tergantung kemampuan masing-masing penyelenggara ruwatan. Menurut Heny Gustini, (2012:147-148) syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:

Perlengkapan berupa Padi, Kelapa berjumlah ganjil, Satu kendi air tape ketan, Bubur beras putih dan Merah, serta berbagai macam sesajen. Pelengkapnya berupa air dalam bokor diisi dengan tiga buah uang logam (perak atau tengahan, uang masa lalu), tikar baru digulungkan didalamnya bantal kain, padi dua ikat,(geugeus), kelapa satu manggar, dua pohon pisang beserta buahnya, batangan tebu kuning beserta daunnya, dan berbagai macam dedaunan.

Munjung ke Makam Leluhur, sebelum melakukan upacara ruwatan, biasanya para sesepuh desa akan berziarah ke makam leluhur untuk memohon berkah dan keselamatan dalam melaksanakan ruwatan.

Menurut Yono Karyono (2013) ruwatan memiliki berbagai jenis, salah satunya adalah Ruwatan Bumi. Tradisi ruwatan ini dilakukan untuk melepaskan segala bala dan belenggu dari kutukan bawaan dari tanah (lahan pertanian) sebelum mereka olah. Petani menurut adat setempat melarang dengan tegas jika ada seorang petani yang menggarap lahan sawahnya sebelum diadakannya tradisi ngaruwat bumi dilakukan.

 Yono Karyono menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul Ngaruwat Bumi di Kabupaten Subang apabila ada salah satu petani yang melanggar maka petani tersebut akan celaka. Biasanya petani yang mendahului menanam padi sebelum dilaksanakannya acara ruwatan, tanaman padinya tersebut akan terserang hama tikus, burung dan hama-hama yang lainnya yang bersifat merugikan. Yono juga menambahkan kegiatan ruwatan yang diadakan di daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat  meliputi:

Mengadakan penggalangan dana untuk biaya ruwatan. ( Gotong royong ) biasanya sekitar Rp 10.000 – Rp 25.000 tergantung kemampuannya, dan untuk yang kurang mampu tidak dipungut biaya.

Menyewa hiburan berupa wayang kulit atau wayang golek untuk memeriahkan acara ruwatan. Acara tersebut biasaya ditujukan untuk menghibur masyarakat agar datang dan senantiasa berkumpul bersama dalam satu acara ngaruwat bumi.

Masing-masing kepala keluarga membuat nasi tumpeng atau masyarakat petani setempat menyebutnya dengan “congcot” atau “nyongcot” berupa nasi berbentuk kerucut yang pada atasnya di beri telur bulat utuh kemudian nasi congcot tersebut dikumpulkan di atas meja berukuran panjang pada saat acara dimulai. Nasi congcot berbentuk kerucut tersebut kemudian diambil masing-masing satu sendok nasi dan dicampur dalam sebuah wajan besar yang pada akhirnya nasi tersebut dimakan secara bersama-sama.

Menggantungkan jenis-jenis hasil bumi di depan pekarangan Rumah atau di gang. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat petani yang ada di Kabupaten Subang satu minggu atau tiga hari sebelum kegiatan tradisi ruwatan dimulai. Jenis-jenis hasil pertanian yang digantungkan di depan gang atau depan pagar rumah biasanya umbi-umbian, buah-buahan, sayur-sayuran bahkan adapula yang menggantungkan beberapa jenis barang seperti rokok dan makan ringan.

Berbagai macam jenis hasil pertanian tersebut kemudian digantung dengan seutas tali ke atas ruas ampong dan dihias masing-masing buah berjumlah satu dan berbeda-beda atau bermacam-macam jenis hasil pertanian dan diambilnya secara rebutan pada waktu arak arakan (Rombongan mengelilingi ampong yang biasanya dipimpin oleh kepala desa)

 

 

 

 

 

Gambar 11. Hasil Pertanian yang digantungkan

(Sumber: http://i.ytimg.com/vi/IuTBW4dh6D0/maxresdefault.jpg)

 

 

Berbagai jenis sesaji pada saat acara ritual dimulai. Proses ini merupakan proses puncak dimana pada proses ini dilakukan beberapa kegiatan inti seperti sambutan-sambutan, maksud dan tujuan diadakannya kegiatan tradisi ini dan ditutup dengan do’a.

 

  1. Budaya Artefak
  2. Ukiran (Motif atau Ragam Hias Pajajaran)

Suku Sunda memiliki peninggalan berupa ukiran dengan motif Pajajaran. Motif ini berasal dari kerajaan Pajajaran, kerajaan Sunda tertua. Menurut Muhammad Azrorry (20112) peninggalan yang masih sampai sekarang banyak terdapat di Makam Sunan Gunung Jati. Dalam ragam hias ini kelihatan bentuk-bentuk yang bulat karena semua bentuk ukiran di ekspresikan bulatan atau cembung. Ragam hias Pajajaran terdiri dari:

Daun pokok, adalah daun pokok atau relung besar dibuat cembung atau bulatan. Hal ini perkasanya sifat ragam hias.

Angkup,  motif atau ragam hias ini dibuat cembung atau bulatan. Pada tangkai angkup biasanya tumbuh trubusan di bagian atas.

Cula, pada ragam hias / motif ukir Pajajaran ini terdapat bentuk daun kecil yang tumbuh di muka daun pokok atau relung besar. Bentuk ini merupakan ciri atau corak khusus yang menunjukkan bahwa di daerah Jawa Barat terdapat binatang yang memiliki cula yakni binatang badak.

Endhong, pada Motif ukir Pajajaran terdapat daun yang tumbuh dibelakang daun pokok, bentuknya bersusun-susun dari bawah sampai keatas daun pokok. Bentuk ini bersifat sebagai pengisi bidang-bidang kosong.

Simbar, terletak pada daun pokok depan, tepatnya di belakang benangan yang ditumbuhi daun kecil-kecil yang berjajar dari bawah ke atas yang lazimnya disebut dengan simbar. Bentuk ini digunakan untuk lebih menambah wibawa dari ragam hias ukiran Pajajaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 12. Motif Pajajaran

(Sumber: http://bloggazrorry.blogspot.co.id/2012/12/motif-motif-ukir-tradisional-dan.html)

 

Benangan, pada motif ini memiliki bentuk miring, dari bawah sampai menuju ke atas kemudian berhenti pada bentuk ulir pokok.

Pecahan, pada motif ini sebagaimana lazimnya motif ukir, pecahan merupakan pemanis atau menambah luwesnya bentuk daun yang sudah dipecahi.

Trubusan, adalah daun-daun kecil yang tumbuh di sekitar daun pokok, juga bersifat pelengkap atau pengisi dari bidang-bidang yang kosong.

 

 

 

  1. Kain Tenun Majalaya

Kain tenun majalaya  adalah kain tenun yang berasal dari daerah majalaya.

Gambar 13. Desain kain sarung Majalaya

(Sumber : Fifi Sefrina, ITB-1981)

 

Selain kain sarung diatas masyarakat juga memproduksi kain putihan (kain polos) yang kemudian berkembang menjadi kain kasur. Bentuk motif Sarung Majalaya merupakan cerminan dari bentuk sosial, budaya, falsafah hidup, dan adat-istiadat orang-orang melayu.

 

  1. Alat Musik Tradisional (Angklung)

Sunda memiliki berbagai macam alat musik khususnya yang terbuat dari bambu, salah satunya adalah angklung. Menurut Prayudi dalam makalahnya yang berjudul Makalah budaya dan kebudayaan sunda, angklung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

 

 

 

 

 

 

Gambar 14. Alat musik tradisional Angklung

(Sumber: http://indonesiaindonesia.com/f/90506-alat-musik-tradisional-angklung/)

 

Prayudi juga menjelaskan tentang jenis-jenis Angklung sebagai berikut:

Angklung Kanekes, angklung yang dimainkan ketika akan menanam padi diladang. Selama kurang lebih enam bulan semenjak penanaman padi, semua jenis kesenian yang tidak berhubungan dengan alat musik angklung kanekes tidak boleh dimainkan. Boleh dimainkan pada musim penanaman padi berikutnya.

Angklung Dogdog Lojor, angklung jenis ini yang dimainkan apabila musim panen telah tiba, sebagai bentuk penghormatan atas rejeki yang didapatkan.

Angklung Badeng, Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagaialat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut . Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam.

Angklung Padaeng, adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam ensmabel dengan alat musik internasional lainnya.

Angklung Sarinande, adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8angklung (nada Do sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada solrendah hingga mi tinggi).

Angklung Toel, diciptakan oleh Kang Yayan Ujo sekitar tahun 2008. Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.

Angklung Sri-Murni, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Pemahaman tentang suku Sunda pada zaman ini merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan yang bersifat tradisional. Karna dalam keberagaman budaya suku sunda terdapat berbagai wujud kebudayaan dan benda fisik dari kebudayaan yang ada dan dengan demikian sebagai generasi selanjutnya atau untuk generasi saat ini hendaknya mengamati sekaligus menjaga kekhasan budaya dalam daerah sendiri. Sehingga baik itu kesenian maupun kebudayaan tetaplah terjaga selama puluhan tahun dan tidaklah hilang tergerus oleh perubahan zaman.

  

  1. Saran

Sebagaimana menjadi masyarakat indonesia yang terkenal akan budayanya, hendaknya kita sebagai mayarakat harus menjaga dan melestarikan kebudayaan sendiri dengan semangat dan teguh. Jangan sampai menghilangkan kebudayaan kita yang telah di wariskan oleh nenek moyang secara turun temurun.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BUKU :

Maryati Sastrawijaya. 1985. Adat Istiadat Orang Sunda. Bandung: Alumni

Heny Gustini. 2012. Studi Budaya di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia

Edi S. Ekadjati. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: PT.

Girimukti Pasaka

 

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :

Djambatan.

 

MAJALAH :

Idat A. Djayasudarma. “Studi Kasus Undak-Unduk Basa Sunda: Pangrewong Kana sabagian makalah Ajip Rosidi”, terhimpun dalam Majalah Basa Sunda: Mangle, No.1055/Th.XXIX, 7-13 Agustus 1986:22-214

 

MAKALAH :

Pandu Prabowo. 2012. Sejarah Suku Sunda. Diakses dari http://sejarahwew.blogspot.co.id/2012/11/sejarah-suku-sunda pada tanggal 24 September 2015 Pukul 07:57 WIB

Prayudi Kennedy. ____. Makalah budaya dan kebudayaan sunda. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/142968057/Makalah-Alat-Musik-Tradisional-Dari-Jawa-Barat#scribd pada tanggal 21 September 21.21 WIB

 

Etty N. Anwar. 2009. Peran Candoli dalam Perhelatan (Suatu Fenomena Keyakinan Orang Sunda). Makalah. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

 

Suciati. _____. Simbol Dan Makna Upacara Pada Perkawinan Masyarakat Suku Sunda. Makalah. Prodi Pendidikan Tata Busana JPKK FPTK UPI

 

INTERNET :

Yono Karyono. 2013. Ngaruwat Bumi di Kabupaten Subang. Diakses dari http://www.mangyono.com201303ngaruwat-bumi-di-kabupaten-subang.html pada tanggal 24 September 2015 Pukul 08.03 WIB

Eka Suhartono. 2014. Etnografi Sunda. Diakses dari http://antropologimakassar.blogspot.co.id/2014/02/etnografi-sunda.html pada tanggal 24 September 2015 pukul 10.00 WIB

Muhammad Azrorry. 2012. Motif-Motif Ukir Tradisional. Diakses dari http://bloggazrorry.blogspot.co.id/2012/12/motif-motif-ukir-tradisional.html pada tanggal 23 September 2015 17.45 WIB

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Risti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler