x

Iklan

Jaka Junie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Minggu, 14 November 2021 16:24 WIB

Pencarian Isabel

Pencarian Isabel di kota Stepnakert, kota yang dilanda perang saudara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah beberapa bulan ini kota Stepnakert seperti kamar mayat sementara. Tiap hari selalu saja ada korban dari serangan udara. Tak ada tempat lapang di kota ini, semua yang bergerak akan terdeteksi pesawat pembom. 

Mikhail mendadak pucat. Sesuatu yang menyakitkan di benak Mikhail. Asap dari rudal yang dilepaskan membekas di langit. Dentuman bom masih terjadi. Beberapa kali sebuah mobil polisi dengan pengeras suara mendesak orang - orang untuk berlindung secepat mungkin. Suara sirene itu hampir cukup keras untuk dapat didengar sampai ke lorong - lorong bunker tempat kami berlindung. 

Kebanyakan penduduk melarikan diri ketika pasukan Yeshov menguasai seluruh delta sungai Irtysh pada dua bulan terakhir. Tak terkecuali aku dan Mikhail, aku kehilangan Isabel dan Mikhail mendapati bahwa kelompok pemberontak itu mengubah rumahnya menjadi berantakan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku menatapnya dengan sedih. "Ketika kami datang ke sini, kami mendapati rumahmu sudah hancur, isinya tercecer keluar," kataku. "Yah, ada baiknya kau tahu sejauh yang kuceritakan kepadamu. Aku tak bisa ceritakan semua," terangku. Mikhail duduk termenung dan memandang perabotan yang berserakan. 

Awalnya kami hanya di depan rumah, tapi ketika mencium bau busuk, Mikhail memeriksa seluruh ruangan. Saat memeriksa pekarangan, Mikhail tercengang tak percaya. "Astaga...apa yang mereka lakukan?". Mikhail mendapati pekarangannya berubah jadi kuburan massal.

Krisis berkecamuk panjang antara Azerbaijan dan pasukan Yeshov. Mereka memperebutkan wilayah sengketa. Dua puluh tahun lalu terjadi gesekan di antara mereka, sempat mengumumkan gencatan senjata. Tapi tidak ada kesepakatan di antara mereka. Tahun ini konflik itu terjadi kembali. Kedua belah pihak saling mengerahkan tembakan artileri berat, menyebabkan beberapa rumah serta bangunan di wilayah masyarakat sipil hancur. Selama tiga hari berturut - turut, sebuah jembatan dihancurkan oleh pasukan Yeshov untuk menghentikan gerak maju militer Azerbaijan. 

"Cuma satu tempat, Nik," kata Mikhail.

"Berapa sering kita mengecek ke sana? Terperangkap di dalam?" Aku tak percaya. "Istriku tidak mungkin di dalamnya". Harapanku untuk menemukan istriku semakin tipis. Kami terpisah tiga bulan yang lalu saat pasukan Yeshov memborbardir kota Stepnakert. 

Aku harus menunggu saat malam berhantu. Datang sekali lagi ke rumah Ilya untuk melakukan apa yang telah direncanakan yaitu meminjam jeep Ilya untuk mencari Isabel. "Bila perlu, aku akan mencurinya. Karena yang aku tahu, Ilya sudah meninggalkan kota ini dua bulan lalu."

"Kau sedang sakit parah. Kau harus berbaring, tubuhmu tidak memungkinkan untuk melakukannya saat ini," ujar Mikhail. "Istirahat? Kau tahu sendiri, aku terperangkap di sini. Aku kehilangan Isabel." 

"Apa kau sudah gila? Apa kau tidak mendengar bom - bom itu?" 

"Aku akan mencuri jeep itu,"desakku. 

"Pelankan suaramu, kau akan membahayakan kami di sini". 

"Tetapi..."

Seseorang dari kami yang sama - sama berlindung di bunker memberi isyarat untuk diam karena pasukan arteleri sedang melintas. 

"Aku akan berhati - hati," janjiku kepada Mikhail.

Malam semakin larut. Aku bergegas menaiki tangga dan keluar dari bunker persembunyiaan. Aku lihat di jalanan tak nampak apapun. Mereka, pasukan arteleri itu tentu belum pergi terlalu jauh dari jalanan ini. Aku harus hati - hati. 

Jalanan seperti berhantu, tak banyak lampu yang dinyalakan. Kalaupun menyala, sudah pasti ada segerombolan tentara. Aku merayap dengan hati - hati ke rumah Ilya. Rumahnya sepi.. Tidak ada pembantu yang menjaga rumah ini. Lampunya padam saat aku masuk ke pekarangannya. 

Aku mencari jalan ke garasi. Meraba- raba mencari kunci pintunya, mencari tombol lampunya. Aku menemukan tombolnya lalu memutarnya. Aku kaget setengah mati, sessorang menodongkan senjatanya ke arahku. 

"Nikita!" seru bibi Eloise, melihatku merayap - rayap seperti pencuri. Syukurlah, aku pikir tentara yang aku hadapi. "Kau masih ada di kota ini?" tanya bibi Eloise "Aku terpisah dengan Isabel, isttku. Selama tiga bulan ini aku bertahan di kota ini mencarinya," terangku. "Engkau sendiri tidak pergi dari kota ini?" 

Bibi Eloise menggeleng. "Kukira lebih baik bertahan di rumah ini, dan mempertahankan rumah ini". 

 " Kau harus berhati - hati, Bibi"

"Ya, aku tahu. Lalu tujuanmu ke sini?"

"Aku mau meminjam jeep. Aku akan mencari Isabel lebih jauh". 

"Terlalu banyak hal - hal yang menghilang, sebaiknya kau berhati - hati," ucap bibi Eloise sambil memberikan kunci jeep. Aku membungkuk kepadanya, isyarat rasa terima kasihku. 

Aku bergegas keluar, dan membawa jeep menjemput Mikhail di tempat yang sudah direncanakan. Malam semakin dingin, meninggalkan selapis tipis es yang membeku di kap jeep. 

Jalan menuju kota terdekat menunjukkan bukti bekas pertempuran antara militer Azerbaijan dan pasukan Yeshov, yang berlainan jalan politik. Di sana, bangunan -bangunan roboh akibat serangan udara. 

Hujan mulai turun. Tetesnya yang deras mengetuk kaca jeep yang kukendarai. Aku tersedu-sedu. jadi ingat sesuatu. Buru-buru Mikhail menyadarkanku. "Malam ini diramalkan akan ada badai," kata Mikhail. "Aku sudah menyiapkan bekal untuk kita", tambahnya. 

Aku gemetar kedinginan, mencoba mencari posisi nyetir yang pas. Malam ini aku harus terjaga. Rawan maling di jalur ini. Kami susah payah berusaha melintasi jalur ini, jalan yang berlumpur, yang hampir mustahil untuk dilewati, serta gelapnya malam. Berbahaya sekali jika kami bertemu dengan pasukan Yeshov. Aku bahkan tidak berhenti untuk meminta maaf ketika menyerempet pengemis di ujung sungai. Semenjak krisis politik, semakin banyak saja pengemis di jalanan. Mereka tidak berani lagi pulang ke rumah semenjak pasukan Yezhov menjadikan desa mereka jadi tempat pertempuran. Aku merasa wajib menjaga mesinnya terus hidup. Agar kami tidak terjebak oleh mesin jeep butut ini. 

DUG..DUG!! Sosok misterius menggedor. Mikhail terbangun kaget. Terdengar gebrakan dari luar jeep kami. Tangan Mikhail bersiap-siap dengan senapan. "Siapa itu?" teriaknya. "Kuperingatkan, kami bersenjata," tambah Mikhail. Sunyi sesaat.

Wajahnya nyaris tersembunyi dibalik rambut panjangnya yang awut-awutan. Mikhail keluar dan menodongkan senapan pada sosok misterius itu. Dia membungkuk membelakangi kami berdua dan sepertinya berusaha menjauh. Sepertinya takut dengan Mikhail yang memegang senapan. Dibalik rambutnya yang awut-awutan tersembul tanda lahir yang terlihat jelas.

"Isabel..", teriakku dari dalam jeep. "Isabel..". Mikhail kebingungan, sepertinya tak mendengar teriakanku.

Dia semakin jauh. Aku dan Mikhail mengejarnya.

Perlu tiga puluh detik bagi kami menangkap sosok misterius itu. Aku mengejarnya, meraih tangannya, mendadak ia mengigit peganganku. Tapi aku tak melepaskannya. "Isabel...Isabel...ini aku Isabel" teriakku berusaha menenangkan. Sosok itu akhirnya menunjukkan wajahnya. Ternyata bukan. Aku salah orang. 

"Apa yang harus kita lakukan, Nik?" Mikhail sambil berpikir. "Aku harus berani mengambil resiko. Kita harus pergi ke Nagorno." jawabku. "Tapi bagaimana kita akan melintasi penjagaan tentara Azerbaijan?" 

"Kita harus masuk diantara para pengungsi", tegasku. "Baiklah kita harus tinggalkan jeep ini, dan mengikuti mereka," ucap Mikhail. "Yah, kita harus tinggalkan jeep ini di sini". 

Gerimis masih turun. Malam semakin menusuk ke tulang ketika kami sampai di Nagorno. "Jangan menghalangi" teriak seorang petugas entah kepada siapa. Seseorang berlari dari arah depan. Melintasi kami dan menabrak hingga Mikhail sempat terhuyung. Beberapa petugas terlihat mengejar orang itu. Tak jauh dari situ, suara tembakan terdengar. Aku memberi isyarat kepada Mikhail supaya tetap jalan dan tak menggubris tembakan itu.

Di ujung penjagaan terdapat sebuah pintu dan sebuah lampu tanpa kap bersinar terang. Menyoroti kami semua yang ingin masuk ke Nagorno. Setelah melewati penjagaan, aku lihat sebuah tempat ruang gawat darurat bagi mereka yang terluka akibat peperangan. Sekilas aku melihat perempuan yang mempunyai rambut seperti Isabel. Mikhail sudah terlebih dahulu memegang tanganku, memberi kode supaya jangan gegabah bertindak. Aku berhenti sejenak, penasaran apa benar perempuan itu Isabel. Aku hampir merasa yakin. 

Mikhail berinisiatif mengalihkan perhatian penjaga. Segera aku bersiap - siap. Aku berlari menyelinap ke tempat itu setelah Mikhail berhasil mengalihkan perhatian penjaga. 

Aku menunggu situasi yang memungkinkan untuk mengetahui bahwa dia adalah Isabel. Di ruang yang agak sepi, aku mendapati perempuan itu. Perempuan itu berambut pirang, berumur kira - kira tiga puluh lima, tak terlalu gemuk juga tak terlalu kurus. "Maaf nona," aku memanggilnya dengan hati - hati. Ia sepertinya tidak mendengarku. "Maaf nona. Aku harus segera mendapatkan perawatan. Seorang temanku terluka berat di ujung sana". 

Ia menunjukkan wajahnya. Terkejut, aku pun terkejut. "Isabel," pekikku lirih. "Nikita". Aku memeluknya. Aku memeluk istriku. Keadaan semakin genting, tembakan demi tembakan terdengar di malam itu. Aku menarik lengan Isabel. Menyelamatkannya, membawanya ke kota yang lebih aman. 

Ikuti tulisan menarik Jaka Junie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu