x

Iklan

Astria Sastra Dewi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Senin, 15 November 2021 16:13 WIB

Sisi Seberang

Bukan dunia namanya jika tak memiliki dua hal yang berseberangan. Semacam siang dan malam, putih dan hitam, terang dan gelap, yin dan yang. Cerita ini mengisahkan seorang gadis yang ada di sisi lain dari takdir cerah milik gadis yang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pujian datang bertebaran pada seseorang. Seseorang lainnya mendelik malas sambil lalu. Kalau tidak salah ada sesuatu yang disebut efek pygmalion, di mana intervensi berupa perkataan dan ekspektasi seseorang mempengaruhi condongnya neraca hidup seseorang yang lain. Adalah Amanda, seorang kembang desa rupawan baik tampilan maupun tutur katanya yang bisa membuat setiap yang berakal akan merasa dosa jika tak memuji. Lahir di keluarga terpandang yang berada, membuatnya disambut bak pewaris takhta. Tidak ada gerak-geriknya yang tak diabadikan kamera dan tidak ada sedikit pun pencapaian yang tak dibuat perayaannya. Ke mana pun ia memandang akan selalu ada satu atau lebih senyum untuknya. Intinya, dia tumbuh dengan penuh cinta.

Namun bukan dunia namanya jika tak memiliki dua hal yang berseberangan. Semacam siang dan malam, putih dan hitam, terang dan gelap, yin dan yang, ada gadis lain di desa itu yang selalu berjalan di belakang perhatian orang-orang. Dia, gadis bernama Yulia, adalah perwujudan dari apa yang bukan Amanda. Saking bertolak belakangnya, sampai-sampai Yulia menganggap Amanda sebagai objek yang tak bisa dijadikan sumber iri. Gadis itu seperti makhluk dari dunia lain, dunia yang bukan miliknya. Lucu jika melihat bagaimana orang-orang di desa itu selalu memberikan perhatiannya pada orang yang lebih sejahtera, sementara mereka menutup mata dan hilang peduli pada dia yang sejatinya serba kekurangan.

Maka pada hari itu, saat desa yang dianugerahi seorang Amanda itu sedang mempersiapkan perayaan, Yulia hanya mendelik malas sambil menjauh ke tempat yang lebih tenang, maksudnya ke tempat yang tidak ramai pujian, karena si tuan putri itu baru saja menyelesaikan bunga kertas pertamanya yang akan dijadikan hiasan. Demi Tuhan dirinya sendiri sudah menyelesaikan sepuluh bunga kertas, tapi siapa peduli? Sebutir berlian akan jauh lebih diagungkan dari pada segunung batu. Padahal sama-sama benda alam, sama-sama dari kedalaman, sama-sama kotor pada awalnya. Tapi manusia memoles dan membentuknya sedemikian rupa, sehingga yang bersinar semakin bersinar dan yang buram semakin buram.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Hei! Yulia! Bungamu ini tidak simetris! Lebih serius lah kerjanya!” adalah awal sakit kepala bagi seorang Yulia. Dia yang sedang berjongkok damai di sisi gedung yang mereka pakai perlahan menoleh dengan malas, mencoba mencerna kalimat kritik dan perintah yang baru saja menembus telinganya. Gadis-gadis lain mulai menghampirinya saat dia berkata, “Memangnya bunga di alam selalu simetris?” Lalu dia mengedikkan dagu pada bunga kaca piring di hadapan mereka yang kelopaknya awut-awutan, dan si lawan bicara pun naik darah.

“K-kamu itu ya!”

“Ada apa ini?”

Ah, yang paling tidak diinginkan Yulia akhirnya muncul. Gadis-gadis di sana langsung memberi jalan pada si tuan putri untuk masuk ke arena konflik. Yulia terkekeh kecil saat mendengar manusia yang tadi membentaknya kini bicara dengan nada lembut untuk menjelaskan situasi pada Amanda. Status sosial memang mengerikan, ia bisa mengubah sikap manusia seenaknya. Lalu saat si tuan putri bersabda, “Menurutku Susi benar, kalau bunganya tidak rapi nanti tidak bagus dilihat, ini untuk hiasan panggung, jadi usahakan buat sebaik mungkin.” Nyaris semua yang ada di sana tersenyum dan mengangguk. Yulia menatapnya dengan ekspresi datar, otaknya sedang memikirkan sesuatu dan sebelum orang-orang berbalik pergi, dia berdiri dan memutuskan berkata, “Maaf sebelumnya, tapi, menurutku tidak efektif kalau harus repot membuat hiasan bunga dengan rapi. Toh bunga-bunga kertas itu akan ditempel sebagai latar panggung, jadi tidak begitu jelas terlihat dari jauh. Jadi lebih baik kita fokus pada jumlah agar pekerjaannya cepat selesai.”

Wow, pertama kalinya dia bicara banyak seperti itu terlebih lagi di depan si tuan putri. Namun seperti yang sudah dia perkirakan, pendapatnya malah mendapat pelototan dari beberapa gadis di sana. Lalu di sinilah dia, terpisah dari yang lain di sudut ruangan mencoba sebaik mungkin membuat bunga kertas, walau hasilnya tetap tidak rapi dan simetris seperti yang diinginkan orang-orang itu. Dia tidak heran nilai kerajinan tangan di sekolahnya selalu tak pernah menyentuh angka tinggi. Dan sesuai perkiraannya, karena terlalu memprioritaskan kesempurnaan, pekerjaan ini menghabiskan waktu sampai larut malam.

“Amanda pulang saja lebih dulu, ini biar kami yang selesaikan,” celetuk seorang pencari perhatian. Semua tampak setuju dan mendukung perkataan itu.

“Kenapa dia saja?” celetuk seorang pencari masalah. Perdebatan pun dimulai, atau mungkin juga bukan, karena yang terjadi adalah beberapa orang yang berbicara dengan nada tinggi, memuliakan satu pihak dan menyudutkan yang lain, sementara sisi satunya tak diberi waktu bersuara. Yulia tahu dia tak akan menang, dan untuk apa juga dia menang dari segerombolan makhluk menyedihkan itu. Jadi dia memutuskan berdiri, mengemasi barangnya lalu berkata sebelum pergi.

“Kalian orang-orang lemah yang menjijikkan.”

Akhir yang buruk dari sebuah usaha untuk mencoba bersosialisasi. Dia, Yulia, tentu lebih tahu semua keadaannya lebih dari siapa pun di dunia ini. Dia miskin, tidak pintar, dan sangat sulit bagi orang menyebutnya cantik. Dan dia paham betul bahwa manusia harus hidup bersosial untuk bertahan. Karena itu dia mencoba bersosialisasi, membuka diri pada manusia lain, namun akhirnya dia selalu merasa tak pas, tak cocok, tak diterima. Jadi walaupun kemarin dia sudah menghancurkan rencananya untuk bisa berkawan dengan beberapa manusia sebaya, pagi ini dia pergi ke perayaan desa, berbaur bersama warga meski tak banyak interaksi dan bicara. Dan mungkin, jika kebetulan dia bertemu dengan gadis-gadis kemarin, dia akan mencoba meminta maaf walau enggan. Mungkin.

Ada yang terasa janggal saat ia menatap panggung, tepatnya ke arah latarnya yang penuh bunga-bunga kertas. Kemarin, tiap gadis membuat bunga dari kertas berwarna yang dipilih masing-masing. Hanya Yulia yang mengambil warna ungu, dan tidak ada warna ungu di antara bunga-bunga itu. Belum lepas dari keheranan, acara di panggung berlanjut pada tarian, yang dimeriahkan dengan bunyi petasan dan saweran bunga ke arah penonton. Dia menengadahkan tangan mencoba menangkap kelopak yang berhamburan, namun ternyata itu bukan kelopak bunga. Itu kertas ungu yang dipotong kecil-kecil, ada beberapa lipatan dan lem di antara potongan itu. Melihatnya membuat hati Yulia ikut terpotong. Bunga ungu yang sudah dia buat sepenuh hati, yang menghabiskan banyak waktu dan keringatnya, dipotong-potong.

Ah ... sial.

Dia ingin menangis.

“Hoh ... indah sekali.”

Seorang kakek tua, dengan tongkat di tangan kirinya, sedang tersenyum dengan tangan kanan menengadah menangkap hamburan kertas yang jatuh.

“Itu cuma kertas,” ucap Yulia, agak berteriak untuk mengalahkan kegaduhan. Kakek itu cemberut, mendelik ke arahnya sambil berucap, “Siapa peduli, indah tetap saja indah!”

Yulia tak menanggapi lagi, hanya menatapnya datar.

“Ah, kalau kau tidak ada kerjaan, antar aku ke sebelah sana.”

Yulia kenal kakek itu, meski belum pernah bicara dengannya kemarin-kemarin. Tubuhnya sudah bungkuk dimakan usia, yang bahkan tidak sampai sebahu Yulia, karena memang Yulia punya tubuh tinggi yang gagah, mengingat dia sudah banting tulang sejak dini. Si kakek ternyata berniat pulang, rumahnya melewati jalan setapak yang agak menanjak.

Saat tiba di depan rumah, si kakek mengajak untuk singgah, Yulia tidak cepat merespons dan hanya menatapnya datar.

“Kenapa? Kau takut diapa-apakan kakek tua ini?”

Sebenarnya tidak juga sih. Dia yakin bisa dengan mudah mematahkan beberapa tulang kakek itu jika hal yang tidak waras terjadi.

Jadi dia mengikuti si kakek, saat sampai di beranda rumah, si kakek menyuruhnya menunggu dan dia melengos masuk ke rumah. Yulia bisa melihat beberapa atap rumah warga dan jalanan desa dari sini. Tak lama si kakek memanggil.

“Hei, sini, sini, bantu aku bawa ini.”

Yulia masuk dan membantu membawa koper besar ke beranda. Si kakek membukanya dan tampaklah baju, jaket, dan sepatu bot kulit lelaki yang masih bagus.

“Ini bekas aku muda dulu. Dulu aku tentara yang hebat.” Si kakek berbicara dengan lambat, dengan mata yang menerawang ke masa yang terlewat. “Orang tuaku penjahit, mereka banyak membuatkanku pakaian, padahal hanya beberapa yang bisa kubawa, selain itu tentara harus selalu siap berseragam.”

“Tapi anak-anakku semuanya perempuan, dan mereka lebih suka seperti ibunya yang memakai baju yang lucu-lucu. Jadi baju-baju ini kusimpan saja.”

Yulia masih mendengarkan, meski tak paham akan dibawa ke mana pembicaraan ini.

“Dulu, saat kau masih kecil, dan orang tuamu meninggal, jika saja masih ada istriku, aku ingin merawatmu. Tapi aku khawatir apa yang bisa dilakukan oleh kakek yang tinggal sendirian jika harus mengurus anak kecil. Belum lagi warga desa kita yang terlalu banyak bicara dan bergosip itu.”

Yulia sedikit terenyuh. Untuk pertama kali dari sejak dia bisa mengingat, dia merasa ada orang yang peduli.

“Baju-baju ini untukmu. Jika kau mau tentunya. Aku tahu kesulitanmu hidup di sini, dan aku tahu kau akan semakin sulit jika tetap di sini. Pergilah, dunia ini luas ... cari tempatmu sendiri untuk hidup dan mati.”

Dan ucapan itu seperti angin, angin yang dengan lembut namun kuat membukakan jendela hidup seorang Yulia.

“Kau sudah lulus SMA kan? Itu bagus. Kudengar sebentar lagi tentara kita membuka pendaftaran, kusarankan kau mendaftar. Kau gadis yang kuat!”

Yulia semakin berbinar. “Benarkah? Wanita sepertiku bisa menjadi tentara?”

“Oh! Bisa! Tentu bisa! Wanita bisa menjadi apa pun yang dia mau. Itu terserah padamu. Tapi istriku dulu bilang, 'aku mau jadi istrimu saja,' entah dia romantis atau pemalas.” Kemudian si kakek cekikikan sendiri.

“Tapi ... “ Yulia, yang selalu mendapat pandangan miring orang-orang itu, kembali ragu, “mungkin tentara lebih menyukai perempuan seperti Amanda itu dari pada aku. Dia kan super hebat.”

“Si anak pejabat itu? Ah, tidak, tidak. Dia mungkin mawar penghias taman, tapi kau adalah melati pagar bangsa! Kau kuat dan keras kepala! Seperti aku dulu. Hahaha ....”

Yulia tersenyum, dengan lembut, untuk pertama kalinya. Ide kakek itu sepertinya tidak buruk juga.

“Jadi bagaimana? Kau mau keluar mencari kehidupanmu atau diam meratapi nasib dan membusuk di desa ini?”

“Aku akan pergi.”

“Ingat! Jalanmu tidak mudah! Pergilah ... cari tempatmu, cari mereka yang seirama denganmu. Doaku ada bersamamu.”

“Terima kasih, Kakek!”

Dan begitulah, dia memutuskan pergi. Mencari tempat dan teman di sisi lain dunia ini.

 

 

Ikuti tulisan menarik Astria Sastra Dewi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu