x

Iklan

Astria Sastra Dewi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:19 WIB

Putra Edelweis

Rio, seorang pendaki yang mencintai alam, tak sengaja menemukan nirwana kecil dan seorang teman berharga. Namun sang teman itu, bisa disebut agak unik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rio adalah seorang pria yang sangat menyukai alam. Dia gemar mempelajari hewan, tumbuhan dan ekosistem mereka. Tampaknya kesukaannya itu menurun dari kakeknya, yang juga sangat menyukai alam. Waktu liburannya selalu diisi dengan berenang ke pantai, berkemah di hutan, atau mendaki gunung. Kali ini tujuannya adalah sebuah gunung besar, yang terbesar di pulau tempat dia tinggal. Gunung ini juga salah satu gunung favorit kakeknya, saat Rio tanya mengapa, dia hanya mendapat jawaban, “Bunga abadi di sana sangat lucu dan menggemaskan.”

Saat Rio memulai pendakiannya dan sampai di kaki gunung, dia mampir ke sebuah warung, membeli teh hangat sambil bersiap memulai pendakian. Di sana dia bertemu sekelompok pendaki yang sedang menunggu kawan-kawannya. Mereka menawarkan untuk mendaki bersama, tapi Rio menolak dengan halus sebelum akhirnya mulai mendaki seorang diri.

Namun tampaknya kehendak alam tak merestui pendakiannya hari ini. Sejak dua jam perjalanan gerimis mulai turun, makin deras seiring dengan tingginya Rio mendaki. Lalu saat hujan itu menyatu dengan angin dan menjelma menjadi bahaya, Rio benar-benar kesulitan dan memutuskan untuk menghentikan pendakian sementara dan membuat bivak. Sayangnya dia ada di trek curam saat itu. Pepohonan di sekitarnya cukup jarang untuk bisa meredam derasnya hujan, dan keadaan memburuk saat dirasa dirinya mulai oleng. Tanah berbatu yang sudah licin dipijak itu semakin sulit dilalui dengan derasnya aliran air dari atas, lalu saat tanah itu bergetar, Rio kehilangan keseimbangan, tubuhnya merosot menghantam batu dan pohon dengan tangan yang berusaha meraih apa pun yang bisa diraih. Ia terjerembap jauh ke dalam semak. Kesadarannya sudah hilang saat tubuhnya berhenti berguling. Kini tubuhnya teronggok dalam semak di bawah derasnya guyuran hujan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

***

Matanya perlahan membuka, lalu tarikan napas dalam diambil dan dikeluarkan pelan sambil perlahan terpejam lagi. Di antara napas-napasnya yang mulai teratur, pikirannya seolah terangkat ke tempat yang terang setelah lama diam dalam gelap, rasa sakit perlahan terasa mencuat dan menyebar di seluruh badan. Rio membuka mata, kali ini dengan kesadaran yang sudah sepenuhnya kembali. Dia terlalu malas dan lesu untuk berpikir, tapi suasana asing di sekitarnya terpaksa membuat alisnya mengernyit. Tepat di atasnya ada atap dari daun kelapa kering, di sekelilingnya ada dinding anyaman kayu, dan tak jauh dari tubuhnya ada tungku api yang mungkin dari tumpukan batu. Garis-garis cahaya menerobos celah dinding anyaman itu seolah menusuk dari luar. Rio tak tahu apa yang sudah terjadi dan di mana dia berada, tapi dia tak bisa mencari tahu karena rasanya sangat sulit untuk bergerak. Terlepas dari semua pemandangan asing itu, tempat ini terasa nyaman dan damai.

Suara gemeresik langkah kaki terdengar mendekat, Rio yang agak panik cepat-cepat menutup matanya sesaat sebelum pintu kayu terdengar terbuka. Seseorang masuk ke dalam, suara derit pintu ditutup, 'duk' pelan dari barang yang diletakan, dan langkah kaki yang mendekat dan berhenti tepat di sampingnya. Rio tak bisa tenang, dia tahu siapa pun atau apa pun itu sedang berdiri di sisinya, memperhatikan dalam diam, membuatnya sangat tak nyaman dan ingin kabur saja. Mungkin satu menit sudah berlalu, tapi orang itu sama sekali tak terdengar bergerak, Rio yang penasaran perlahan membuka mata setelah memantapkan diri akan apa yang mungkin terjadi setelahnya. Matanya melirik ke samping, dan di sana ada sesosok anak remaja dengan rambut sebahu yang menatapnya penasaran. Dalam kondisi itu Rio bingung harus berbuat apa. Dia pun mencoba tersenyum, dan akhirnya dibalas dengan senyum lebar oleh anak muda itu.

Dia dibantu duduk, diberi minum, diberi makan buah dan sayur yang dia tak tahu jenisnya, dan dia baru sadar hanya mengenakan celana longgar yang bukan miliknya. Kakinya ternyata terluka cukup dalam dan lebar, di tangan, tubuh dan pelipisnya pun ada memar dan luka-luka ringan. Namun semua luka itu sudah kering, tampaknya pemuda itu juga yang merawat luka-lukanya. Dari rasa sakit yang menjalar di kakinya, sepertinya untuk beberapa hari ke depan, ia tak akan bisa berjalan dengan leluasa.

Rio yakin pemuda itu orang baik, namun anehnya, sejak ia membuka mata, pemuda itu sama sekali tidak bicara. Dia sudah mencoba bertanya semacam, “Ini di mana?”, “Kamu siapa?”, namun hanya dibalas dengan tatapan dan senyum kecil. Hal pertama yang bisa Rio pikirkan soal itu adalah, mungkin ia tidak bisa mendengar atau bicara.

Rio perlahan belajar untuk bangun sendiri, sedikit demi sedikit bergerak, sampai butuh waktu seminggu untuknya bisa berjalan dengan lancar, meski belum bisa selincah biasanya. Gubuk tempat dia tinggal ada di sebuah tanah datar yang berada di dekat lereng, di sekitarnya banyak pepohonan rindang berbuah bulat merah yang sering dia makan. Dia sama sekali tak tahu nama buah itu, mungkin semacam buah-buahan hutan. Tak jauh dari gubuk ada sebuah air terjun kecil berundak-undak sebagai sumber air di sana. Biasanya setiap tempat yang terbilang indah akan langsung masuk dalam dunia internet dan menjadi objek foto dengan judul tempat yang wajib dikunjungi, tapi karena Rio belum pernah merasa melihat air terjun seindah ini dalam info gunung yang dia daki, artinya kemungkinan besar tempat ini belum terjamah. Dia tak bisa menentukan ada di ketinggian berapa, atau menentukan arah dengan kompas, apalagi mencari sinyal telepon atau jaringan internet. Semua alat elektroniknya tak bisa berfungsi. Dia tak tahu kenapa bisa begitu, namun di luar semua itu, dia sangat menikmati hidupnya di sana sambil fokus memulihkan diri.

Rio hampir tak berpikir untuk segera pulang karena nyamannya tempat itu, sampai suatu hari, dia diingatkan bahwa dia ada di tengah rimba di mana manusia kota sepertinya tak akan bisa hidup dengan santai. Seekor babi hutan besar bertaring panjang bertengger dibalik semak, menatap ke arahnya yang sedang berusaha mengambil air. Saat isi kepalanya penuh dengan rasa takut dan terkejut, babi itu menguik dalam dan berlari cepat ke arahnya. Rio mendadak gemetar dan sulit bergerak. Tepat sebelum babi itu menabraknya, seseorang memeluk dan menariknya, namun mereka berdua terlambat dan terserempet babi itu. Saat terjengkang di tanah, Rio mendengar orang yang menariknya berteriak, dan si babi pun pergi.

***

Keadaan sudah tenang, Rio duduk di samping gubuk menghadap keranjang buah yang isinya tercecer. Yang menyelamatkannya adalah si pemuda itu, tentu saja karena selama di sana Rio tak melihat adanya keberadaan manusia lain. Pemuda itu menyodorkan air dalam batok kelapa. Rio yang hendak menerimanya terkejut melihat tangan pemuda itu terluka cukup parah, mungkin terkena taring babi. Dia langsung membersihkan darahnya, mengobatinya dengan ramuan yang biasa dia gunakan untuk lukanya, lalu membalutnya dengan kain panjang. Selagi dia merawatnya, pemuda itu hanya tersenyum menatapnya. Dia melihat kain yang dia gunakan untuk membalut luka, celana dan pakaian mirip jubah yang dia dan pemuda itu gunakan, semuanya berwarna putih dan mirip seperti anyaman. Mungkin pemuda itu menganyam sendiri pakaiannya dari kapas yang tumbuh di sekitar sana.

Sambil duduk berdua di samping gubuk, Rio pun mulai berpikir. Saat awal-awal dia di sini, keadaan di mana dia bersama seorang manusia dan tak bicara sama sekali membuatnya sangat canggung, tempat di tengah rimba yang bagai nirwana kecil ini dulu membuatnya sangat asing, dan dia bahkan pernah mempertanyakan apakah pemuda itu benar-benar manusia. Namun sekarang, dia serasa bisa saling memahami dengan pemuda itu meski tanpa bicara. Tempat asing ini pun sudah terasa seperti rumahnya, terima kasih kepada si babi yang sudah mengingatkannya kalau ini di tengah rimba. Dan hari ini pertama kalinya dia mendengar suara pemuda itu saat berteriak. Ditambah lagi dia melihatnya berdarah, darah merah berbau amis yang persis seperti miliknya. Dia merasa bersalah pernah menganggapnya bukan manusia.

Karena penasaran, Rio mencoba bicara lagi dengan pemuda itu. Dia menepuk pundaknya, saat mereka bertatapan, Rio menepuk dadanya sendiri dan berkata, “Rio. Namaku Rio. Kalau kamu?”

Rio menunjuk pemuda itu, dia tampak berpikir, lalu seketika terlihat senang. Dia lalu menepuk dadanya dan berkata, “Weis”.

Rio tampak senang mendengarnya bicara, kemudian dia berpikir sejenak. “Weis?”

Pemuda itu tersenyum riang, lalu dia menunjuk Rio dan berkata, “Aga?”

Mendengar itu Rio menggeleng, dan mengulangi menepuk dadanya sambil menyebutkan nama Rio.

Senyum pemuda itu sempat hilang, namun kembali beberapa detik kemudian.

Mereka kini sering berinteraksi dengan melibatkan suara, meski tampaknya pemuda yang menyebut dirinya Weis itu hanya bisa menggunakan kalimat-kalimat sederhana. Rio banyak bercerita, tentang dunia di luar gunung, tentang pantai kampung halamannya, dan tentang kakeknya yang juga menyukai gunung ini. Di sela interaksi mereka, Rio pun memberitahukan niatnya untuk pulang. Mendengar itu, Weis tampak diam dan meminta Rio mengikutinya. Mereka berjalan menaiki lereng, terus menanjak sampai mereka tiba di ladang edelweis. Di sana Weis tampak senang, dia memetik bunga itu ke sana kemari. Rio yang melihatnya agak meringis. Itu bunga yang dilindungi dan tak boleh asal dipetik! Saat Rio mengatakan hal itu, Weis hanya tersenyum dan berkata, “Kenapa? Ini bunga Weis. Weis yang tanam.”

Rio yang mendengar itu hanya mengernyit, lalu dia membiarkan saja Weis memetik bunga-bunga itu. Biarlah, pikirnya. Toh penduduk lokal gunung ini yang memetiknya. Bunga itu disusun Weis menjadi sebuah kalung, lalu dia berikan pada Rio. Rio yang menerimanya agak takut. Bagaimanapun itu bunga yang dilarang untuk dipetik. Tapi dia tak bisa menolaknya. Esoknya, Weis mengantar Rio sampai ke trek pendakian. Di sana mereka berpisah, saling melambai, tersenyum, terharu, sampai akhirnya Weis sudah tak bisa terlihat lagi di mata Rio. Dia sedikit sedih membayangkan anak itu akan kembali ke gubuknya, tinggal di nirwana kecilnya seorang diri.

***

Tahun berganti, Rio si pemuda yang sempat hilang di gunung itu kini sudah berusia senja. Dia tinggal di sisi pantai, di kampung halamannya setelah lama tinggal di kota. Dulu saat tubuhnya masih sanggup mendaki, ia pernah datang ke gunung itu lagi beberapa kali. Tapi tak pernah ia menemukan jejak Weis, atau jejak manusia lokal lain, atau ladang yang penuh dengan edelweis. Edelweis yang dia temukan bukan edelweis yang dia lihat bersama Weis. Di sela nostalgianya di siang hari yang cerah, Rio dikejutkan oleh putranya yang datang ke rumah sambil bercerita bahwa ada orang asing di kantor desa yang ditangkap karena mencurigakan. Rio awalnya biasa saja sampai putranya menyebutkan bahwa orang itu memakai jubah putih aneh.

Rio yang penasaran akhirnya pergi ke kantor desa. Di sana dia melihat seorang pria muda dewasa berambut panjang yang mengenakan pakaian putih mirip jubah. Rio tak akan pernah lupa kain putih itu. Pria yang mengenakannya menatap Rio, sambil berekspresi sedih dia bertanya, “kamu ... siapa?” dengan logat yang sangat familier bagi Rio.

Rio menepuk dadanya dan berkata, “Rio ... aku Rio.”

Untuk beberapa saat pria itu memperhatikan Rio dengan saksama, lalu tak lama senyum cerah merekah di wajah pria itu, dia lalu menepuk-nepuk dadanya dan berkata, ”Weis! Weis mau bertemu Rio!”

Rio tak bisa percaya pada apa yang dilihatnya begitu saja, tapi bekas luka di tangan pria itu membuatnya tak bisa mengelak. Rio pun mengatakan pada orang desa bahwa pria itu adalah anak temannya dari jauh dan membawanya pulang.

Weis masih seperti dulu, terlepas dari tubuhnya yang sudah menjadi pria dewasa dan berambut panjang sepunggung, dia masih saja terlihat cerah ceria, seperti melihat kelopak edelweis di sejuknya pegunungan yang disorot mentari. Mereka saling bercerita, bermain di pantai, dan Rio mengajari Weis baca tulis. Rio sangat senang melihat ekspresi kagum Weis saat melihat laut, matanya begitu berbinar. Bagi orang lain mereka tampak seperti kakek dan cucunya yang saling melepas rindu. Pada suatu sore, saat Weis melihat-lihat foto yang berjajar di dinding rumah Rio, Weis nyaris terpekik dan dengan semangat menunjuk satu foto sambil berkata, “Aga! Aga!” Itu foto kakek Rio saat muda. Hal itu kembali membuat Rio diam seribu bahasa, perasaan aneh dan ‘tak bisa dipercaya' sudah sering ia rasakan saat bersama Weis, dan kini, Weis bilang dia mengenal kakeknya, Subangga.

***

Setelah sekitar tiga minggu di rumah Rio, suatu pagi tiba-tiba ada yang aneh dengan Weis. Dia tak bangun dari tidurnya, tubuhnya tampak lemah dan demam. Rio sudah mencoba memanggil tenaga medis namun kondisinya tetap tak berubah. Sambil merawat Weis yang tak kunjung bangun, Rio yang sedih tetap menemaninya sambil bercerita padanya tentang hari-hari mereka saat di gunung. Rio pun masih menyimpan kalung bunga edelweis yang sudah mengering dan meletakannya di tubuh Weis. Banyak hal yang tak bisa dipercaya selalu muncul di sekitar Weis, tapi Rio tetap menganggapnya sebagai teman berharga.

Esoknya, Weis dan kalung edelweis itu tak ada di mana pun di rumahnya. Di atas tempat Weis berbaring ada secarik kertas bertuliskan, “Weis harus pulang, sampai jumpa lagi, Rio.”

Rio berkaca-kaca, dia memeluk kertas itu, berharap nyawanya masih ada saat anak itu menemuinya kembali.

 

 

Ikuti tulisan menarik Astria Sastra Dewi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB