x

Iklan

Samudera Berlari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Senin, 15 November 2021 16:16 WIB

Adieu

Namun, oleh sebab duka yang mengalir pada nadi-nadinya, membikin mata perempuan ini selalu redup. Kuyu. Ia seperti hidup kemudian dimatikan begitu saja. Ia telah dibunuh oleh kesedihannya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ia selalu membenci Januari yang setahun sekali mampir pada rumahnya tanpa mau ketok pintu atau permisi dahulu. Barangkali Januari memang suka melompat-lompat di dalam rumahnya, bersembunyi pada kolong meja bahkan ranjang, dan mengendap pada ingatannya sendiri.

Ia selalu membenci Januari yang membawa serta teletik pada halaman rumahnya, kemudian menggenang, tanpa tahu kapan pula akan menjadi kering lagi. Rinai-rinai menjadi buai pada matanya sendiri, menyusup ke dalam pikiran entah hatinya, lantas tiada tahu lagi kapan akan mengering. Genangan pada halaman rumah entah matanya sendiri itu telah mengangkat ingatan yang susah payah ia tenggelamkan sendiri.

Saban sore mulai mengerjap, ia akan duduk pada balai-balai rumahnya, di atas tembikar yang ia anyam sendiri dengan sisa-sisa duka menggenang pada dua matanya yang redup. Di tangannya pula, tergenggam satu tusuk konde dengan hiasan burung-burung manyar mungil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kelak akan ada pertemuan tanpa perpisahan yang akan kau temui.”

Pada waktu yang lampau, seseorang telah katakan itu padanya, kemudian ia ikat kalimat itu pada pikirannya sendiri. Bahkan jika yang ia tunggui tak kunjung datang pula, ia akan kembali mengingat kalimat itu.

Hanya pada bulan penghujan itu ia membenci dan menungguinya.

*****

Aku telah lama pula bersama perempuan itu. Aku mulai bekerja sebagai pengurus kebun sejak keluarga ia pindah ke rumah bergaya tradisional namun besar ini. Aku melakukan apa saja, mencabut ilalang yang sesuka saja tumbuh, menyiram tanaman, dan mengurus apa-apa saja yang tinggal dalam halaman rumahnya.

Ia pindah kemari ketika kerusuhan 13 Mei 1998 terjadi. Kerusuhan yang membikin kelompok pedagang Tionghoa di Indonesia harus pula menyingkir paksa sebab terjadi pembantaian besar-besaran terhadap mereka. Tiada yang tahu secara pasti dalang yang menggerakkan kerusuhan, namun, diduga-duga oleh sebab tragedi Trisaksi itu.

Pada hari-hari setelahnya, tiada yang tahu jika rumah tradisional itu telah memiliki penghuni. Sebab mereka tak mau membuka pintu rumahnya pada apapun juga. Mereka takut, salah-salah jika satu atau dua orang yang mengetuk pintu adalah orang-orang yang hendak membantai keluarga Tionghoa kecil itu.

Pada bulan-bulan setelahnya, aku selalu saksikan perempuan itu duduk pada balai-balai rumahnya, menggenggam tusuk konde dengan hiasan indah. Saban sore ketika aku hendak menyiram tanaman atau sekedar mencabuti ilalang, ingin rasanya aku tanyakan padanya perihal alasannya itu. Namun aku tiada pernah berani. Aku hanya mampu melihatnya saja.

Namun, pada suatu sore pada bulan Januari yang basah oleh teletik, aku lihat ia menangis pada balai-balai. Tidak ada seorangpun di rumah selain ia dan aku, maka aku beranikan untuk bertanya padanya.

“Nona, mengapa kau menangis?”

Isak-isak suaranya tidak aku anggap sebagai jawaban, lantas aku ikut pula duduk pada balai-balai. Jika dilihat dari dekat, perempuan ini cantik dan sungguh cantik. Namun, oleh sebab duka yang mengalir pada nadi-nadinya, membikin mata perempuan ini selalu redup. Kuyu. Ia seperti hidup kemudian dimatikan begitu saja. Ia telah dibunuh oleh kesedihannya sendiri.

Ia pelan-pelan mendongak, menatap aku dengan mata redupnya. Aku diam saja, membiarkan ia menarik napas barang satu dua untuk memulai berbicara. Maka, suara yang keluar itu, walaupun seperti bisik paling bisik, aku tetap mendengarnya juga.

“Katakan padaku. Apa ia akan kembali? Ia telah berjanji padaku. Ia telah berkata padaku, jika kelak akan aku temui sebuah pertemuan yang tidak lagi memiliki perpisahan. Jika ini aku, jika ini ia. Bukankah, harusnya ia kembali kemari dan memasangkan tusuk konde ini untukku?”

Kemudian ia menangis lagi. Ia terisak yang paling sesak. Barangkali, kenangan yang susah payah ia tenggelamkan itu, kembali naik ke atas permukaan, berharap untuk tidak dilupakan. Kenangan yang tiada mau cepat-cepat lekas, memilih terus berbekas dan enggan terlepas.

“Nona, jika ia memang berjanji seperti yang kau katakan itu, usah risau ia akan tinggalkan Nona. Usah risau.”

Aku sendiri tidak mengerti darimana asal kalimat-kalimat yang aku katakan barusan. Siapalah aku ini, yang mampu berlagak mengatakan hal yang sebenarnya tidak aku yakini betul. Aku bahkan tidak tahu siapa ‘ia’ yang perempuan ini maksudkan. Bukankah aku seperti menenangkan anak kecil dengan isapan kebohongan agar ia lega?

“Ini terjadi saat keluarga besar kami kabur dalam kerusuhan Mei 1998. Dengan menggunakan kapal dagang, kami berusaha kabur. Namun saat di tengah laut, kapal dagang kami mendadak diserang entah oleh siapa. Malam telah larut, dan kami yang tertidur, tiada sempat menyadari hal itu lebih awal. Aku ingat, kawan masa kecilku, Zaq, yang berusaha membangunkan kami semua.

Ia datang ke kamarku, meneriaki agar segera lari dan kabur menggunakan sekoci. Aku ingat betul bagaimana wajah ia yang terlihat panik. Aku ingat betul bagaimana ia memapahku yang telah habis tenaga karena berlari.”

Ia kemudian menangis lagi. Barangkali ketika nama itu disebut, segala hal membanjiri kepalanya. Segalanya. Entah sedih entah bahagia. Aneh, mengapa sebuah nama mampu membikin segala ingatan muncul pada permukaan?

Di luar, hujan mulai turun teletik-teletik. Ia menghela napas, kemudian melanjutkan lagi.

“Terjadi baku tembak. Kami semakin tergesa. Banyak dari kami yang tertembak, dan tergeletak begitu saja sepanjang jalan. Zaq tetap bersamaku. Hingga kami sampai pada sekoci. Sayangnya, sekoci itu telah penuh, dan hanya mampu menampung satu orang lagi. Aku telah bersikeras untuk tetap bersama Zaq, naik pada sekoci kedua. Namun, orang-orang yang menembaki kami semakin dekat.

Mendengar suara-suara tembakan, Zaq kalap. Ia dengan paksa menggendongku, lantas menaruhku pada sekoci. Anggota keluarga yang lain mengerti, lantas memegang erat tubuhku. Sekoci dijatuhkan, aku tak bersama dengan Zaq.”

Ingin sekali rasanya menghilangkan sisa-sisa air mata pada pipi perempuan Tionghoa ini. Namun, sebanyak apapun menyekanya, kesedihan itu tetap ada. Aku tiada berani menanyakan bagaimana nasib Tuan Zaq, namun, perempuan ini menceritakannya juga.

“Aku tidak bersama dengan Zaq. Dalam sekoci itu, atau dalam hari-hari kemudian. Aku baru tahu beberapa bulan setelahnya melalui berita pada koran. Sekoci kedua tiada pernah diturunkan. Tidak pernah ada sekoci kedua. Zaq telah berbohong padaku.

Bulan Januari tahun 1999, barulah kami tahu, ia telah benar-benar raib dari dunia. Aku telah kehilangan Zaq.”

Ia selalu membenci Januari yang tanpa permisi berlarian di halaman rumahnya, lantas menetap dalam rumahnya juga. Sebab ia tiada pernah tahu, kapan genangan akan mengering tanpa sisa-sisa kesedihan.

****

Hari-hari setelah percakapan antara aku dan perempuan Tionghoa itu, ia mulai bisa tersenyum pada apa-apa saja. Ia mulai sering mampir pada halaman rumahnya sendiri, mengajak aku berbicara sambil fasih menjelaskan segala yang tertanam pada halaman rumahnya. Barangkali dengan bercerita, ia telah membuang sebagian beban pada hatinya sendiri. Aku kira ia telah berdamai dengan masa lalunya sendiri.

Dan aku lihat sebuah tusuk konde berhias burung-burung manyar mungil selalu ada pada gelungan rambutnya. Barangkali ia telah berusaha menggulung segala rupa sedihnya, lantas menusuknya agar tidak pernah lagi lepas lantas muncul pada dua matanya.

“Ini pemberian Zaq. Ia tidak suka saat rambut panjangku tergerai. Maka, ia belikan ini lantas menggulung rambutku. Ia yang lakukan dan selalu dirinya. Zaq memang aneh sekali, bukan?”

Perempuan Tionghoa yang selalu membenci Januari itu tertawa pelan. Disentuhnya sendiri rambut yang ia gelung, lantas meraba-raba hiasan burung-burung manyar. Kemudian tiba-tiba tangannya lunglai, jatuh bersamaan dengan tubuhnya sendiri.

Ia sempurna terduduk pada halaman rumahnya, di bawah pohon kenari yang tiada menjatuhkan biji-bijinya lagi. Perempuan yang membenci Januari itu kemudian mulai menangis lagi. Mungkin sebab nama ‘Zaq’ dan sepotong ingatan yang ia pungut kembali.

“Zaq, kau bilang bahwa aku akan temui sebuah pertemuan tanpa perpisahan jika ini aku jika itu kau. Hanya hiasan rambut yang kau berikan ini, satu-satunya bagian dirimu yang ada padaku sekarang. Dengan ini, apa aku masih bisa merasakan aku bersama kau?”

Perlahan ia lepas kembali tusuk konde itu, lantas mendekapnya erat sekali. Aku letakkan selang untuk siram tanaman, dengan langkah pelan-pelan, aku dekati  ia. Sungguh ada separo bagiain dari diriku yang ikut merasa sedih. Tidak tahu mengapa.

“Nona, Tuan Zaq memang sudah pergi. Namun, boleh aku gantikan Tuan Zaq untuk Nona? Bukankah selama Nona di sini, aku yang selalu temani Nona? Aku ada untuk Nona.”

Perempuan Tionghoa itu mendongak dengan sisa-sisa air mata pada dua matanya yang selalu tampak redup itu. Ia pandangi aku lama sekali. Ia seperti mencari sesuatu yang ada dalam kedua bola mataku, entah apa itu. Kemudian, ia tersenyum.

Ia tersenyum padaku.

*****

Aku pikir, dengan perkataan yang entah darimana aku mampu mengucapkannya bahkan tanpa sempat aku pikirkan matang-matang itu, ia akan kembali tersenyum dan sadar bahwa ada orang lain yang mencintainya dan mau bersamanya.

Namun, aku salah.

Sekarang bulan Januari hari ke dua puluh sembilan. Pagi-pagi, keluarga perempuan itu telah temukan ia sedang berbaring pada ranjang kamarnya. Dapat mereka saksikan senyum perempuan itu. Mereka saksikan pula sebuah tusuk konde telah menusuk jantung perempuan itu.

Ia telah mati.

Dekat tubuh perempuan itu, terdapat kertas. Aku yakin tulisan itu untukku, walaupun tidak aku lihat namaku pada kertas itu.

“Sungguh, terima kasih. Berkat ucapan kau, aku mampu menyadari sesuatu. Bukankah dengan aku mati, aku mampu bersama lagi dengan Zaq? Maka, dengan ini aku mengerti akan perkataan Zaq. Akan ada  sebuah pertemuan tanpa perpisahan, jika ini aku, jika itu Zaq.”

Zu, perempuan Tionghoa yang selalu membenci Januari, telah kembali bersama dengan Zaq melalui kematiannya sendiri. Zu, perempuan Tionghoa yang aku kasihi itu telah pergi.


(Ilustrasi oleh @samuderaberlari)

Ikuti tulisan menarik Samudera Berlari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler