Kita Telah Terbunuh Malam Itu
Selasa, 16 November 2021 07:56 WIB
Nun, barangkali warna kesedihan memang putih, sebab tiada aku temui kepura-puraan atau bising resah pada air mata aku sendiri. Kesedihan adalah kejujuran. Sekalipun orang bilang ia tiada sedih sama sekali, hatinya, Nun, hatinya tetap pula terajam, ia tetap meringkuk pula walaupun dalam diam meredam. Begitu pula aku.
Nun, barangkali sesal telah tumpah pada nadi aku. Menjalar bahkan sampai pada sela-sela tubuhku ini, tanpa tahu mana yang hulu mana yang hilir. Terus saja sesal itu mengalir, berputar-putar, lantas mengendap pada pikiranku sendiri. Membikin genang tanpa tahu kapan akan kering.
“Tunggulah sebentar. Jika senja ini telah habis, aku boleh tidak mencintai kau lagi. Tunggulah.”
****
Stasiun kereta sepi. Barangkali sekarang pukul satu pagi dan orang-orang lebih memilih diam atau menikmati kantuknya sendiri. Aku telah duduk pada salah satu gerbong, dekat jendela, memilih melihat kursi-kursi kosong di ruang tunggu stasiun.
Aku memejamkan mata. Samar aku melihat perempuan yang aku kenal betul suaranya seperti aku mengenal suaraku sendiri. Ia, perempuan itu, perlahan menjelma menjadi kunang-kunang. Tubuhnya yang ringkih itu perlahan menjadi setitik cahaya, lantas pergi begitu saja.
“Sepertinya aku telah menjadi kunang-kunang.”
Aku terbangun ketika suara yang entah darimana asalnya itu mengalir ke dalam kepalaku. Suara yang aku kenal seperti aku mengenal suaraku sendiri. Bagaimana pula aku hendak melupakannya? Bahkan kereta ini mengarah kepadanya.
Nun.
Perlahan kereta mulai bergerak, mulai berlarian pada rel-rel dingin milik malam. Barangkali, ingatan aku ikut berlarian juga. Melompati waktu. Waktu, memang dapat mengubah dunia. Namun, waktu, tiada mampu mengubah ingatan aku.
Ingatanku melompat pada malam itu, ketika orang-orang yang tidak aku ketahui namanya telah menerobos paksa rumahku, membabat apapun yang menghalangi kaki mereka. Mawar yang aku tanam bersamaan dengan kasihku pada rumah ini juga Nun, telah poranda hanya sekali tebas.
Detik setelahnya, segalanya tampak begitu cepat berkelebatan. Orang-orang berseragam itu mengokang bedil, menarik paksa Nun, menampar pipinya barang sekali tiga kali, lantas tertawa-tawa macam setan baru saja minggat dari penjara Tuhan.
Aku melawan, pukul-tendang-tangkis, berteriak, menangis. Barangkali semasa aku hidup, inilah kali pertama aku menangis sekalut ini. Aku sungguh takut perempuan yang aku kasihi itu tiada kembali lagi pada rumah ini, juga padaku.
Inilah perbedaan antara yang berseragam dengan tidak. Aku tidak memiliki bedil seperti yang mereka kokang itu. Satu peluru yang bersarang di lengan aku sudah mampu membikinku meringis tangis, bersimbah air mata dan darah.
Selagi aku terjatuh dan menggelepar dengan sisa-sisa perlawanan, mereka membawa pergi Nun. Nun, perempuan yang aku kasihi, dibopong secara kasar lantas dimasukkan ke dalam mobil hitam mengkilap. Aku dengar ia menangis, lebih keras, lebih ngilu, dan lebih memukul-mukul hatiku.
Nun pergi.
Kereta melaju, semakin laju, tanpa peduli apa-apa saja yang tengah terlewati. Aku tersentak pada lamunanku sendiri mengenai kejadian itu, lantas menunduk paling tunduk. Isak-isak kesedihan mampat di kerongkongan, berjubel, siap dimuntahkan kapan saja.
Selagi aku memampatkan duka dan kembali menelannya dalam perut, aku lelah lantas jatuh tertidur. Setiap kali aku memejamkan mata dengan doa akan melihat Nun dalam mimpiku, aku merasa tenang. Namun, ketika aku bangun dan tidak mendapati apa-apa, aku kembali memikul beban duka.
*****
“Aku tidak ingin pergi, Lud, sungguh. Bisakah kita pergi ke suatu tempat dimana tiada yang bisa menemukan aku menemukan kau?”
Perkataan Nun telah membuka percakapan kami di beranda, setelah sebelumnya hanya berisi hening dan helaan napas. Aku tatap penuh-penuh matanya yang mengatakan lebih banyak dari yang ia katakan.
Perkataan miliknya juga telah membuka tambalan duka yang selama ini aku rekatkan paling erat. Tiada sanggup aku mendengar ia mengatakan itu semua sebab aku tiada punya kuasa apapun.
“Nun, bukankah aku tidak bisa menjanjikan kau apa-apa?”
Aku lihat matanya mulai basah, barangkali sudah sejak lama tambalan duka milik Nun terlepas, tanpa tahu bagaimana cara memperbaikinya lagi. Nun, perempuan yang aku kasihi, telah menjelma menjadi langit penghujan.
“Aku tidak tahu lagi, Lud. Aku begitu muak dengan laki-laki yang akan meminangku atas keinginan orang tua aku itu. Bukankah kau sendiri yang berkata, saat awal sekali kita bertemu, bahwa cinta tidak diletakkan disembarang orang dan memaksanya tumbuh subur?”
Apakah kau tahu, Nun? Hatiku, yang telah lama berisi hanya nama kau, menjadi begitu ngilu saat kau sebut laki-laki itu. Laki-laki yang kelak akan bersama kau, menggapit lengan kau, dan menghabiskan waktu sore di beranda. Ngilu, Nun, seperti terajam paling ajar.
“Maafkan aku, Nun. Sungguh maafkan aku.”
“Apakah kau masih mengasihi aku?”
Kepalaku kuyu, memilih mengangguk lesu tanpa berharap akan ada yang berubah jika aku memberi jawaban yang semestinya sudah ia ketahui betul-betul.
“Bawa aku pergi, Lud. Kemana saja tidak masalah. Asal itu kau, asal ini aku, kita akan baik-baik saja.”
Aku diam.
“Bisakah kita memiliki waktu untuk menyaksikan kunang-kunang lagi? Kita berdua, di rumah yang kita bangun untuk tempat tinggal kita setelah menikah, di beranda ini?”
Aku diam. Bising tonggeret makin nyaring, makin memukul-mukul, membikin aku semakin terdiam paling bisu. Nun tengah memelukku dengan air mata dan ingus yang berleleran di bajuku.
Percakapan itu tidak istimewa. Hanya terjadi di beranda kecil, dengan orang yang bernama Nun. Aku tidak sedang bercakap di atas mimbar, atau berhadapan dengan seorang petinggi negara. Percakapan itu biasa saja, namun telah menancap kuat-kuat pada hatiku.
*****
Aku terbangun oleh suara kondektur yang sayup menelisik kuping. Kereta telah sampai di stasiun pemberhentian terakhir, aku disuruhnya turun. Aku anggukan kepala sekali. Ia melempar senyum entah pada siapa, lantas berlalu meninggalkan aku.
Umurku sekarang empat puluh tahun tiga bulan tak kurang tak lebih. Selama waktu terus menggerus badan dan membikin galur-galur pada kulit, aku tiada mampu memilih mencintai orang lain. Nun, ialah keindahan yang tidak mampu aku temui pada siapapun juga.
Ketika aku dengar dari sanak saudara yang tinggal tidak jauh dari kediaman Nun, aku merasa iba. Ibunya telah meninggal dunia, menyusul bapaknya yang telah berpulang beberapa tahun silam sebelum ia mengenalku. Semenjak ibunya wafat, Nun menjadi agak gila. Sebab tiada alasan lagi baginya untuk tetap serumah dengan lelaki yang telah memisahkan ia dengan aku. Anak, mereka tak punya.
Bandung, kota yang menyulap dirinya sendiri menjadi gigil dingin merambati tubuhku, adalah kota dimana ia menelan Nun, membikin tubuhnya disusupi penat huru-hara keramaian kota.
Pagi telah menjalar, terus naik hingga ubun-ubun. Aku berjalan terus, mengikuti arah yang terpatri di atas secarik kertas macam peta harta karun.
Rumah berdinding tembok bercat putih lengkap dengan pagar mengkilat warna hitam yang ada di hadapanku ini telah membikin aku kaku macam patung pahlawan. Tembok-tembok itu saling berdempet, kongkalikong menyembunyikan Nun.
Aku ketuk pintunya dengan perasaan menggelikan. Aku tiada sempat berpikir bahwa apa yang aku lakukan ini keliru. Aku sedang bertandang di rumah seorang perempuan, bekas kekasihku yang menikahi lelaki lain, dan inilah rumah mereka berdua.
Hening menjalar dimana-mana, bersarang di kepalaku, mulutku, dan pikiranku.
Maka, yang menarik gagang pintu, tidak lain tidak bukan, adalah Nun.
Ia terkejut, tentu saja. Nun, perempuan yang telah lama aku kasihi itu, sama kakunya macam aku dan macam patung pahlawan. Aku anggukkan kepala, lantas ia menangis. Aku tiada tahu apakah itu air mata kesedihan, syukur, atau bahagia. Yang aku tahu, sejak dahulu warna kesedihan memang putih.
“Sungguh kau kah itu, Lud?”
Aku mengangguk samar. Ya, ini aku, Nun. Aku telah datang padamu sebab bermalam-malam sudah aku risau memikirkan kau.
Nun menangis, lantas memelukku erat seakan jika ia lepaskan, aku akan terbang tanpa pernah terjamah lagi oleh tangannya. Aku entah mengapa juga menangis. Barangkali duka yang telah aku mampatkan dini hari tadi telah menemukan tempat yang cocok untuk bermuara. Dukaku, barangkali duka milik Nun juga, telah bermuara pada kedua mata kami yang akhirnya bertemu.
“Dimana Gus, suami kau itu, Nun?”
“Ia suka dinas keluar kota, sering berhari-hari tidak pulang.”
“Sendirian saja kau?”
“Tidak. Aku bersama sepi.”
Ia lepaskan pelukan haru yang aku sendiri terbawa arus. Nun seka matanya sendiri seperti aku menyeka duka milikku sendiri. Aku tatap penuh-penuh matanya seperti yang dulu sering aku lakukan. Aku kangen, itu jelas sekali.
Ketika Nun menggandeng tanganku untuk dibawanya duduk di ruang tamu, aku sungguh merasa segalanya tidak adil. Mengapa Tuhan biarkan aku dan ia bertemu, saling mengasihi, lantas kemudian Dia hempaskan kami di tempat yang berbeda? Mengapa Dia lebih memilih menancapkan kami pada keputus asaan? Oh Tuhanku, dimana aku mampu menemukan jawaban atas pertanyaan yang aku lontarkan pada-Mu dan padaku ini?
Kekasihku telah menikah dengan orang lain yang bukan aku. Selama berpuluh-puluh tahun, aku tetap terkungkung tanpa bisa menoleh kepada orang lain.
“Lud, disini tidak ada kunang-kunang. Mereka padam oleh lampu-lampu kota yang melumat kehidupan mereka.”
“Aku tahu.”
“Lud, aku kadang masih mengidamkan akan bisa menyaksikan kembali kunang-kunang bersama kau.”
“Aku tahu, Nun. Namun, kita sudah tidak sepantasnya saling mengasihi. Kau memiliki Gus, begitu pula dengannya yang memiliki kau. Barangkali keputusanku menemui kau memang keliru. Ini hanya akan membuka lebar-lebar duka yang semula sudah susah payah aku mampatkan.”
Nun diam dalam muram, membiarkan dirinya kembali hanyut dalam samudera kesedihan dalam dirinya. Jika saja dahulu aku melarikan Nun, apakah segalanya akan berubah? Jika saja dulu aku mengamuk macam orang kesetanan pada dua orang yang membawa Nun pergi secara paksa, apakah segalanya akan berubah?
Perasaanku pada Nun tiada berubah, masih tetap sama besarnya seperti pertama kali aku memutuskan untuk mencintainya.
“Aku tahu ini salah, aku tahu aku semestinya menyerahkan diriku seutuhnya pada Gus. Namun, tunggulah sebentar, Lud. Jika senja ini telah habis, aku boleh tidak mencintai kau lagi.”
*****
Aku duduk terpekur pada beranda rumah yang sama ketika aku bersama Nun. Taman kecil berisi mawar yang dahulu aku semaikan benihnya dengan harapan mereka akan menjadi saksi hidupku bersama Nun, telah lama terlibas. Aku tiada kuasa untuk menumbuhkannya lagi.
“Bapak mengapa ngelamun?”
Aku alihkan pandanganku ke arah sumber suara. Di samping aku, tengah duduk seorang anak perempuan mungil dengan giginya yang ompong. Ia tertawa kecil, lantas berlari menghampiri ibunya.
“Ibu, Bapak lagi-lagi ngelamun. Boleh tidak sekali-sekali Arum kejutkan Bapak dari belakang biar Bapak terjungkal?”
“Hus, jangan ganggu Bapak kau terus.”
Perempuan yang datang padaku sambil membawa kopi di atas nampan itu adalah orang yang akhirnya menjadi istriku. Barangkali saat orang tuaku memutuskan untuk menikahkanku, mereka telah lelah mendengar ocehan tetangga mengataiku bujang lapuk.
Namun, ketika senja hari itu telah usai, ketika aku mencium bibir Nun penuh-penuh untuk terakhir kalinya, kami telah memutuskan untuk tidak lagi mencintai sebab ini salah. Aku sungguh tahu mengenai itu, lantas mengapa Nun tak kunjung hilang dari pikiran aku?
Taman mawar yang telah terlibas, beranda rumah, kunang-kunang malam hari, segalanya mengarah kepada Nun. Ketika malam dan aku jumpai kunang-kunang tengah bersliweran di dekat beranda, kutuk sekaligus kantuk menyergapku.
Bisakah aku melupakan kau seperti yang sudah aku dan kau janjikan hari itu?
(Ilustrasi oleh @samuderaberlari)
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Para Pengepul Naskah Gratis Pencari Untung Berkedok Lomba Menulis
Kamis, 13 April 2023 17:36 WIBSungkup
Senin, 20 Desember 2021 08:08 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler