x

Iklan

Najia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Selasa, 16 November 2021 08:04 WIB

Perempuan Ikan Asin


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penduduk Pulau Panjang dilanda kegemparan. Telah satu minggu mereka merasakan keanehan: indra perasa mereka tak bisa mencecap asin. Mereka kalang kabut saat tahu rasa tersebut lenyap dari piring dan mangkuk. Tak sedikit warga menjadi kalap dan menaburi makanan mereka dengan bersendok-sendok garam.

Tak hanya kaum perempuan, para lelaki pun berbondong-bondong memborong garam, berkilo-kilo, dengan mata yang nyalang. Para saudagar dan tauke pasar tak dapat mengingat kapan terakhir kali penjualan garam bisa melonjak sedrastis ini.

Orang-orang Pulau Panjang membubuhi garam ke setiap apa pun yang mereka temukan. Mereka tak hanya menaburinya ke ikan dan cumi; tetapi juga roti, keripik, anjing, tikus, serta babi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebiasaan mengopi di sore hari yang dilakukan bapak-bapak bersalin rupa menjadi kompetisi. Mereka saling beradu tangkas menabur garam ke cangkir kopi. Tatkala mereka sadar rasa asin tak juga mereka temukan di dasar cangkir, garam pun mereka taburi ke lepek kopi. Ritual sore menjadi adu tangkas jilat-menjilat. Anak-anak, dengan ingus di hidung dan bau tengik di kepala, meningkahi bapak-bapak dengan tempik-sorai. Ajang 17 Agustusan di pulau itu bahkan tak pernah semeriah dan sekompetitif ini.

Rasa asin tetap tak mereka temukan. Mereka tak pernah merasakan kerinduan seganjil ini. Mengenang keindahan di masa silam seolah tak ada harganya. Berahi pemuda tanggung pada tubuh dan kehangatan perempuan menjadi peristiwa sepele, yang dengan gampang mereka tertawakan. Oh, asin, kembalilah ke hidup kami, teriak mereka dengan lidah menjulur, di satu-satunya musala di Pulau Panjang, setiap habis sembahyang.

Rasa asin tidak mereka jumpai di laut, di pasir pantai, atau di karang-karang hitam nan tajam. Rasa asin tidak mereka temukan di buku-buku dan sandal-sandal. Rasa asin tak meninggalkan jejak—apa lagi pesan—di jalan kampung mereka yang lengang dan berbatu. Rasa asin tak meninggalkan secuil berkahnya di perahu, jaring, dan caping para nelayan. Rasa asin tak juga turun ketika Letnan Yana menyuruh puluhan bocah mendongak dan menjulurkan lidah merah muda mereka ke arah matahari.

***

Di suatu malam, seorang pemuda bernama Joni menjilat ketiak kekasihnya, Susi, dan, seperti bisa kau tebak, tak jua menemukan rasa yang dirindukan itu di sana. Semua orang di Pulau Panjang tahu, yang Joni dapatkan pada malam itu hanyalah tamparan pedas dari Susi di kedua belah pipinya.

Berkebalikan dengan pikiran pendek orang-orang di pulaunya, Joni kembali bersiasat. Ia kumpulkan pemuda-pemudi terbaik Pulau Panjang; terdiri dari yang tertampan, tercantik, terpintar, tergesit, serta terlicik. Ia menceramahi mereka agar tak terlena dari musibah ini. Baru lima belas menit berkhotbah, ia menghardik-hardik Pardi—tertampan—karena ngoceh melulu.

Padahal, tak cuma Pardi yang menganggap upaya Joni sebagai suatu kemubaziran. Aji (terpintar), Mulan (tercantik), Dodo (tergesit), serta Susi (terlicik) juga demikian. Ini telah lewat satu bulan. Beberapa orang mulai berdamai dan melupakan asin, seolah-olah tak pernah mencecap rasa itu seumur hidup mereka.

”Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Jas merah, teman-teman. Jas merah!” rayu Joni, sang terkuat, di muka kelas. Teman-temannya hanya merespons dengan wajah kuyu dan bertopang dagu.

”Ayo berpikir! Percuma saja kalian sekolah. Orangtua kalian membanting tulang agar enggak bego kayak mereka. Ini toh bukan persoalan bom nuklir. Jawaban dari malapetaka ini bisa saja kita temukan di perpustakaan atau apalah!” sergah Joni seraya berkacak pinggang.

”Baiklah kalau itu maumu, Jon,” kata Aji sambil mengangkat tangan.
”Aku menemukan optimisme di kata kamu, Ji. Katakan, kau tentu pernah menemukan peristiwa serupa di buku-buku yang kau baca, kan?”

”Ekh em, tentu saja tidak. Ini peristiwa yang kelewat ganjil. Tidak seperti kemiskinan atau musibah tsunami, pemerintah pusat hanya akan menertawakan Pak Yasin, kepala pulau kita yang dungu itu, jika ia melapor ke mereka. Maksudku, saranmu boleh dicoba. Sejarah—”

”Nah! Itu, coba kau pecahkan. Sejarah hal yang rumit buatku. Aku tak piawai menghapal nama dan peristiwa,” kata Susi menimpali.

”Bukan sejarah yang ada di buku-buku. Di sana yang kita temukan adalah tragedi dan kemenangan di kota-kota besar, yang menimpa dan dilakukan orang-orang besar. Maksudku, masing-masing dari kita memiliki orangtua dan tiap-tiap dari mereka memiliki orangtua juga. Kita bisa bertanya kepada mereka, apakah pernah pulau kita tercinta ini ketiban tulah? Apa di sini pernah terjadi tragedi, mungkin seperti perburuan orang-orang komunis puluhan tahun silam? Bisa jadi, ekh em,” tutur Aji seraya memberi jeda, ”kutukan korban di masa lampaulah yang membuat kita harus menanggung ini.”

Ceramah Aji sukses membuat komplotan itu membisu. Mereka tahu. Mereka sungguh tahu. Demi waktu yang telah mengelupas dan roda zaman yang bergerak begitu lambat di Pulau Panjang, mereka tahu: ada perempuan penyihir di Pulau Panjang.

Komplotan tersebut membubarkan diri setelah Joni memberi titah untuk kembali bertemu esok di rumah perempuan celaka. Setelah menyepakati Joni, masing-masing dari mereka bergerak pulang sambil berharap agar teror cuma ada di kepala.

***

Pada malam di mana laut tak mengembuskan angin dan asin, komplotan Joni duduk melingkar di beranda rumah sang penyihir, perempuan sial yang juga orang-orang sebut Perempuan Ikan Asin. Ia ada di dalam, hampir tak mengerjakan apa-apa selain merokok, seperti sengaja membuat mereka menunggu.

Mereka diawasi oleh seorang gadis yang mereka akrabi bertahun lalu kala mereka masih duduk di bangku sekolah dasar: Ani. Ani bau, Ani amis, Ani gembel, juga yang termasyhur, Anista (dari ’Ani’ dan ’nista’). Rentetan predikat yang ia dapat berkat lahir dari rahim Perempuan Ikan Asin. Kehadiran Ani membebat mulut-mulut komplotan Joni yang biasanya cerewet.

”Suruh mereka masuk, An,” teriak ibunya dari dalam, terkesan pongah sekaligus ceria. Benar-benar menyeramkan.

”Duduk,” titahnya pada kelima remaja itu, yang kontan mereka patuhi. Kelima pasang mata menekur ke lantai, seolah-olah kebingungan mengukur tegel dan nasib mereka berikutnya. Konon, Perempuan Ikan Asin bisa membuat orang yang ia kehendaki dijauhi rezeki dan jodoh hanya lewat embusan rokok. Sulit untuk tak memercayai mitos di saat seisi pulau dilanda kutukan yang sama. Bukan perkara sulit baginya untuk mengubah mereka menjadi biri-biri.

”Kami meminta maaf,” kata Joni seraya menangkupkan tangan.
”Untuk apa?”
”Entah, Mak Odah. Kehadiran kami saja sudah mengganggu waktu istirahatmu.”

Tentu saja Joni tak berani memanggilnya penyihir, mak lampir, atau ikan asin.
Mulan, seraya bersikap tunduk, berkata, ”Tak seharusnya kita membencimu. Tak sepantasnya engkau dan Ani kami jauhi, hanya sebab hal-hal yang belum kami ketahui kebenaran dan duduk perkaranya. Kami meminta maaf atas dosa masa lalu leluhur kami.”

”Buat apa meminta maaf atas kesalahan yang tidak kalian buat? Keh, keh, keh. Lucu. Kasihan kalian. Mata diciptakan Tuhan bukan hanya untuk melihat, tapi juga untuk memercayai. Puluhan tahun aku menabung, asal kalian tahu. Keh, keh, keh…. Hartaku telah mereka rampas. Caraku mencari nafkah, sekadar untuk menyambung hidup, sebagai pembuat ikan asin, yang untungnya tak seberapa, telah raib. Dibikin mati oleh mereka dan orang-orang kota. Kutukan inilah tabunganku, dari Ia yang mengasihi dan mengasihaniku.”

Ada jeda kembali. Kelima remaja semakin bingung. Perempuan Ikan Asin rupanya piawai merawat dendam.

”Bukan kalian yang harus meminta maaf, tapi dia, Yasin. Sampaikan kepadanya,” pungkas Mak Odah sambil mengibaskan tangan, sebagai isyarat bagi mereka untuk angkat kaki.

***

”Yakin, masih mau mendengar kelanjutan cerita ini?”
”Tentu.”
”Ujungnya tidak seseram yang mungkin kau terka.”
”Aku tidak menerka sama sekali. Aku ini seorang pendengar yang tekun.”

Bagaimana bisa kukendalikan pikiranku? Engkau begitu cantik dan tubuhmu terlalu molek. Dan, walau malam semakin larut, insting kelelakianku mengisyaratkan ini saat yang tepat untuk melempar dadu.

”Yasin, kepala Pulau Panjang, terlalu tinggi hati untuk mengakui kesalahannya. Baginya, lenyapnya asin di Pulau Panjang merupakan fenomena alam belaka. Mula-mula ia menduga air yang mereka minum teracuni limbah laut—entah minyak, entah sampah kimia. Lalu ia menyiarkan ke penduduk pulau bahwa ini merupakan azab karena mereka masih menghayati agama leluhur. Sebentar. Kau ilmuwan pemerintah, kan? Katakan lagi, apa misimu di sini?”

”Pemanfaatan lahan pulau untuk pemberdayaan masyarakat pesisir. Aku dan kelompokku yakin, secara geografis, gugusan pulau di sini membentuk arus bawah laut yang ganjil. Ada penjelasan ilmiah untuk ceritamu barusan. Kami ingin menawarkan solusi cemerlang bagi rakyat dan ekosistem di sini.”
Maaf, cantik. Aku tidak bisa jujur. OmniCorp membiayai penelitian kami, semata-mata untuk menyingkirkanmu dan dua ratusan penduduk di kepulauan ini.

”Ah.. Bahkan hanya dengan mendengar ocehanmu saja aku telah merasa sedikit pintar. Kalian, pria dari Pulau Besar, memang berbeda.” Sang pria, belum siap diserang, semakin terkejut saat si cantik menyandarkan kepala di pahanya.
Ternyata dadu telah dikocok, dilempar, dan mengeluarkan angka! Angka yang menunjukkan peruntunganku!

Tangannya mulai berkelana dan pagutan pun mulai diluncurkan. Tiba-tiba saja sang pria menjerit kencang. Tenggoroknya mengering, dipenuhi berjubel asin. Lidahnya serasa terbakar dan ia mulai memasukkan apa saja ke dalam mulut demi menghilangkan rasa itu: air, camilan, juga kepalan tangannya sendiri.

Ani, si Cantik, merasa muak. Dari selangkangan yang ia singkap lebar, penderitaan pria itu tampak tak semenarik korban-korban sebelumnya.

”Kalian akan selalu punya dalih apa saja. Awalnya kalian akan menghina mata pencarian dan cara hidup kami. Lalu kalian goda remaja-remaja kami untuk bekerja di pulau lain. Pulau pun akan kehilangan denyutnya, membuat penduduk sisa menyusul sanak saudara yang lebih dulu hijrah.”
Merasa tugasnya telah tuntas, ia menyibak pintu seraya menanggalkan jubah kecantikan kepada sang malam. Lantas Ani pun menyongsong ombak, untuk kemudian bertemu ibunda.

 

Ikuti tulisan menarik Najia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB