x

Matahari mengintip dari balik ilalang

Iklan

Rizky Hadi

Rizky Hadi
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Selasa, 16 November 2021 08:22 WIB

Satu Hati Pada Sebuah Pagi

Kamu tahu kenapa fajar itu indah? Karena dia muncul saat peralihan antara gelap dan terang. Betapa menakjubkannya bagaimana langit melukis dirinya menjadi sebuah kesatuan warna yang cermerlang. Fajar dengan warna kemerah-merahannya selalu menyisihkan tempias cahaya yang jatuh di mata kita. Dia selalu memancar adiwarna, memberi penghidupan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara mengenai keindahan, aku selalu saja tak menemukan sesuatu yang kuharapkan. Kehancuran hati dan perasaan. Berkeretak pada cangkang, perlahan pecah berantakan, lantas tercerai dan menghambur begitu saja. Kesenangan atas hal indah yang kulihat pada diri orang-orang, tak pernah kurasakan seutuhnya.

Di bagian peristiwa tertentu, sebuah keindahan bisa saja membuat seseorang lupa atas segala yang mungkin tidak bisa dinalar. Akan tetapi, di bagian yang tersisihkan, jarang diperhatikan, justru keindahan akan menjadi bumerang. Menabrak tanpa tedeng dan berputar melawan waktu. Inilah yang terjadi padaku. Keindahan dalam konteks cinta yang kerap meninggalkan goresan.

Aku seorang perempuan yang mudah kagum pada hal apa pun. Sesuatu yang biasa dianggap remeh orang-orang, bisa jadi akan menjadi sesuatu yang menakjubkan untukku. Aku pernah terpesona pada keakraban yang acap terjadi di stasiun. Bagaimana antar orang bisa bercengkerama secara mengalir tanpa jeda, bertukar informasi diri, menggali pembicaraan sederhana. Padahal mereka sebelumnya tidak pernah saling bertemu, apalagi mengenal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Segala hal pasti ada konsekuensi yang mengekor. Konsekuensi yang kudapat dari kekagumanku adalah mudah jatuh cinta.

Dua kali sudah aku gagal dalam merangkai asmara. Dalam kacamata orang, bertukar rasa hingga berakibat cinta adalah pekerjaan mudah. Banyak pasangan yang telah membuktikannya. Mereka berbalas pandang, saling berkomitmen, menikah, beranak pinak. Tetapi aku selalu gagal pada tahap antara berkomitmen dan menikah.

Kegagalan cintaku yang pertama akibat ketidakcocokan antara aku dan calon mertua. Lebih tepatnya calon mertua tidak ingin mempunyai menantu sepertiku. Dia menginginkan calon menantu yang pintar, kaya, dan mempunyai gelar. Sementara aku hanyalah seorang perempuan yang tak pandai dalam akademik, sederhana, dan tak pernah mengenyam bangku perkuliahan. Sementara ihwal pekerjaan rumah, aku boleh diadu dengan siapa pun. Sayang, calon mertuaku tak ingin menantunya nanti lihai dalam memasak, merawat rumah.

Aku berusaha menuruti saran orang-orang bahwa jika ingin mengambil hati calon mertua, maka belikan apa yang dia sukai. Pernyataan tersebut hanyalah omong kosong yang menjadi warisan turun temurun. Beberapa kali aku berusaha menyogok dengan pepes ikan, martabak, buah pepaya, dan semua makanan yang disukainya. Semua itu mental seolah tertahan oleh pagar besar.

Sebaliknya, yang dilakukan pacarku sudah lebih keras untuk membujuk ibu dan ayahnya. Dia menuruti apa yang orang tuanya mau. Mencari celah sekecil mungkin supaya bisa menikah denganku. Bahkan dia sampai mengancam akan keluar dari rumah jika tak diizinkan menjalin hubungan yang serius denganku. Semua itu juga tak bisa menembus keteguhan hati kedua orang tuanya.

Seorang perempuan tidak boleh mengganggu hubungan antara si pacar dengan orang tuanya. Prinsip itu yang kupegang kuat. Sebab itu, aku perlahan menjauh dari pacarku, menghilang bagai ditelan ombak.

Kegagalan cintaku yang kedua dikarenakan oleh sebuah peraturan tak tertulis yang sama sekali sulit dimengerti. Peraturan – lebih tepatnya perjanjian – ini dibuat berpuluh-puluh tahun lalu, yang tidak ada sangkut pautnya pada zaman sekarang tetapi akulah yang harus merasakan imbasnya.

***

Cerita ini kudapat dari bapak sesaat setelah aku memberitahu niat baikku untuk menikah. Buyutku adalah seorang tetua desa yang sangat dihormati. Orang-orang biasa memanggilnya Embah. Selain dituakan, dia juga seorang ahli dalam beragama. Seluruh acara yang berkaitan dengan keagamaan pasti yang memimpin adalah Embah. Dia juga kerap dimintai tolong menyembuhkan orang yang sakit keras. Konon, bacaan doa-doa yang terucap dari mulutnya sangat manjur sebagai penangkal.

Dia juga orang yang cukup kaya. Mempunyai sawah luas, yang semuanya disewakan kepada orang-orang. Selain itu, dia sering membantu orang kelaparan dan para fakir di desa. Bahkan satu dari tiga rumahnya diberikan kepada desa untuk menampung orang miskin atau pun para musafir yang sejenak singgah.

Embah dikaruniai delapan orang anak. Jumlah yang wajar untuk ukuran orang zaman dulu. Dari kedelapan anaknya tersebut, lima di antaranya laki-laki. Dan satu di antara anak laki-laki ini yang menjadi garis lurus peristiwa ini.

Pada siang bolong, seorang sahabat Embah datang dengan muka merah sembari membawa arit. Dia mencari salah seorang anak Embah – tepatnya anak ketiga Embah. Suaranya berdentang-dentang, memaki, mengumpat, semua kata-kata kasar diucapkannya. Embah yang tengah berbaring di dalam rumah akhirnya keluar, menanyakan sebenarnya apa yang terjadi. Belum sempat Embah membuka mulut, sahabat Embah langsung mengarahkan arit yang dipegangnya ke badan Embah. Beruntung, Embah berhasil menghindar.

Embah yang tidak tahu menahu tentang duduk perkara mencoba menenangkan sahabatnya itu. Namun sahabatnya terus berontak, memanggil nama salah seorang anak Embah. Setelah beberapa saat, sahabat Embah tersebut sedikit bisa tenang. Belum pernah Embah melihat sahabatnya itu marah sejadi ini, seperti singa yang siap menerkam hidup-hidup mangsanya.

Sahabat Embah menjelaskan bahwa anak ketiga Embah telah memperkosa anaknya yang masih perawan hingga mengakibatkan trauma dan murung. Embah yang mendengarnya diam seketika, tak bisa berkata apa-apa lagi. Lemas mengerubuti seluruh badan. Dia seolah tak percaya bahwa anaknya bisa melakukan tindakan keji tersebut, lebih-lebih terhadap anak sahabatnya sendiri. Mendengar cerita dan kejadian ini, aku pun bisa mengerti perasaan Embah saat itu. Bagaimana perasaan seorang orang tua jika anaknya telah mencoreng kedaulatan keluarga.

Beberapa saat kemudian, anak ketiga Embah datang dan langsung disambut hantaman keras di wajahnya oleh sahabat Embah. Sekejap pertengkaran pun terjadi. Embah masih tercenung, tak bisa berbuat banyak. Para warga satu per satu datang melerai. Mereka juga kaget dengan peristiwa yang terjadi. Jarang sekali ada pertengkaran hingga menimbulkan saling baku hantam.

Setelah berhasil dilerai, penyelesaian masalah secara damai terjadi. Sahabat Embah menjelaskan tentang apa yang terjadi. Anak ketiga Embah yang awalnya tak mengakui perbuatannya akhirnya mengungkap perbuatan tak kemanusiaannya. Dengan suara lirih, dia beralasan bahwa apa yang telah dibuatnya terjadi karena dasar rasa suka sama suka.

Sahabat Embah tak terima dan meminta pertanggungjawaban ke Embah sebagai orang tua. Embah yang seorang tetua desa dan orang yang mengerti agama menawarkan untuk menikahkan anaknya dan anak sahabatnya. Menurutnya, itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. Usulan itu langsung ditolak oleh sahabat Embah. Dia berkata bahwa jika hal itu terjadi, maka akan menguntungkan pihak Embah saja.

Kemudian sahabat Embah berbalik melemparkan perjanjian tidak tertulis. Bahwa dia meminta ganti rugi atas anaknya dengan separuh luas tanah yang dimiliki Embah serta perjanjian yang berisi bahwa antara keturunannya dan keturunan Embah, kelak tak boleh melangsungkan pernikahan. Seketika Embah langsung geram, merasa diperas. Dia langsung memutar otak untuk mencari jalan tengah atas masalah ini.

Sahabat Embah memberi waktu hingga satu bulan untuk memikirkan tawarannya. Embah dilanda stres berhari-hari. Sampai suatu hari, tenggat waktu pun tiba. Embah mengambil jalan tengah. Dia tetap akan memberikan tanahnya tetapi hanya seperempatnya saja dan juga akan tetap melaksanakan perjanjiannya asalkan sahabatnya mau menyerahkan anaknya untuk menikah dengan anak ketiga Embah.

Kata bapak, zaman dulu perjanjian adalah suatu hal yang sakral. Setiap orang yang melanggar, mereka percaya bahwa alam yang akan membalasnya secara perlahan. Perjanjian antara Embah dan sahabatnya pun dibuat, mereka berdua akhirnya bersepakat. Sumpah jabat tangan pun dilakukan.

“Sebegitukah efek dari masalah yang melibatkan sahabat?” pikirku.

Sekarang runtutan peristiwa itu mengarah kepadaku. Aku menjalin hubungan dengan seorang laki-laki dari desa tetangga. Kita berdua berniat untuk melangsungkan pernikahan. Ketika aku sampaikan rencana kepada bapak yang sekaligus menjadi waliku, dia menolaknya. Rupanya saat aku mengenalkan pacarku kepada bapak, dia berhasil mengulik asal keturunan pacarku.

Tak ada yang bisa aku perbuat banyak setelah itu. Sebenarnya keluarga pacarku sudah tak mengindahkan perjanjian itu. Tetapi bapakku masih memegang erat. Pikiran bapak masih sama dengan orang zaman dulu. Setiap janji harus dilaksanakan. Aku yang tak mau melawan orang tua, apalagi bapak, akhirnya menuruti kemauannya. Aku harus rela melepaskan pernikahan itu, lagi.

***

Di setiap kegagalan cintaku, aku selalu pergi ke sebuah balai yang ada di tepi sawah pada pagi buta, sebelum subuh. Balai dengan lima tiang penyangga. Empat di setiap sudut dan satu menjadi poros tengah. Dingin masih menyergap, embun mulai turun. Dari pandanganku hanya nampak hamparan padi yang menunduk, menguning.

Aku belum tidur. Kalau sedang kacau seperti sekarang, mataku tak akan mau terpejam.

Balai ini seperti diriku. Hampa dan sunyi. Aku selalu menunggu saat-saat fajar mulai terlihat di kaki langit. Saat semburat kemerah-merahan terpancar di atas garis cakrawala, saat itulah waktu terindah untuk meminta permohonan kepada Tuhan. Pada waktu itu juga, seluruh tumbuhan seakan mempunyai napas baru.

Aku selalu berdoa kepada Tuhan bahwa suatu hari akan diberikan satu hati yang bisa menetap bersamaku, tanpa tedeng orang tua dan tanpa tabir perjanjian. Semoga.

“Tempat ini memang indah pada pagi hari.” Seseorang berkata pelan.

Aku menengok. Seorang laki-laki yang kira-kira sepantaran denganku. Memakai jaket merah, tangannya dimasukkan ke saku jaket. Dia duduk di sebelahku. Aku tak tahu kapan kedatangannya.

“Kamu tidak salah memilih waktu dan tempat. Jika kamu mencari keindahan, di sinilah tempatnya. Segala pengharapanmu bisa dimulai di sini. Di saat pagi buta, saat orang lain tengah khusyuk dengan mimpi, sementara kamu meminta pengharapan kepada Tuhan. ” Dia berkata lagi, kali ini sembari menatap langit yang masih gelap.

Aku tak pernah melihat laki-laki ini. Bahkan di saat aku kerap ke sini. Laki-laki tenang dengan filosofinya sendiri. Dia menumpahkan semua pandangannya ke langit.

“Aku selalu menjadi penghuni tempat ini di kala sedih. Tempatku bukan di sini tapi di balai ujung. Di sana, bahkan kamu bisa naik ke atasnya. Melihat fajar matahari terbit dengan lebih indah. Mungkin aku pergi, kamu baru datang. Atau malah sebaliknya. Itulah mengapa kita belum pernah bertemu. Tapi aku kerap melihatmu di sini.”

Sedari tadi, aku belum mengeluarkan suara. Namun perkataannya seakan menjawab semua apa yang ingin kutanyakan kepadanya.

“Kamu tahu kenapa fajar itu indah? Karena dia muncul saat peralihan antara gelap dan terang. Betapa menakjubkannya bagaimana langit melukis dirinya menjadi sebuah kesatuan warna yang cermerlang. Fajar dengan warna kemerah-merahannya selalu menyisihkan tempias cahaya yang jatuh di mata kita. Dia selalu memancar adiwarna, memberi penghidupan. Dia tak pernah berdusta. Dia selalu ada setiap harinya. Dan dia yang pertama kali menyambut harapan kita bersama dunia,” tandasnya.

Garis bentang kemerah-merahan mulai kentara. Dengan awan, langit, dan bias cahaya lembut. Detik-detik terbaik segera hadir. Menikmati matahari yang baru merekah dan akan terus merekah. Aku menoleh ke laki-laki itu. Kami saling pandang, cukup lama. Aku melihat fajar di matanya. Fajar yang indah, yang pertama kali kulihat di tempat yang tak biasa.

 

Tulungagung, 24 Mei 2021

Ikuti tulisan menarik Rizky Hadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler