x

Iklan

Agus Buchori

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Rabu, 17 November 2021 06:04 WIB

Humanis Menikam Pemabuk yang Kencing di Musala

“Buat apa rajin salat kalau masih sering menyakiti orang lain. Mengambil hak orang lain. Menipu orang lain dan masih banyak lagi. Yang penting orang harus memanusiakan orang lain,” katanya saat aku menanyakan kenapa ia tak lagi menjalankan salat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yogyakarta selalu menjadi tempat yang menarik buatku. Kelangenan di warung angkringan dengan warga kampung dengan berbagai latar belakangnya. Sambil ngobrol ngalor ngidul tanpa melihat latar belakang para pembeli saling srawung ngomong tentang pekerjaan, politik, kadang pun main kartu.

Tempat aku kos memang di tengah salah satu kampung di pinggiran kota.  Meski di pinggiran tapi akses ke kota sangat dekat. Di seberang jalan bahkan ada Hotel hasil rancangan Bung Karno yaitu Hotel Ambarukmo. Jika aku berjalan sepuluh menit ke barat aku malah bisa menikmati lukisan maestro lukis Affandi. Betul-betul suasana yang membuatku sangat kerasan menjadi warga Yogyakarta.

Sudah satu minggu aku main dan numpang tidur di kos temanku, Probo, yang berada di pinggiran Yogya,  persisnya di Gowok, Sleman. Kebetulan liburan semester ini aku tidak pulang kampung. Aku ingin menyempatkan diri untuk mengisi liburan dan berkunjung ke teman-temanku yang kebetulan juga tidak pulang kampung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepanjang aku main dan tinggal di sana,  belum pernah sekalipun aku  menyaksikan temanku itu melaksanakan salat padahal ia muslim. Di kamarnya ada sajadah tapi jarang dipakai hanya tersimpan di almari. Mungkin  sajadah itu hanya terpakai ketika aku ke sana. Jadi bisa dibayangkan,  ketika Aku pertama kali memakainya baunya seperti debu karena terlalu lama tersimpan di almari kayu.

Probo memang tinggal sendiri di kamarnya,  dia hanya pulang sekali  ke kampung halamannya. Dan itu sudah dilakukannya semenjak tiga tahun lalu, saat ia mau ujian skripsi.  Menurut teman sekampungnya ia masih keturunan santri karena kakeknya mempunyai pondok pesantren.  Di Yogya selepas lulus kuliah, ia berprofesi sebagai penulis lepas untuk beberapa harian surat kabar.

Sebagaimana biasanya, kedatanganku ke tempat Probo hanya untuk sekedar melepas kangen dan bertanya perihal tulis-menulis padanya. Maklum, sejak kuliah aku sudah mengidolakannya karena tulisannya sering tembus media massa. Tulisannya sangat enak dibaca dan  temanya juga sering menantang. Ia sering mempertanyakan ajaran agama dalam tulisannya.

“Gimana, Ton, kabarmu. Kenapa tak pulang kampung?”

“Nggak, aku ingin main-main di Yogya dan bersilaturrahim ke tempat teman-teman yang lain.”

Probo adalah orang yang pertama mengingatkan aku untuk mengambil kesempatan jika ada sebuah lowongan di kota kelahiranku, sebagai ASN saat aku lulus nanti. Menurutnya aku adalah orang yang mempunyai  tipe karyawan jadi sangat cocok apabila menjadi Aparatur  Sipil Negara. Dia menganggap aku adalah tipe manusia penurut yang patuh pada aturan walaupun menurutnya aku termasuk orang yang pintar tapi tidak bakal bisa berkembang karena sifat penurutku itulah yang mengunci kreativitasku, katanya suatu ketika.

Terlepas dari segala kebaikan maupun kesederhanaan yang Probo tunjukkan selama berteman denganku, sebenarnya ada kesedihan yang mengganjal di hatiku terhadapnya. Ia jarang salat bahkan bisa dikatakan tidak pernah, padahal sekali lagi aku tegaskan ia Islam bahkan santri pula. Keluarganya islam, ayah dan ibunya juga muslim, tidak seperti keluarga gado-gado lainnya yang biasa aku temui di daerah Yogya- suami islam dan istri non muslim atau sebaliknya.

Menengok latar belakangnya yang demikian, bisa dikatakan Probo berasal dari keluarga muslim yang kental. Kakek neneknya pendiri pondok pesantren. Bapak dan ibunya juga berhaji. Probo juga pintar mengaji Alqur’an. Dibandingkan dengan aku sepertinya lebih lancar temanku itu dalam membaca Alqur’an. Tapi persoalan yang mengganjal di hatiku cuma satu mengapa ia tidak mau salat.

Sebenarnya ketika aku pertama kali ketemu dengan Probo, saat awal kuliah dulu ia masih belum seperti ini. Setiap waktu salat ia tak jarang sering mengajak aku ke musala kampus bersama untuk berjamaah. Namun semenjak ia sering membaa buku-buku yang radikal ditambah pergaulannya dengan teman-temannya yang bergaya Hippies ia sedikit mulai berubah pemahamannya tentang agama. Humanisme adalah kosa kata yang sering ia katakan kepadaku.

Humanisme telah melupakannya dari pemahaman agama. Baginya dalam hidup ini yang penting adalah berbuat baik dengan sesama, persetan dengan ritual agama.

“Buat apa rajin salat kalau masih sering menyakiti orang lain. Mengambil hak orang lain. Menipu orang lain dan masih banyak lagi. Yang penting orang harus memanusiakan orang lain,” katanya saat aku menanyakan kenapa ia tak lagi menjalankan salat.

Dia tidak menyadari bahwa pemikiran seperti ini berbahaya dikarenakan ia tidak pernah merasa bersalah. Kebiasaan dari penganut aliran humanisme adalah baik kepada orang lain tetapi tidak menyayangi diri sendiri. Mereka banyak yang hobby mabuk. Gemar melacur. Gemar berjudi dan masih banyak lagi. Yang penting prinsipnya dalam hidup ini jangan membuat orang lain menderita. Kalau diri sendiri yang menderita tak apalah.

“Jangan dikira aku tak pernah ingat Tuhan walaupun aku tidak pernah salat, Ton,” jawabnya ketika aku suatu ketika mengajaknya untuk salat.

Eling sing nggawe urip iku dalane akeh, Ton,” tambahnya waktu itu. Aku hanya tersenyum kecut tidak bisa lagi berbantah dengannya. Dengan hati agak kesal akupun membalasnya “Salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, kawan.”

Saat itu ia semakin sengit membalas pernyataanku menurutnya apakah para koruptor, pembunuh, penculik, penjudi dan sebagian pelaku aneka jenis kejahatan yang lain di negeri Indonesia tercinta ini semua tidak pernah salat? Bukankah mereka semua adalah tokoh-tokoh masyarakat juga tokoh agama bahkan di antara para koruptor itu ada yang sudah haji. Dia malah memberi pertanyaan padaku waktu itu, “Apakah mereka bisa menghindar dari perbuatan keji dan mungkar padahal mereka semua adalah orang-orang yang secara kasat mata adalah ahli salat.”

Selama satu minggu di tempat Probo aku selalu terngiang-ngiang pada pertanyaan temanku itu. Dalam hatiku merasa apakah dia kecewa dengan perilaku para ahli salat itu. Tapi bukankah hidup ini harus seimbang dalam berbuat baik. Kita harus berbuat baik pada sesama manusia juga harus membina hubungan baik dengan Sang Pencipta.

Setelah memasuki kuliah lagi, aku kembali ke aktivitas seperti biasa. Berangkat ke kampus pagi agar bisa masuk perpustakaan lebih awal. Maklum, Koran dan tabloid di perpustakaan kampus selalu diperebutkan saat hari Senin. Kebanyakan mahasiswa akan berebutan Koran Minggu pada hari Senin karena pada hari itu ada berita budaya dan Sastra. Tak ketinggalan adalah tabloid olahraga jika tak masuk perpustakaan lebih awal bisa tak kebagian.

Keasyikan membaca Koran minggu dan tabloid olahraga adalah sebuah kemewahan yang tak tergantikan  bagi kami mahasiswa dengan ekonomi pas-pasan. Jalan satu-satunya adalah perpustakaan untuk memenuhi gairah membaca kami.

Pagi itu perpustakaan ramai seperti biasa. Namun ada yang aneh, banyak mahasiswa yang berebut membaca sebuah headline dari koran lokal yang biasanya menyajikan berita kriminal. Aku penasaran dan ikut mendekat bersama mereka. Tiba-tiba keringatku dingin. Kaget. Aku melihat dengan jelas sekali headline yang diperebutkan teman-temanku di perpustakaan kampus pagi itu.  Tertulis dengan besar sekali sebuah headline “Probo, Kolomnis Berbakat,  Ditangkap Polisi Karena Menikam Pemabuk yang Sedang Kencing di Dalam Musala

Ikuti tulisan menarik Agus Buchori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB