x

Dara, seorang gadis belasan tahun, menikmati bidadari yang gembira menari dengan latar alam indah yang padat dengan pepohonan.

Iklan

Regina Nikijuluw

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Rabu, 17 November 2021 06:08 WIB

Tarian Bidarari. Nyanyian Alam.

Mengisahkan persahabatan dan kecintaan pada alam dari seorang gadis kecil bernama Samadara. Dia hidup di daerah pedalaman yang jauh dari peradapan kota tetapi dia mencintai apa yang ada. Sampai satu saat ada berita tidak mengenakkan dari ayahnya. Apa yang terjadi? Bagaimana persahabatan dan kecintaan Samadara pada alam?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tarian Bidadari. Nyanyian Alam.

 

Desa Teladan, tempat tinggal Samadara, terletak agak tinggi dari permukaan laut. Penduduknya tidak banyak dan letak rumahpun tidak berdekatan. Jauh dari suasana perkotaan, tidak memiliki mall, hanya pasar rakyat, tidak menyediakan rumah sakit, hanya Puskesmas. Saat gelap menutupi hari, suhu cukup membuat badan menggigil. Rumah Dara, panggilannya, agak tinggi, di tengah kawasan, memungkinkan pandangan menyeluruh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di malam hari, saat gelap menyelimuti, dengkur halus ayah menggema dan suara nafas seisi rumah mengalun perlahan, Dara membalut dirinya dengan selimut dan menyusup keluar melalui jendela kamarnya. Dengan mudahnya dia menaiki salah satu pohon yang tumbuh di halaman rumahnya. Pohon yang menjadi tempat peraduannya. Dara menikmati irama daun bergesekan bagai biola dan aliran sungai yang bergemericik. Dara menutup mata dan mendengar merdunya perpaduan suara alam. Lagu yang selalu menghantarnya tidur.

Tempat dimana aku bersembunyi, menghindari suasana rumah yang tidak bersahabat,” suara yang selalu hadir di hatinya saat dia merebahkan diri. Alam adalah rumah Dara, pohon adalah naungannya. Perpaduan gesek daun dan aliran sungai membuainya.

Alam adalah rumah, itulah dunia. Gesekan daun dan gemericik air memendam lara. Irama merdu menyiram kepiluan di dalam dada. Nyanyian yang menghilangkan kepenatan, memberikan lega. Mengantar tidur, naungan dan penjaga.

***

Lapangan basket sederhana, di lapis tanah dengan garis kapur yang hampir pudar, buatan Kepala Pemuda Kampung, Pak Kristian, menyaksikan kegembiraan lima anak perempuan, berumur awal belasan. Mereka menari dengan lincah memainkan bola basket yang mereka ambil di Kantor Desa. Peluh bercucuran, karena teriknya matahari di siang hari, tidak mengganggu kecerian dan tawa mereka. Kebahagiaan jelas memancar dari wajah mereka.

“Arnes terima bolanya dan langsung lempar,” Dara berteriak sambil melempar bola. Arnes tanpa ragu melontar bola ke ring. Sayangnya, bola melejit keluar.

Lafina, dari group lain, bermain bersama Tira, berhasil menangkap bola dari bawah ring dan memasukkan bola dengan indah. Tim Lafina dan Tira mendapat nilai.

Sementara di sisi lapangan, Naomi, dengan suaranya yang keras, mengumumkan, “Nilai untuk Lafina dan Tira menjadi 16 dan Tim Dara tetap di angka 12.”

Dara sangat menyayangi teman-temannya. Dia jarang sekali melewatkan kesempatan untuk bercengkerama bersama mereka. Baginya, itu merupakan waktu dia melepaskan diri dari situasi rumahnya. Saat bagi dia untuk merasakan kebersamaan sesungguhnya, bukan sandiwara yang dia ciptakan untuk membuat tertawa. Di alam pikirannya, mereka adalah bidadari yang menari-mari.

Bersama mereka aku hadir. Di mata mereka aku bukan patung belaka. Bagi mereka aku nyata. Mereka adalah bidadariku,” pemikiran yang selalu ada di dalam dirinya. Kepada mereka, día selalu merasakan indahnya hidup.

Bidadari itu tulus dan tersenyum nyata. Candanya melipur lara, gerakannya meluruhkan kesepian. Teman bermain yang ditunggu, tempat bercerita yang setia. Tempat membangun percaya diri dan keruntuhan. Rasa percaya diri tercipta. Kebahagiaan terbangun.

Tentunya semua itu tidak lepas dari latar belakang keluarganya. Dara adalah anak ketiga dari empat bersaudara, tiga perempuan dan satu laki-laki. Ayahnya, Givano, selalu sibuk dengan pekerjaan di kantornya, sedikit meluangkan waktu untuk keluarga dan sangat pendiam. Ibunya, Elizabeth, tidak menunjukkan kebahagian hidup karena acuhnya ayah dan hanya mencintai Jethro, adik lelakinya.

Dara jarang mengecap indahnya kasih sayang. Kalaupun mendapatkannya, semua hanya semu belaka. Perbedaan umur tujuh tahun dengan kakaknya, Helnia, dan sepuluh tahun dengan Felara membuatnya tidak dekat dengan mereka. Seisi rumah hanya menyibukkan diri dengan kegiatan mereka. Bahkan ibunya, kadang terlihat membenci Dara. Mungkin karena ibu mengharapkan anak lelaki, tuntutan ayahnya, pada saat melahirkan dia. Dara menjadi pendiam dalam keluarga dan sering tidak percaya diri.

***

Hari Minggu, bukan hari yang ditunggu Dara. Hari yang memenjarakan batin dan jiwanya. Dara harus meninggalkan alam dan tidak bisa menari dengan bidadarinya. Saat dia merasakan kesunyian. Setiap hari Minggu, Ibu selalu memasak menu khusus dan mengharuskan waktu makan siang dilakukan bersama.

Siang itu, sementara suara sendok garpu baru saja selesai berdenting, ayah menyampaikan sesuatu dengan suaranya yang halus namun tegas, “Bulan depan, kita akan pindah ke luar pulau. Kantor memindahtugaskan ayah.”

Suara ayah yang halus, bagi Dara seakan geledek yang menggelagar. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Dara merasa udara serasa tidak ada, nafasnya tersengal, kepalanya berputar, matanya berkunang-kunang.

Lalu bagaimana aku dengan temanku? Siapa yang menjadi temanku di sana? Bagaimana aku mulai membangun hubungan? Bagaimana aku membangun kepercayaan diri?,” tiba-tiba, Dara merasa sangat lelah. Dia membayangkan untuk memulai semua dari awal. Dia mulai merasakan kesepian.

Perlahan, Dara melayangkan pandangannya ke luar jendela. Dia menahan gemuruh dadanya. Jiwanya membumbung ke luar memandang alamnya.

Seperti apa tempatku nanti? Akankah alam kembali melingkupiku? Adakah pohon yang menyembunyikanku? Sungai yang menemaniku? Masihkah bisa terdengar alunan merdu gesekan daun dan gemericik air? Atau aku menghadapi gemuruh mesin dan polusi? Beton dan tiang yang menjadi pandanganku?” Batin Dara menjerit ketakutan.

“Kita harus mulai melakukan persiapan. Waktunya tidak panjang lagi,” suara ayah kembali terdengar mengembalikan Dara ke dunia nyata.

“Apakah sudah disediakan rumah? Sekolah untuk anak-anak? Bagaimana perabot kita nanti,” ibu bertanya. Ternyata ibu juga belum mengetahui rencana kepindahan itu.

Ayah menjelaskan dengan yakin, “Semua sudah disiapkan. Kantor sudah mengatur semuanya. Kita hanya perlu membawa baju dan perangkatnya.”

“Lalu, kita akan pindah kemana, ayah?” Jethro bertanya dengan mata berbinar. Dari pelupuk mata, Dara bisa melihat bahwa pertanyaan itu juga menjadi pertanyaan kedua kakak perempuannya. Dia mempunyai keyakinan bahwa semua saudaranya berkeinginan besar untuk pindah.

Iya, aku tahu. Kalian memang suka keramaian. Kalian mencintai kota. Kalian bosan dengan suasana di desa ini,” suara yang hanya bisa Dara bisikan di dalam hatinya. Dia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkannya. Dia yakin bahwa mereka akan pindah ke kota besar karena ayah naik pangkat.

“Nanti ayah kasih tahu,” jawab ayah yang memang penuh dengan rahasia dalam hidupnya. Dara tidak ingin mencari tahu jawabannya.

Percakapan masih terus berlanjut. Ibu bertanya walaupun tanpa rasa dan penuh keacuhan, saudara-saudaranya penasaran dan ayah menjawab dengan penuh rahasia. Suara yang kembali perlahan hilang dari telinga Dara. Tawa, canda dan tarian bidararinya menggantikannya. Pohon dan air, naungannya, penjaganya, bergoyang-goyang di depan matanya. Hanya itu yang ada dalam pikiran dan pandangannya.

***

Satu bulan bukanlah waktu yang lama. Tentunya Dara tidak menyia-nyiakan kesempatan yang tersisa. Dia menghabiskan banyak waktu bermain bersama ke empat temannya. Dia bukan mencari kesedihan di saat akhir bersama mereka. Dia tidak mengharapkan tangis. Walaupun Dia bisa mengecap kesenduan dan kesedihan yang ada dalam diri teman-temannya.

Akankah kebahagiaan ini aku dapatkan di tempat baruku nanti? Adakah bidadari yang menari bersama aku?” Dara sering memandangi teman-temannya dan berpikir. Kebahagiaan yang Dara belum tahu apakah akan dia dapatkan di tempat barunya.

Saat gelap menyelubungi, bulan tinggi di awan, Dara, memeluk bantal dan memanggul selimut, membuka jendela kamarnya. Dia pergi ke alamnya dan merebahkan tubuhnya. Dia mendengarkan suara gesekan daun dan irama gemericik air sungai nun jauh di bawah. Dara memejamkan matanya untuk menikmati dan menyelami kemerduan. Suara yang membawanya ke awang-awang. Suara yang memberi kedamaian dan keteduhan baginya.

Lirih dia menyapa, “Alamku, aku tidak tahu apakah kita akan bertemu lagi. Aku tidak tahu apakah aku akan mendapatkan tempat seperti ini nanti.”

Tanpa terasa, Dara menangis sesegukan mengeluarkan semua lara yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Dia menanamkan kepalanya di dalam bantalnya. Dia berteriak memanggil bidadari dan alamnya. Dia ketakutan menghadapi dunia barunya. Dara tidak siap menyongsong kepergiannya dan menjumpai tempat barunya.

***

Detak jam tidak pernah berhenti. Matahari dan bulan terus berputar. Hari berganti minggu, waktu tidak pernah mungkir. Dara tidak mengharapkan itu semua tetapi dia harus menerima kenyataan. Semua sudah mulai mengosongkan lemari dan menumpuk kardus di ruang tengah. Mobil besar sudah tiba dan mulai membawa barang-barang.

“Semua akan dibawa pesawat untuk ditempatkan di rumah baru kita,” ayah menjelaskan saat petugas menaikkan kardus ke dalam mobil.

Sampai saat ini, ayah belum menyampaikan akan pindah kemana. Mungkin ayah merasa bahwa itu akan menjadi kejutan yang membahagiakan.

Dara memahami arti yang berbeda dengan kata pesawat, “Berarti jauh!” pikirnya sambil berusaha menenangkan dirinya.

Tentunya, perpisahan yang semakin mendekat dan kentaranya mobil besar mengangkat barang membuat Dara semakin resah. Perasaan sepi di dalam diri Dara meluap. Rasa yang tidak dia tampakkan di depan keluarganya tetapi dia menyampaikannya kepada teman-temannya. Dunia yang dulu penuh keceriaan dan tawa canda, berubah menjadi kesunyian.

Duduk di pinggir sungai, Dara dan teman-temannya terdiam. Semua seakan ikut menyelami kepedihan hatinya. Tak ada kata yang terucap, hanya suara gemericik air sungai. Tawa dan canda sudah lama menghilang. Mereka membayangkan perpisahan yang terasa kental dan dekat. Bidadari tidak lagi menari.

Malam sebelum Dara meninggalkan desanya, dia mengangkat bantal dan selimut. Dia merangkak keluar kamar, waktu untuk berpisah dengan alam. Suara daun tidak terdengar. Gemericik air sungai sangat sayup berbunyi. Kesunyian alam mengayun di dalam pikiran dan telinga Dara. Alam seakan mengerti dan ikut bersedih. Alam memahami kekosongan jiwa yang semakin mendera dan membalutnya. Alam seolah terperangkap dalam perpisahan. Alam tidak lagi bernyanyi.

Suara deru pesawat yang membawa Dara, melaju cepat menuju awan. Di kala tubuhnya terbawa, jiwa tertinggal. Melalui jendela kecil di pesawat, Dara memandang bidadarinya yang semakin kecil dan jauh. Dia mengalihkan pandangan pada alamnya yang menjadi titik hijau dan sungai yang tampak berliuk bagaikan ular.

"Bidadariku, dikala tubuh terbang, jiwaku bersamamu. Tawamu, candamu, gerak-gerikmu. Tarianmu tetap di jiwaku. Alamku, pohonku, sungaiku, gesekan dan gemericikmu. Nyanyianmu kukenang selalu. Kusimpan rapat dalam hatiku.”

Dara bersenandung dalam hatinya yang hampa.

***

Ikuti tulisan menarik Regina Nikijuluw lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler