x

Iklan

Rois Mahad

Bertajuk seni berselimut islami dan mengembangkan sayap ilahi
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Kamis, 18 November 2021 07:07 WIB

Hidayah Tak Pernah Salah

Tuhan mu tidak tidur, berusaha untuk menampakkan sebuah kesungguhan dan pengorbanan untuk sebuah sesuatu dan pasrahkan hasilnya kepada tuhanmu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hidayah Itu Tak Pernah Salah…

 

Pagi berkabut masih menyelimuti bagian bumi yang terletak di tengah kota besar ini. Suara kendaraan seperti tak pernah mati walau dunia berputar berganti malam. Di waktu yang yang masih begitu petang, motor sudah terdengar bersahut-bersahutan dari berbagai arah yang berlawanan. Maklum... itulah sebabnya kenapa aku jarang bisa tertidur nyenyak dalam lingkungan rohis yang cukup termasyhur di kalangan masyarakat di berbagai daerah. Pesantren yang cukup besar dan dihuni oleh ribuan santri ini selalu mengejutkanku dengan beragam warna kehidupan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

            “Allahuakbar, Allahuakbar... Allahuakbar, Allahuakbar...”

 

            Gema adzan shubuh terdengar nyaring membangunkan para pemimpi malam untuk mulai menjalankan kehidupan. Lafadz kalam yang dilantunkan oleh santri pilihan sebagai mu’adzin pesantren ini selalu menyentuh qalbu setiap pendengar. Terlebih di kalangan santriwati, suara sang muadzin selalu menjadi penantian untuk didengar dan diresapi. Bukan karena lafadz adzan yang ia tartilkan, melainkan suara menawan yang ia bunyikan. Yahhh... karena muadzin sang memang orang yang terkenal ganteng, tawadhu’ terhadap kyai, dan sangat cerdas sehingga banyak santriwati yang memperebutkannya, bahkan tiada hari tanpa membicarakan Kang Alwi. Ya, Kang Alwi.... siapa yang tak kenal dengan lelaki asal Palembang yang populer di pesantren besar ini? Dan santriwati mana yang hampir tak kenal namanya? Mustahil jika tak ada yang tahu....

 

            Ulah lucu santriwati di setiap lorong kamar untuk berebut mendengar suara merdu Kang Alwi selalu manghiburku dan membuatku geli untuk tertawa. Dinding pemisah antara asrama putra dan putri di tengah-tengah pesantren ini tetap mampu menghantarkan suara Kang Alwi untuk sampai di telinga santriwati. “Subhanallah... betapa indah suara hamba-Mu ini... Ya Allah... betapa indahnya...”, sorak sorai inilah yang hampir setiap subuh aku dengar.

 

            Namun, bukan suara Kang Alwi yang membuatku selalu terpana mendengar adzan yang terlantun darinya. Melainkan adzan itu selalu mangingatkanku pada awal kedatanganku di pesantren ini.

 

***

 

“Alhamdulillah nduk, kita sudah sampai di pesantren. Setelah 12 jam kita hanya duduk di dalam kereta, akhirnya sampai juga. Mumpung adzan subuhnya baru terdengar, kita mandi dulu lalu sholat dan setelah itu Ibu sama Masmu akan menyowankanmu kepada Pak Kyai”

 

Aku hanya terdiam kesal dan tak menjawab pernyataan Ibuku. Aku tak habis pikir, kenapa Allah tidak adil kepadaku?? Aku cerdas selama sekolah dan di SMA aku menjadi pengisi cerpen beberapa redaksi. Bahkan selama ini aku tak pernah membangkang pada orang tuaku. Aku ingin mengembangkan karya-karyaku agar aku bisa menjadi penulis hebat dengan melanjutkan study di universits sastra yang kuidamkan. Tapi kenapa aku harus menjalankan pemaksaan untuk masuk pesantren? Kenapa Ya Allah?!!! Hatiku benar-benar seperti api yang tak bisa padam dan semakin berkobar bagaikan tersiram minyak setelah melihat kahidupan di pesantren ini. Aku putus asa. Aku hanya diam, sampai di rumah Pak Kyai pun aku tak berkata sama sekali.

 

            “Nduk, tadi kamu dengar kan? Pak Kyai mendo’akanmu semoga krasan di sini...”

 

            “Aku tak peduli dengan do’a itu. Yang jelas aku tak suka di sini!!”

 

            “Syafa!! Jaga ucapanmu di depan Ibu!”, Mas Iwan memarahiku karena ucapanku.

 

            “Nduk, jangan begitu.. Ibu ingin kamu jadi anak yang bisa belajar agama degan baik, bukan belajar di sekolah yang berbudaya barat... Ya nak? Percayalah, tiada jalan agama Allah yang sia-sia. Belajarlah di sini. Ini untuk kebaikanmu, suatu saat nanti kamu akan mengerti. Sekarang Ibu dan Mas-mu akan pulang ke Jogja ”, Ibu meciumku namun tak sedikitpun aku merespon. Langkah mereka semakin tak terlihat. Dan rasanya kakiku ingin mengejar mereka keluar gerbang untuk ikut pulang. Namun,ku tak kuasa.

 

            Sudah hampir 8 bulan aku di sini dan aku belum menemukan keyamanan. Sebenarnya teman-teman di sini baik dan ramah, namun rasa kesalku membuatku enggan dekat dengan mereka. Entah apa yang membuat mereka bisa tetap baik terhadapku walau aku sering mencampakkannya. Tapi tetap saja, kebaikan mereka belum mampu menggoyahkan hasratku untuk bisa keluar dari pesantren ini.

 

            “Fa, ayo kita segera pergi ke masjid. Ustadzah Ana sudah datang. Nanti kita bisa kena takzir kalau telat. Ayo fa”, Eliana menarikku dari atas kasur untuk bangkit. Yeah.. dia memang perhatian kepadaku dan aku lumayan bisa terbuka dengannya karena pribadi kita hampir sama.

 

            Setiba di masjid, seperti biasa aku dan Eliana pasti mencari posisi paling depan karena sudah terbisa duduk di urutan terdepan semenjak masih SD.

 

            “Alhamdulillah Fa, untung saja kita belum telat. Kalau saja kita telat, kamu harus mijitin kakiku yang pegal karena berdiri berjam-jam sambil melantunkan surat hafalan di depan rumah Pak Kyai. Dan aku gak bisa bayangkan Fa, betapa malunya kita ditertawakan santri-santri putra yang sering melewati rumah Pak Kyai karena kita mendapat takzir. Apalagi jika…”

 

“Jika apa? Jika Kang Alwi tahu? Ah dasar ya… apa tidak ada topik lain yang bisa dibahas di pesantren ini selain Kang Alwi?”

 

            Belum selesai perdebatan kecil kami, tiba-tiba Ustadzah Ana datang. Dan mulailah kegiatan qiro’ yang akan berlangsung 1 jam ke depan. Di tengah-tengah pengajaran, Ustadzah pasti akan menunjuk beberapa santriwati untuk mencoba mengulang lagu yang beliau ajarkan. Dan tanpa ku sangka,

 

“Syafa, coba kamu lantunkan lagu bayati qoror dan hijaz yang barusan Ustadzah ajarkan. Agak keras ya, biar teman-teman bisa dengar”, dengan lembut Ustadzah memerintahkanku.

 

“I..i..iya Ustadzah”, aku spontan terkejut dan kulantunkan lagu yang kebetulan cukup kusenangi itu.

 

“Subhanallah, suara kamu ternyata merdu dan empuk Syafa. Kamu memiliki bakat untuk menjadi seorang qori’ dan itu terlihat”.

 

            Aku tak menyangka Ustadzah akan memujiku, dan teman-teman pun tersenyum manis kepadaku. Seusai latihan tiba-tiba beliau memanggilku untuk ke kantor Pesantren. Langsung saja aku hampiri kantor itu bersama Eliana.

 

“Assalamu’alaikum”.

 

“Wa’alaikumussalam Warahmatullah. Syafa, apa kamu tahu kenapa Ustadzah memanggilmu?”. Aku hanya menggelengkan kepala. “Sebenarnya Ustadzah diminta oleh Ustadz Sirojd untuk menunjuk salah satu santriwati sebagai perwakilan lomba qiro’ tingkat kabupaten 1 bulan mendatang. Kalau untuk perwakilan santri, sudah tentu akan diwakili oleh Kang Alwi. Tapi masalahnya dari santriwati belum ada dan Ustadzah baru menemukan, yakni kamu. Nanti Ustadzah yang akan membimbing kamu setiap hari”

 

“Saya Ustadzah? Tapi saya belum pernah mengikuti lomba qiro dan saya tidak yakin”, spontan aku kaget. Aku lomba qiro’? Mana mungkin. Ya Allah, apalagi rencana-Mu?

 

“Kamu pasti bisa Syafa, Ustadzah yakin”.

 

“Iya Fa, aku yakin kamu bisa. Kamu itu cerdas dan suaramu bagus. Kamu punya bakat qiro’. Aku akan selalu mendukung dan menyemangatimu”, Eliana berusaha meyakinkanku.

 

            Berkat dorongan teman-temanku, akhirnya aku mau dan setiap hari aku belajar kepada Ustadzah Ana untuk memperbaiki tekhnikal suara dan mempelajari beragam lagu. Entah apa yang membuatku merasa tertantang untuk mencoba. Aku belajar dengan penuh semangat karena belajar qiro’ itu tak semudah seperti yang kubayangkan. Hari demi hari kulalui dan mulai terlihat ada peningkatan dalam diriku. Hingga akhirnya tiba saat di mana aku harus berperang melawan puluhan qiro’ terbaik dari berbagai kota. Hatiku benar-benar tegang. Tapi aku berusaha menampik kegrogianku. Aku berusaha semaksimal mungkin seperti ketika latihan. Dan setelah aku maju, perasaan lega mengguyurku. Namun, sekali lagi aku harus menahan rasa penasaran karena pengumuman pemenang akan dikirim ke masing-masing pesantren satu minggu lagi.

 

            Waktu itu telah tiba. Lagi-lagi, para santriwati heboh mendengar berita bahwa Kang Alwi menjadi juara pertama lomba qiro’ tingkat kabupaten. Sudah kutebak dan tak heran jika Kang Alwi pasti menjadi pemenang utama lomba itu. Dan aku mulai tak percaya diri pada diriku. Aku mulai memikirkan nasibku. Ya Allah apakah aku kalah?. Ah…ini memang bukan bakatku. Bakaktu adalah sastra, bukan qiro’. Ya Allah kenapa Engkau tak mengizinkan aku untuk mengembangkan bakatku? Apakah aku tak layak mejadi seorang penulis yang hebat? Kenapa aku harus mengikuti lomba dalam bidang yang tak kukuasai?

 

Aku menggerutu dalam diriku sendiri. Namun, tiba-tiba Eliana membuyarkan kekesalanku.

 

“Syafa, Syafa!! Syafa!! Kamu menang! Alhamdulillah Syafa, Kamu menang! Suratnya datang…”

 

“Maksudnya?”, aku masih bingung dengan ucapannya.

 

“Kamu menjadi juara dua qiro’ tingkat kabupaten kemarin… Ini, ini baca surat pengumumannya”.

 

            Mulutku terkunci tak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba pipiku terasa basah oleh air mata. Aku shock. Aku masih tak percaya. Aku menang? Ya Allah, aku menang? Aku langsung bersujud mengucapkan syukur kepada Allah. Aku memohon ampun kepadanya atas semua rasa su’udzonku terhdap segala rencana-Nya. Ampunilah aku Ya Allah, hapuskanlah dosaku. Aku sadar ternyata inilah rahasia-Mu untukku. Sungguh Agung anugerah-Mu. Engkau tahu segalanya yang terbaik untukku. Dan aku menyesal telah bersikap tak sopan pada ibuku kala itu. Ternyata inilah yang ibu maksud, bahwa aku harus sukses dengan jalan agama. Eliana memelukku dan sangat bangga kapadaku.

 

            Setelah kemenangan itu aku semakin mencintai qiro’ dan aku meminta Ustadzah Ana untuk membimbingku pribadi. Aku semakin rajin menjalani latihan dan pembelajaran qiro’ di masjid pesantren. Aku mulai menata hidupku untuk rajin menjalani kegiatan-kegiatan pesantren. Aku mulai akrab dan terbuka dengan semua temanku. Aku juga sering mewakili pesantren untuk lomba qiro’ di berbagai daerah, hingga keajaiban Tuhan itu lagi-lagi datang. Aku menjadi pemenang utama lomba qiro’ tingkat provinsi dan berkat itu aku mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi Islam negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahkan tanpa kuketahui Eliana mengirim karaya-karyaku yang kusimpan rapat-rapat hingga aku mendapat tawaran menjadi penulis di suatu perusahaan. Subhanallah… Allah Maha Agung. Mataku semakin terbuka dan percaya bahwa pesantren mampu lebih unggul dibanding lembaga lainnya. Aku semakin mencintai agama Allah.

 

            “Fa, kok belum wudhu? Udah hampir iqomah lo… ayo cepet wudhu, nanti kita tertinggal jama’ah Subuh”, Eliana membuyarkan semua lamunanku. Kutengok kanan kiri, ternyata kamar sudah kosong dan adzan Kang Alwi yang tadi menjadi kehebohan sudah tidak terdengar. Aku bergegas mengambil wudhu dan lari ke masjid. Suara lantang Pak Kyai dalam mengimami sholat, membuatku bergetar dan semakin terpana oleh ke-Agungan Allah. Jiwa ini merasakan kesyahduan dan ketenangan dalam siraman ayat-ayat Allah. Inilah anugerah-Nya.

 

Seperti biasa, seusai sholat seluruh santri wajib mengikuti kegiatan Qultum. Aku benar-benar mendengar dengan seksama. Dan tak kusadari, ceramah Pak Kyai menancap dalam pikiranku, “Allah itu adil dan tidak pernah tidur. Anugerah-Nya nyata dan ada, jika kita mau meraihnya. Dan Allah memiliki sejuta rencana yang tak pernah kita ketahui. Maka senantiasalah dekat kepada-Nya”.

 

Sejenak aku merenungi kalimat Pak Kyai tersebut dan tiba-tiba aku rindu terhadap ibuku. Ingin aku segera menuju wartel pesantren untuk mendengar suara beliau, padahal baru kemarin sore aku menelvon untuk memberi kabar tentang penerimaan beasiswaku. Dan tepat, qultum akhirnya selesai.

 

“Syafa, mau ke mana? Kok buru-buru sekali? Jangan ninggalin aku dong...”, Eliana menghadangku dengan wajah cemberut yang selalu membuatku ingin mencubit pipi imutnya.

 

“Mau ke wartel pesantren, kangen Ibu”.

 

“Bukannya kemarin sore baru telvon ya? Lagian ini kan masih pagi, wartel buka jam 8. Kamu lupa ya?”.

 

“Oh, iya... Ya sudah kita balik ke kamar saja”, aku ingat kalau hari masih pagi dan hatiku sedikit kecewa. Akhirnya aku dan Eliana kembali ke kamar. Seusai sarapan, lagi-lagi teriakan Eliana dari kejauhan membisingkan telingaku.

 

“Syafa, Syafa! Ayo ikut aku!”

 

“Ke mana El?”

 

“Sudahlah ayo cepat ikut aku”.

 

            Ternyata Eliana mengajakku ke Masjid pesantren. Aku tak banyak tanya. Namun, tiba-tiba langkahku terhenti.

 

“Ibu??”

 

“Assalamu’alaikum Syafa”, tersenyum manis dan menghampiriku.

 

“Wa’alaikumussalam... Ibu dan Mas Iwan kapan datang?”, aku benar-benar bahagia melihat Ibuku berdiri di hadapanku.

 

“Baru saja. Ibu merindukanmu. Makanya kemarin setelah kamu telvon, Ibu memutuskan untuk menjengukmu hari ini. Bagaimana kabarmu nduk? Apa sekarang masih ingin keluar dari pesantren ini?” Ibuku menggodaku dengan pelukan hangat yang amat sangat kunantikan.

 

“Tentu aku sudah nyaman di sini Bu dan aku ingin terus belajar qiro’ agar bisa menjadi qori’ internasional yang membawa nama baik Ibuku”, aku tersenyum malu dan Mas Iwan hanya tertawa melihatku.

 

Ya, aku mencintai pesantrenku. Rasanya hatiku tak ingin pergi dari sini walau sebentar lagi aku harus memasuki UIN Syarif Hidayatullah dan meninggalkan teman-teman ku. Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur kepada Allah setiap usai sujudku di tengah malam. Jalan-Nya memang indah dan tak mampu kuduga.

Ikuti tulisan menarik Rois Mahad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler