x

Iklan

Rayya Mahirah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Jumat, 19 November 2021 06:49 WIB

Pejuang Tangguh

Karya Rayya Mahirah Eddrina Adzraa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

          Kotaku..., sebuah kota kecil yang menjadi bagian dari wilayah Jabodetabek, sebuah kota dengan sebutan Kota Seribu Industri, Kota Sejuta Jasa yang begitu membuatku bangga. Namun siapa sangka, kota dengan julukan Kota Benteng ini menjadi pintu masuk serangan makhluk kecil yang paling dibenci masyarakat dunia saat ini. Dengan santainya ia diam-diam melewati penjagaan ketat kemudian berkemah, liburan, dan membuat peradaban baru yang merugikan manusia. Oh virus yang memorak-porandakan dunia, membuat kita seperti berperang melawan makhluk tak kasat mata, tak dapat dilihat tapi kau nyata.

          “Krrriiiiiinggg...”, bunyi nyaring yang kudengar tiap pagi ini seakan meluluhkan tulang dan memaksaku membuka mata untuk meninggalkan kemenanganku dari pertarungan di alam mimpi. “Oh alarm, kau memenangkan taruhan dengan membangunkanku pagi ini.” Hari ini aku hanya melakukan kegiatan sama yang biasa aku lakukan, dengan alur dan ritme yang sama, hanya itu-itu saja dan terkadang membuatku jenuh. Benar-benar tidak bisa kuhindari, kecuali menambah jam tidurku di ritual hari liburku ini.

          “Krriiingg...”, bunyi ponsel yang membuatku tersentak, berpikir bunyi alarm yang membangunkan kemenanganku di alam mimpi. Oh... ternyata panggilan seluler dari Pak Bos yang suka memberiku banyak pekerjaan sebagai staf HRD di kantorku. Sejenak berpikir, tugas apa yang mau diberikan di hari liburku ini? “Halo Pak Pandu! Selamat pagi, Pak.”, sapaku. “Oh, hai! Pagi juga, hari ini kamu libur kan, Kama?” “Hmm, sudah kuduga.”, sambil kutelan ludah. “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”, tanyaku kemudian. “Hari ini kamu ke kantor, ya, ada meeting penting. Kamu hadir, ya!” “Meeting? Di situasi seperti ini? Kenapa tidak virtual saja, Pak?”, aku mencoba mengelak. “Sudah jangan tanya-tanya, datang saja, ya!”, ucap Pak Pandu mengakhiri panggilan. Hatiku mulai dipenuhi rasa penasaran, hal penting apa yang membuat me time-ku berantakan dan harus menerjang zona merah di tengah perang yang tengah berkecamuk. “Ah, yang benar saja.”, batinku, sambil bersiap-siap dengan prokes yang telah ditetapkan. Tak lupa membawa peralatan wajib, masker, hand sanitizer, serta sarung tangan jika nanti dibutuhkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

          Aku berjalan menyusuri trotoar yang kelihatan lebih lebar dari biasanya, sepertinya para pejalan kaki di sini sedikit berkurang karena lebih memilih rebahan daripada jalan-jalan tak jelas dengan risiko tinggi. Sungguh hari yang sangat tenang dan nyaman, I love it. Setelah berjalan beberapa blok kulihat kafe terbuka dengan pengunjung anak-anak muda yang sedang asyik nongkrong tanpa menggunakan masker atau pelindung lainnya, mereka dengan bebas tertawa dan bercanda. Sungguh, aku tak mengerti apa yang ada di benak mereka. Seakan imbauan dan peringatan pemerintah hanya jadi hiburan dan sanksi sebagai tantangan. Sekilas di seberang jalan kulihat supermarket raksasa yang kini hanya tinggal nama karena telah menutup semua cabangnya di seluruh Indonesia, pastinya ribuan pengangguran makin bertambah di masa yang sulit seperti ini. Dampak pandemi ini betul-betul membanting perekonomian dari yang besar hingga masyarakat kecil. Tak tahu juga bagaimana nasibnya para mantan-mantan karyawan yang di rumahkan itu. Dan tersadarku ketika busway yang setiap harinya berjalan mengelilingi jalanan kota berhenti di hadapanku. Pintu terbuka dan seorang petugas dengan APD lengkap mengarahkan termometer ke dahiku sebagai antisipasi yang sudah biasa dilakukan. Ya, inilah dunia kita yang baru, peradaban kita sudah berubah. Dulu kita bebas bersenda gurau tanpa harus ribet pengap dengan masker, bebas berpelukan dengan sobat atau hanya sekadar berjabat tangan dengan kawan, dan bebas melakukan hal apa pun tanpa perlu curiga kepada orang lain. Kini ketika ada seseorang yang batuk atau bersin saja kita sudah takut dan menghindar. Huff dunia..., kuharap kau akan baik-baik saja.

          Sampailah tepat waktu di kantor ketika beberapa petugas keamanan siap dengan peralatan lengkap, masker, hand sanitizer, dan termometer di samping mereka. Tepat pukul 09.30 meeting dibuka. Kulihat beberapa staf dari bagian departemen lain juga datang. Pak Pandu membuka dengan salam dan disertai laporan tentang kondisi perusahaan. Pada laporan keuangan jelas pada saat ini perusahaan kami sudah merugi kurang lebih 1 tahun lamanya dari sejak awal pandemi. Bagaikan dihantam petir di siang bolong saat ucapan bapak direksi menegaskan bahwa akan ada pengurangan karyawan dalam minggu-minggu ini karena perusahaan sudah tidak bisa berbuat banyak untuk menutup defisit keuangan perusahaan. Semua yang berada di dalam ruangan membisu, aku yakin rasa yang sama denganku juga mereka rasakan.

          “Brakkkk!” Seketika kita menoleh ke sudut meja, di sana ada Pak Bayu yang menggebrak meja. Dengan emosi, ia ucapkan serapah, seakan tak terima kalau seandainya ia yang masuk dalam daftar pengurangan karyawan. Dengan menahan emosi dan air mata, Pak Bayu berkata, “Begini sajakah caranya perusahaan kepada kami?! Kami sudah berjuang bertahun-tahun untuk memajukan perusahaan. Tidak adakah jalan lain yang bisa ditempuh selain pengurangan karyawan?”, sambil kembali duduk dengan wajah nanar. Pak Pandu pun berusaha menjelaskan dengan detail tentang kondisi saat ini. Pandemi ini sudah berjalan hampir 2 tahun, selama 1 tahun terakhir perusahaan sudah menutup semua kekurangan untuk kesejahteraan karyawan. “Maafkan kami bapak-bapak, jika kita tidak mengurangi karyawan maka perusahaan akan tutup total dan kami pun tidak bisa berbuat banyak. Ini semua sudah dirapatkan dewan direksi dan ini pun jalan terbaik yang bisa ditempuh.” Adu mulut juga mengiringi ruangan ber-AC yang sudah menjadi panas ini. Semakin tidak kondusifnya suasana, Pak Pandu mulai meminta keamanan kantor untuk meredam suasana. Meeting akan berlanjut 2 hari ke depan dengan agenda yang sama dan para direksi pun meminta maaf atas semuanya karena semua sudah menjadi keputusan terbaik. Dan meeting pun berakhir dengan damai.

          Lunglai kuberjalan menyusuri trotoar. Entah pikiranku melayang ke mana, terbayang peristiwa di ruang meeting yang menguras emosi jiwa dan raga. Lamunanku seketika buyar mendengar sirine yang meraung-raung terdengar hingga jarak 500 meter. Para petugas yang berpakaian layaknya astronaut itu mulai mendekati tubuh seseorang di pinggir trotoar. Ya Tuhan, begitu banyak cobaan yang engkau berikan kepada kami, pandemi yang belum berakhir dan banyaknya korban. Terlintas di benakku raut wajah teman baikku, “Bagaimana jika mereka yang harus di-PHK, ada yang menjadi tulang punggung keluarga, ada yang single parent, ada yang punya balita, dan ada aku….” Aku adalah kakak seorang adik yang masih bersekolah, aku adalah anak yang mencari nafkah untuk ibu dan adiknya. Begitu berat dampak pandemi untuk kami yang bukan dari kalangan menengah ke atas.

          Pandemi ini melantakkan pejuang-pejuang keluarga, yang di pasar, di terminal, di laut, di jalanan, dan juga berdampak kepada pejuang garda depan. Ya, nakes-nakes kami yang harus rela berjuang menahan rindu untuk berkumpul bersama keluarga karena tugas yang harus mereka lakukan dan masih banyak lagi yang harus berjuang. Kita semua berjuang demi memutus rantai penyebaran.

          Untuk kami, setidaknya sedikit bersyukur karena masih punya ijazah dan tempat tinggal. Entah mereka yang mencari nafkah di jalanan atau yang masih hidup kekurangan pasti akan lebih berat lagi. Namun, hidup mesti berjalan dan harus dijalani. Tersadar aku dari lamunku dan kuhela napasku panjang, “Kama Madali! Tegakkanlah hatimu, patrikanlah mimpimu, bahwa kau harus tetap bertahan, harus tetap bersabar, dan harus terus berjuang!

 

 

Ikuti tulisan menarik Rayya Mahirah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler