x

Iklan

Rosyid H. Dimas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 November 2021

Minggu, 21 November 2021 18:22 WIB

Lycoris Radiata

Cerita pendek ini diikutsertakan pada lomba cerpen Indonesiana. Cerpen ini terinspirasi dari sebuah sonata berjudul Lycoris Radiata yang digubah oleh Spike.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

     Ruangan ini masih segar menguarkan aroma kematian. Lacrimosa, sonata terakhir Mozart yang terdengar seperti suara kepak sayap-sayap malaikat, mengalun dari piringan hitam di atas sebuah gramofon tua yang sedikit berdebu. Tidak ada karangan bunga. Tidak juga doa dari para pelayat yang membalut tubuh dengan jubah duka cita. Namun, untuk seorang perempuan yang tidak lagi menjadi muara cinta bagi lelakinya, perkabungan semacam itu sudahlah paripurna.

    "Franz meninggalkan ini untukmu," aku memecah kebisuan. Kuulurkan lembaran-lembaran kertas partitur kepada Alesha di seberang meja. "Lycoris Radiata. Dia menulisnya beberapa hari sebelum menembak kepalanya sendiri.”

     Alesha meraih kertas partitur dari tanganku. Gerakan lengannya tenang seperti ranting dedalu di sebuah sore saat angin mati. Dia menelitinya sebentar dan sesaat kemudian kulihat air mukanya menjadi semakin dingin lalu membeku. Meski kematian Franz juga menimbulkan lubang yang menganga di dadaku, tapi aku tidak mampu menembus kesedihan Alesha. Mencoba menakar kesedihannya justru membuatku dihinggapi perasaan berdosa yang bertubi-tubi sebab telah merenggut lelaki itu darinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     "Jika berkenan, bisakah Anda menceritakan semua hal yang terjadi saat Anda dan Franz pergi dari kota?" Alesha memandangku dengan tatapan permohonan.

     "Tapi, aku takut itu akan melukai perasaanmu."

     "Mungkin. Tapi, mengetahui sebuah kebenaran, itulah yang saya butuhkan saat ini."

    Aku menangkap bayang-bayang kesedihan yang begitu besar di balik mata Alesha. Alunan Lacrimosa yang kini menelusup ke telingaku dan menghunjam ke dalam relung dadaku, serta-merta membangkitkan keparcayaanku kepada hari pengadilan meski hanya samar-samar. Akhirnya aku menyerah pada mata Alesha yang sepenuhnya layu, lantas bercerita tentang kepergian suaminya.

***

     Malam itu Franz memasuki apartemenku dengan keadaan yang menyedihkan. Wajahnya memerah, rambutnya acak-acakan, dan pakaiannya kumal seperti seseorang yang tidak mengurus diri selama beberapa hari. Dia mencampakkan tas dan jasnya begitu saja ke sebuah kursi lalu mendudukkan dirinya di depan piano dengan wajah murung. Franz lalu menaruh jari-jarinya di atas bilah-bilah tuts. Dan dengan nada pertama yang lantang, seperti sebuah emosi yang diledakkan, dia memainkan movement ketiga dari Moonlight Sonata Beethoven. Dia melakukan permainannya dengan sangat buruk. Bahkan, seandainya seorang kritikus musik mendengar cara bermain Franz malam itu, dia tidak akan percaya kalau itu dimainkan oleh seorang pemain piano terkenal.

     Ketika permainan itu selesai, aku mendekati Franz lalu merangkul bahunya.

     "Kau terlihat buruk sekali malam ini," ucapku di dekat telinganya.

    "Bajingan itu!" seru Franz dengan suara penuh amarah. "Telah membongkar skandal kita kepada publik!"

     Aku tahu siapa yang dimaksud Franz dengan kata bajingan itu. Orang itu pemain piano terkenal seperti Franz; seorang lelaki yang sama dengan yang dia ceritakan saat memainkan Valse Sentimentale Tchaikovsky beberapa minggu sebelumnya.

     "Dia sengaja melakukan itu?" tanyaku.

   "Ya, untuk menghancurkan karirku." Franz diam sejenak. Dia kembali meremas rambutnya. "Semua jadwal bermainku di musim panas telah dibatalkan seluruhnya."

     "Semuanya?!" aku mundur selangkah dari Franz. "Apa hubungan kita seburuk itu di mata orang lain?"

     "Bagi orang-orang bodoh itu dan norma-norma di kota ini, hubungan kita adalah hubungan iblis. Padahal, yang iblis adalah pikiran mereka sendiri. Mereka itu orang-orang bodoh! Bodoh!"

     Franz memaki habis-habisan. Aku telah terduduk lesu di kursi dengan isi kepala yang keruh. Semalaman kami bertekur dengan kebingungan masing-masing. Sesekali kami saling menuang anggur ke dalam sloki tanpa berbicara sama sekali. Pada keesokan harinya, ketika aku terbangun dengan rasa pening di kepala, aku membuka telepon dan menemukan berita tentang skandal kami telah terbit di berbagai media. Dari sana juga aku tahu kalau Franz telah dihapus namanya dari daftar pemain piano oleh sebuah lembaga seni dengan mengatasnamakan kepentingan moral. Dia dilarang bermain di mana pun seolah-olah Franz adalah seekor anjing pembawa penyakit mematikan. Ketika Franz terbangun dan kutunjukkan berita itu kepadanya, dia hanya diam dan tidak berkomentar apa pun.

     Hari itulah Franz berubah seluruhnya. Dia menjadi lebih banyak diam dan tidak pernah keluar apartemenku meski hanya sekadar melongokkan kepalanya dari balkon. Jiwanya seperti telah direnggut, serupa pohon tilia yang tumbang saat malam hujan berbadai. Sesekali dia menyentuh piano, tapi yang dimainkannya selalu lagu-lagu yang penuh dengan nuansa kesedihan. Dia memainkan Serenade Schubert, Le Mal Du Pays Liszt, Prelude dan beberapa bagian Nocturne Chopin, Adagio Bach, dan yang lebih sering adalah movement pertama dari Moonlight Sonata Beethoven.

     Sebab dari hari ke hari Franz semakin terlihat murung, aku akhirnya memanggil seorang dokter ke apartemenku. Dokter yang sudah kukenal baik itu tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui bahwa Franz sedang mengalami goncangan pada jiwanya.

   “Ini sering terjadi ketika seseorang kehilangan sesuatu yang begitu penting dan sudah diperjuangkan sejak lama sekali,” ucap dokter itu kepadaku. “Seharusnya dalam satu atau dua bulan, seseorang bisa pulih dari keadaan semacam ini. Tapi, apa yang terjadi kepada Tuan Franz bukan hanya persoalan karir. Hubungan percintaannya dengan Anda yang kini diketahui oleh banyak orang, saya pikir itu lebih mengganggu jiwanya. Saya bersyukur Anda tidak jatuh ke jurang yang sama seperti Tuan Franz.”

    “Apa yang harus saya lakukan agar Franz cepat pulih, Dokter?” tanyaku diliputi perasaan khawatir.

     “Akan lebih baik jika Anda membawanya pergi dari kota sementara waktu. Mungkin, ke sebuah desa yang tidak pernah mendengar tentang skandal kalian berdua. Itu akan cukup membantunya dalam pemulihan.”

     Keesokan harinya aku membawa Franz pergi dari kota. Kami melakukan dua hari perjalanan hingga sampai di sebuah desa yang hanya sibuk dengan kebun anggur dan peternakan. Di sana kami menyewa sebuah rumah kecil dengan seonggok piano tua.

     Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan kota, keadaan Franz semakin hari kian membaik. Dia mulai sering berbicara meski tetap memainkan piano dengan lagu-lagu yang menggambarkan kesedihannya. Dan ketika Franz mulai mengizinkan wajahnya disentuh cahaya matahari lebih lama, aku sering mengajakknya menyibukkan diri dengan mengunjungi peternakan penduduk, berjalan-jalan di sepanjang kebun anggur, mengikuti kegiatan sebuah kelompok menembak, dan sesekali duduk di tepian sebuah telaga kecil tempat angsa-angsa jinak mengambangkan diri saat sore sebelum senja turun—yang mengingatkan kami pada Swan Lake Tchaikovsky.

     Suatu kali, ketika keberadaan kami genap sebulan, sebuah keluarga mengundang kami pada pesta pernikahan anak sulungnya. Karena mereka secara tidak sengaja pernah melihat permainan piano Franz dari jendela saat melewati rumah kami, dia diminta untuk memainkan barang satu-dua lagu. Awalnya itu berjalan baik-baik saja. Franz memainkan Passacaglia Handel yang membuat beberapa orang, termasuk si pengantin, menari berpasang-pasangan meski itu bukanlah sebuah waltz. Mereka menari begitu rupa; berhimpitan badan, melakukan gerakan memutar, menciptakan derap langkah kaki, dan membuat gerakan-gerakan lain yang akhirnya ruangan itu berubah serupa pesta para bangsawan Prancis masa dulu.

     Mungkin karena keramaian, permainan Franz akhirnya berubah seperti saat dia tiba di apartemenku malam itu, lalu berhenti. Mungkin dia membayangkan sedang berada di sebuah gedung orkestra di hadapan banyak orang yang membuatnya kembali mengingat karir yang telah direnggut dengan cara tidak terhormat. Mungkin dia kembali mengingat skandal kami yang telah diketahui banyak orang di kota. Franz mengalami goncangan hebat. Dia mengacak-acak rambutnya dan tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan. Semua orang panik dan memandang Franz dengan tetapan ngeri. Aku menghampiri Franz dan memeluk tubuhnya, berusaha memberikan ketenangan. Namun, sesaat kemudian dia pingsan seperti salah satu tokoh novela Chekhov yang bernama Laevsky.

     Setelah kejadian itu Franz kembali tenggelam di lautan kebisuan, tapi kali ini lebih dalam dan mengerikan. Dia tidak lagi menyentuh piano dan seolah-olah telah menceraikan benda itu dari hidupnya. Namun, meski dia tidak lagi mendudukkan dirinya di depan piano, Franz masih bisa mendengar kesalahanku dan membetulkannya saat aku mencoba menarik kembali minatnya dengan memainkan Fur Elise. Akhirnya liburan yang kurencanakan hanya sampai musim panas berakhir itu berlangsung lebih lama mengingat kondisi Franz yang semakin memburuk. Selama itu Franz tidak lagi mau kuajak mengunjungi kebun dan peternakan, mengikuti kelompok menembak, atau sekadar duduk-duduk di tepi telaga seperti sebelumnya. Dia lebih banyak menghabiskan hari dengan hanya duduk di muka jendela atau mengurung diri di dalam kamar kami. Namun, di suatu sore pada pertengahan musim gugur, Franz tiba-tiba mengajakku duduk di beranda karena ingin membicarakan satu hal yang serius.

     "Akhir-akhir ini aku sering mendengar Lacrimosa berdengung di dalam telingaku," ujar Franz dengan suara kering.

     "Mungkin itu hanya perasaanmu."

     "Tidak, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Mungkin sebentar lagi aku akan mati," Franz diam sejanak, mengamati sebuah sudut jalan, lalu kembali berujar. "Lihatlah di sana," dia menunjuk serumpun bunga yang hampir tertimbun daun-daun maple yang gugur.

    "Bunga equinoxe," seruku setelah berdiri untuk melongok rumpun bunga itu lalu duduk kembali.

     "Bunga equinoxe, atau lycoris radiata, atau orang-orang Jepang menyebutnya higanbana. Ada sebuah kepercayaan di sana, bunga-bunga itu akan bermekaran jika kita melihat seseorang untuk terakhir kalinya."

    Dalam kebisuan, aku mencoba menyusun pikiran-pikiran baik, tetapi sesuatu yang aneh kurasakan meriap lembut di permukaan tengkukku. Kupandangi Franz lebih saksama untuk meyakinkan diri bahwa dia akan baik-baik saja, tapi yang kutemukan di wajahnya hanyalah kelayuan bunga lilac di penghujung musim panas. Wajah itu seperti menyiratkan kekalahan Franz dalam menghadapi dirinya sendiri.

     Namun, beberapa hari setelah percakapan sore itu Franz sering kutemukan duduk-duduk di depan piano dengan pena dan lembaran-lembaran kertas. Dia tidak menyentuh kedelapan puluh delapan bilah tutsnya, melainkan hanya memandanginya sembari menggerak-gerakkan jari di udara, kemudian menulis not-not ke permukaan kertas di pangkuannya. Franz sedang menggubah sebuah sonata dan itu mengingatkanku pada kisah Mozart saat mengarang Lacrimosa di atas ranjang dengan mendengarkan bunyi-bunyi not dari dalam kepalanya. Dan pada sebuah malam yang sedikit basah oleh gerimis, Franz memintaku untuk duduk mendengarkan hasil karangannya.

     Franz memulai permainan pertamanya dengan tempo pelan dan ritme yang belum teratur. Beberapa kali dia mengubah not di kertas partiturnya untuk menyelaraskan nada yang tidak tepat. Ketika dia sudah yakin dengan karya dan permainannya sendiri, dia lalu berkata dengan nada suara yang—hingga saat ini—tidak pernah bisa kupahami.

     “Lycoris Radiata,” ujar Franz. “Bunga kematian.”

Franz memulai permainan kedua. Kini lagu itu berada pada tempo dan ritme yang tepat hingga membuatku tertegun selama Franz memainkannya. Tetapi, keriangan yang sempat timbul dalam diriku karena Franz akhirnya kembali menyentuh piano, seketika terhempas seperti daun-daun poplar yang gugur dan tercerai-berai di jalanan. Sonata Franz membuatku seolah-olah terperangkap di dalam dunia yang aneh, di mana masa lalu, kesedihan, kepahitan hidup, dan kemarahan saling berbelit membentuk satu pusaran mengerikan, yang seketika mengingatkanku pada hubungan kami yang seperti skandal Tchaikovsky. Aku tidak tahu berapa lama dia memainkan lagunya. Namun, ketika dia selesai, Franz menghampiriku dengan air muka yang dingin.

     “Jika aku mati, berikanlah ini kepada Alesha,” ucapnya sembari menyerahkan lembaran kertas partitur dari lagu karangannya kepadaku.

     Aku hanya mengangguk dan tidak mengatakan apa pun. Setelah itu Franz berlalu begitu saja ke sebuah ruangan yang jarang sekali kumasuki. Itu ruangan dengan sebuah meja dan rak-rak berisi buku-buku tua yang jendelanya menghadap langsung ke sebuah padang rumput. Lalu bunyi yang mengerikan itu meledakkan dadaku. Aku menjatuhkan kertas partitur dan segera menuju ruangan yang tertutup itu. Ketika menguak daun pintunya, di sana, di bawah remang cahaya lampu, aku menemukan Franz sudah tersungkur dengan darah yang membuncah dari lubang di kepalanya.

***

     Lacrimosa sudah berhenti mengalun saat aku selesai bercerita. Ruangan menjadi hening. Alesha beranjak dari hadapanku. Dia menghampiri piano, menata partitur di atasnya, lalu mulai mencari tempo dan ritme Lycoris Radiata.

     “Mengapa Franz memilih mengakhiri hidupnya, aku tidak pernah tahu alasannya,” ucapku saat Alesha menyibukkan diri dengan pianonya. “Tetapi, pistol itu, aku yakin dia diam-diam meminjamnya dari seorang anggota kelompok menembak di sana.”

     Alesha memerlukan empat kali percobaan untuk bisa memainkan Lycoris Radiata. Dia tak selihai suaminya memang, tapi dentingan bilah-bilah tuts piano yang dimainkannya seketika memanggil ingatanku tentang Franz, terutama saat-saat terakhirnya di desa itu. Kenanganku lalu membuncah dan membentuk sebuah telaga yang airnya merembas dari dua mataku.

     “Sonata ini kesepian dan kemarahan Franz,” ucap Alesha dengan suara rendah ketika jari-jarinya selesai memainkan not-not minor Lycoris Radiata. “Dibuang dari masyarakat hanya karena berbeda dengan kebanyakan orang lain, betapa menjengkelkan menjalani hidup semacam itu. Tapi saya berterima kasih kepada Anda. Setidaknya, hingga hari kematiannya Franz mendapatkan cinta yang diinginkannya dari Anda, dan itu berarti dia tidak benar-benar kesepian dan sendiri. Terima kasih, Tuan Nolan. Terima kasih.”(*)

Ikuti tulisan menarik Rosyid H. Dimas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler