x

Cover untuk cerita fiksiku Maiza dan Sesuatu Di Balik Paviliun

Iklan

Lubna Nabila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Senin, 22 November 2021 19:27 WIB

Maiza dan Sesuatu Di Balik Paviliun

Maiza Kirani, seorang murid beasiswa di SMA Wiyata Mandala, sekolah unggulan di Jakarta. Tetapi, bersekolah di sana bukan hanya tentang prestasi dan meladeni Clara si manusia paling sombong. SMA Wiyata Mandala dan misteri paviliunnya seolah membawa Maiza untuk membongkar perihal masa lalu yang belum usai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

      Sinar mentari pagi seolah ikut menyemangatiku di hari pertama kelas sebelas. Aku tersenyum bangga memandang gerbang putih elegan bertuliskan ‘SMA Wiyata Mandala’. Namaku Maiza Kirani, aku bisa dibilang termasuk ke dalam siswa beruntung yang bisa bersekolah di sini melalui jalur beasiswa. Sekolah berstandar Internasional yang rata-rata muridnya adalah orang kaya. Sementara aku hanya anak dari pemilik toko roti kecil.

     “Aduh!” teriakku refleks saat seseorang menabrak punggungku.

     “Ups! Sorry.” Gadis yang menabrakku itu memandang remeh ke arahku. “Maiza? Anak beasiswa?” Aku hanya mengangguk menanggapi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Gadis itu tertawa. “Hahaha, pantes norak.” Setelah mengucapkan itu, dia pergi. Aku menghembuskan napas, berusaha sabar.

     “Sudahlah, Clara jangan ditanggapi,” ucap seorang gadis yang tiba-tiba muncul di sampingku. Aku terkejut, “Syifa!” Dia Syifa, sahabatku sejak kelas sepuluh.

     Syifa tertawa lalu merangkulku. “Besok kalau Clara main-main lagi bilang ke gue,” ujarnya. Aku mengangguk sambil tersenyum.

     “Santai saja kali, Syif,” kataku, “Gue sudah biasa sama dia.”

      Syifa menggerutu. “Ya tetap saja! Pokoknya lo harus laporan ke gue!” Aku tertawa. “Iya, deh!” Aku bersyukur bisa bersahabat dengan Syifa. Setidaknya, Syifa membuatku tidak menganggap seluruh siswa SMA Wiyata Mandala seperti Clara, walau mayoritas seperti itu.

*****

     Hari-hariku berjalan seperti biasa, seperti pelajar menengah atas yang lain. Meski terkadang orang-orang seperti Clara sering menggangguku dan itu sangat menyebalkan. Beruntung aku punya Syifa sebagai sahabat.

    “Mai! Maiza!” Aku yang tengah melihat-lihat air mancur dengan patung Ki Hajar Dewantara ciri khas SMA Wiyata Mandala itu menoleh pada Raka, salah satu teman kelasku yang berlari tergopoh.

     “Loh, Ka? Kenapa lari-lari?” tanyaku.

     “Lo… dipanggil kepala sekolah…” ucap Raka terengah-engah. Pupil mataku melebar. Sungguh terkejut mendengarnya. Hatiku mendadak gundah, berdebar, takut dan penasaran menjadi satu.

     “Maiza? Mau gue temani?” tawar Raka, sorotnya terlihat penasaran dan khawatir. Selain dekat dengan Syifa, aku juga lumayan dekat dengan Raka.

     Aku menggeleng. “Gak perlu, Ka. Makasih, ya.” Setelahnya aku mulai berjalan ragu menuju ruang kepala sekolah. Aku ingat dengan baik tidak mempunyai masalah dengan siapa pun. Dengan Clara pun tidak, hanya terkadang dia yang memulai.

     Sesampainya di ruang kepala sekolah, tenggorokanku tercekat saat ucapan Clara tiba-tiba menodongku, dan juga Syifa yang berada di sana sambil menggerutu. “Nah ini, Bu! Maiza yang curi IPad saya!”

     “Hey, Clara! Jangan bohong lo! Ngapain Maiza curi IPad lo?! Nggak guna banget,” serbu Syifa.

     Clara bersedekap dada memandang Syifa dengan tatapan tajam. “Dia, kan, miskin. Mungkin aja dia iri sama gue!”

    “Mulut lo, ya!”

    “DIAM KALIAN BERDUA!” teriak Bu Cinta yang sudah pusing dengan perdebatan dua gadis itu.

    “Maiza, benar kamu mencuri IPad milik Clara?” tanya Bu Cinta sambil memandangku. Aku langsung menggeleng kukuh. “Tidak, Bu. Seiri-irinya saya, saya tidak pernah mencuri!” belaku.

     “Halah mana ada maling ngaku!” kompor Clara.

      Aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak mencuri. “Bu, saya jujur, saya tidak mencuri!” Aku terus meyakinkan Bu Cinta, selaku kepala sekolah kami.

     “Kita semua tau kamu anak beasiswa, Maiza. Wajar kamu iri, Bapak akan memakluminya jika kamu nekat mencuri IPad Clara. Kami hanya ingin kamu mengakuinya,” kata Pak Cipto selaku guru BK yang duduk di pojok ruangan.

     “Bagaimana saya bisa mengakui perbuatan yang sama sekali tidak saya perbuat, Pak?” Tatapanku memelas, beralih menatap Bu Cinta. “Bu, sumpah saya tidak mencuri.”

     “Iya, Bu. Mana mungkin murid sepintar Maiza mencuri, ibu lihat sendiri prestasinya,” ucap Syifa membelaku.

     Pak Cipto menyahut, “Prestasi tidak bisa menilai sikap seseorang, Syifa,” Ia lanjut bicara, “Maiza, masih untung beasiswamu tidak kami cabut mengingat prestasi-prestasimu. Tetapi, keterangan Clara dan IPadnya yang berada di tasmu sudah menjadi bukti bahwa kamu mencurinya.”

     Hatiku mencelos. Begitupun dengan Syifa yang sudah kehilangan kata-kata melawan kedua guru tersebut. Sementara itu aku melihat Clara tersenyum kemenangan.

    “Bersihkan paviliun belakang sehabis pulang sekolah. Itu hukumanmu,” tegas Bu Cinta membuatku dan Syifa terkejut.

    “Bu! Itu, kan, kotor banget! Bisa gempor bersihinnya!” ucap Maiza berani. “Kalau gitu saya bantu Maiza, deh, Bu.”

     “Tidak boleh atau SPPmu naik tiga kali lipat!” kata Bu Cinta langsung membuat Syifa bungkam seribu bahasa.

     “Kalian boleh keluar. Maiza, jangan lupa hukumanmu!”

     “Iya, Bu,” jawabku lirih pada Bu Cinta.

     Kami keluar dari ruang kepala sekolah. Sesudah di luar, Syifa langsung menghalangi jalan Clara. “Maksud lo apa, sih?! Lo sengaja, kan?!”

     Clara memasang tampang mengejek. “Salah sendiri dia geser peringkat gue,” ucap Clara lalu melengos begitu saja membuat Syifa kesal bukan main, melebihi aku.

     Sementara di dalam ruangan, Pak Cipto tampak tidak setuju. “Bu, anda tahu sendiri paviliun itu—”

     “Tidak apa-apa, Pak. Toh lumayan juga mengurangi kerja cleaning service sekolah,” ujarnya. “Saya duluan ya, Pak. Sudah azan zuhur.”

      Bu Cinta pergi meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan sang guru kesiswaan dengan beribu asumsi di kepalanya.

*****

     Di sinilah aku berada, di sebuah paviliun tua yang usianya sama dengan sekolah. Paviliun milik pendiri SMA Wiyata Mandala, Profesor Mario. Sebab dari paviliun ini sangat tidak terawat adalah karena dulu, Profesor Mario tidak suka paviliunnya dimasuki orang asing. Namun, kini beliau sudah meninggal. Aku juga heran kenapa pihak sekolah tidak mau merawatnya.

     Kembali pada tugasku disini, aku sudah menyapu lantai, membersihkan debu di meja, sofa sampai beberapa lukisan penari Bali dan pemandangan. Aku mendudukan bokong di sofa. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku meringis saat lupa membersihkan satu kamar di paviliun itu.

     Sebenarnya aku ragu untuk masuk ke sana. Tapi tanggung sekali jika tidak di bersihkan. “Ya sudah, deh. Sekalian saja,” monologku.

     Dengan membawa kemoceng dan sapu yang kupinjam dari petugas kebersihan, aku memasuki kamar itu. Hal pertama yang aku tangkap adalah kamar ini sangat kotor. Sayang sekali, padahal jika dirawat pasti akan jadi kamar yang nyaman. Baik, berhenti bermonolog, Maiza. Aku harus segera menyelesaikan hukumanku agar bisa langsung pulang. Hari sudah sore sementara aku belum membantu ibu mengurus toko roti.

     Dua puluh menit aku habiskan untuk membersihkan kamar super kotor ini. Aku mengusap peluh di pelipis. Ekor mataku menangkap sesuatu di sisi kiri ruangan. Sebuah rak buku besar yang berisi banyak buku-buku klasik. Aku mendekat ke rak buku itu, mencoba melihat lebih dekat koleksi buku milik Profesor Mario.

    “Wah!” Perasaan antusiasku langsung membuncah saat membaca salah satu judul novel yang terdapat di barisan paling atas. “Profesor Mario baca novel ini juga, ya?” monologku sambil memperhatikan novel berjudul ‘Nancy Drew: The Hidden Staircase’ karya Carolyn Keene. Novel yang terbit pada tahun 1930an. Novel yang sangat ingin kubeli, namun tabunganku belum cukup.

     Aku berjinjit mencoba mengambilnya. Di lihat dari sampulnya, ini cetakan pertama dan hal itu berhasil menarik perhatianku. Aku mencoba naik ke rak kayu itu, tetapi, keseimbanganku hilang dan… Brak!

     “Ah!!” Aku terjatuh tengkurap. Namun, saat mendongak, sakit di bagian depan tubuhku tak aku hiraukan. Atensiku bepusat pada sesuatu yang membuatku terkejut. Sebuah ruangan rahasia Profesor Mario di balik rak buku tua. Ruangan minim cahaya yang membuat tubuhku kaku saat itu juga.

     “Maiza! Ayo pulang! Ibu lo telpon gue, nih!” Hingga teriakan Syifa dari luar membuatku tersadar dan langsung bangkit, menutup ruangan itu dan bergegas keluar dari sana.

*****

     “Hey! Kok melamun, sih?” Syifa membuyarkan lamunanku. “Bisa-bisanya lo melamun di tengah-tengah ramainya kantin.”

     Aku hanya tersenyum, lalu menggeser semangkuk bakso yang dibawakan Syifa. “Terima kasih, Syif,” ucapku, dia membalas, “Sama-sama.”

     Kami sibuk dengan makanan sendiri. Sampai akhirnya aku membuka obrolan. “Syif, lo tahu paviliun itu?”

     “Ya tahu, dong! Paviliun Profesor Mario, kan?” kata Syifa, aku mengangguk. Syifa menegakkan tubuhnya. “Eh, lo tahu nggak, sih? Menurut rumor, ada benda pusaka milik Profesor Mario di sana!”

     Aku menyeringit heran. “Benda pusaka?” Syifa mengangguk.

    “Rahasia soal harta Profesor Mario yang hilang delapan puluh persen. Beritanya sudah lama, hanya di tutup saja,” perjelas Syifa. “Gue penasaran, sih. Kata alumni, alasan paviliun itu selalu dikunci ya karena benda pusaka itu. Makanya gue agak heran pas Bu Cinta hukum lo membersihkan paviliun,” lanjutnya.

     “Apa di paviliun itu ada harta karun? Lo menemukan apa, Mai? Kalo ada harta karun bagi dua, ya!” kata Syifa.

    “Ngaco, lo!” hardikku dan ia tertawa.

     Keningku berkerut, mengingat apa yang aku temukan saat itu di balik rak buku tua. “Syif,” panggilku, Syifa menoleh.

    “Kita bongkar rahasia paviliun malam ini gimana?” Syifa melotot. “Lo gila?!” pekik Syifa.

     “Ssst! Gue lihat sesuatu, Syif, kemarin,” bisikku, “Sebuah ruangan rahasia.”

*****

     Setelah sedikit perdebatan, Syifa menyetujuinya. Sebenarnya, Syifa itu sama denganku, penyuka misteri dan teka-teki. Jadi ia tidak bersikukuh menolak. Sekitar pukul tujuh malam, kami bertemu di pintu belakang sekolah, kurang lebih lima langkah dari paviliun. Bermodal nekat, aku dan Syifa melangkah mendekati paviliun. Anehnya, pintu paviliun tidak terkunci. Tanpa melewatkan kesempatan yang ada, kami masuk perlahan. Beruntung lampu disini selalu dinyalakan.

     “Mai, gue takut,” ucap Syifa yang memang parno saat melihat lukisan penari Bali. Aku berdecak. “Cuma lukisan, Syif!”

     Langkah kami sampai di depan kamar. Entah kenapa, tiba-tiba aku berdebar. Setelah menguatkan hati, aku membuka knop pintu dan memasukinya dengan Syifa yang mengekor di belakang. Aku memandang rak buku itu dengan perasaan aneh. Lain lagi dengan Syifa yang takjub.

     “Keren! Profesor Mario mirip sama lo, ya. Dia suka novel klasik,” celetuknya.

      Tak menghiraukan Syifa, tanganku terangkat mendorong rak buku itu. Rak buku itu terbuka menampilkan ruangan rahasia yang kemarin aku lihat, disusul decakan kagum Syifa.

     “Lo bener Mai…” ucap Syifa takjub, “Ada ruangan rahasia!”

      Ruangan itu masih sama, hanya ada sedikit cahaya yang mulai temaram. Aku melangkah masuk, masih dengan Syifa yang mengekor di belakang. Tanganku merogoh tas selempang dan menyalakan senter. Ruangan berukuran sembilan meter persegi itu mendadak terang kala aku menyalakan senter. Kuarahkan senter itu ke lemari yang berisi buku-buku milik Profesor Mario. Buku-buku usang yang anehnya masih terbungkus plastik. Bahkan, ada beberapa buku sastra langka di sana.

     “Mai! Sini!” Aku menoleh ke arah Syifa di sisi kanan. Saat aku menoleh, otomatis cahaya senter menerangi dinding di depan Syifa.

     Betapa terkejutnya aku saat melihat apa yang ada di dinidng tersebut. Melihat sebuah pigura berbentuk persegi panjang yang kutaksir luasnya empat ratus delapan puluh sentimeter persegi. Foto yang tak asing bagiku. Tubuhku menegang, mulutku ternganga lebar.

    “Mai? Perempuan itu… bukannya ibu lo, ya?” ucap Syifa yang sama terkejutnya denganku. “Bayi itu… mirip lo waktu bayi, Mai,” lanjutnya.

     Penglihatanku mulai buram, pelupuk mataku mulai digenangi air mata yang akhirnya tak bisa kutahan. Mereka turun membentuk sungai kecil di pipiku. Aku menutup mulut dengan tangan. Melihatku yang menangis, Syifa langsung memapahku.

     “Maiza, lo kenapa?” tanyanya cemas.

      Bagaimana aku tidak syok saat melihat pigura yang terdapat foto ibu yang sedang menggendongku dan Profesor Mario yang merangkul pinggangnya? Terlebih, foto ini adalah foto yang sama yang dipajang di kamar ibu namun, bagian Profesor Mario dipotong.

    Tangisku semakin pecah saat membaca tulisan di bawah pigura itu. ‘Yang terkasih, Liana dan putriku Maiza’. Syifa yang sudah paham, mengusap punggungku yang bergetar.

    “Maiza! Syifa!”

    Kami sontak menoleh ke arah luar ruangan yang menampakkan Bu Cinta dan ibuku. Aku menatap ibu yang kini menahan tangis sekaligus menahan marah. Ibu masuk ke dalam ruangan, lalu menarik tanganku. “Ayo pulang!”

   “Bu… jelasin dulu, maksud dari foto ini apa?” tanyaku lirih dengan air mata yang mengalir. Ibu membuang pandangannya. Matanya memerah menahan tangis.

    “Bu, ada apa antara ibu dan Profesor Mario? Ada apa, Bu?!” Aku membentak ibu, saking kesalnya.

      “Dia ayah yang buruk buat kamu!” Ibu menumpahkan tangisnya. Aku ikut menangis.

      “Mbak Liana… Kak Mario tidak pernah benci sama Mbak atau Maiza,” ucap Bu Cinta, adik dari Profesor Mario yang membuat ibu menoleh cepat.

“Maksud kamu?”

     “Semua ini permintaan papa. Kalau Kak Mario tidak menikah dengan perempuan pilihannya maka, papa mengancam akan membunuh Mbak dan Maiza,” ucap Bu Cinta sambil menangis.

     Kedua lutut ibu tidak kuat menahan bobot tubuhnya. Ia terjatuh lalu menangis. Luka lama itu terbuka kembali, yang mungkin menyisakan penyesalan dalam dirinya.

     Bu Cinta mengusap pundakku. “Ruangan ini saksi bisu betapa ayahmu mencintaimu dan ibumu,” ucapnya, “Buku-buku ini, dia persiapkan untuk kamu. Saya kagum, dia mengenal kamu bahkan sebelum kamu lahir.”

     Tangisku mereda sembari melihat sekeliling, melihat buku-buku sastra dan beberapa novel misteri. Aku jadi bersyukur Clara memfitnahku waktu itu. Kini, aku mengerti perihal ‘delapan puluh persen harta Profespr Mario yang menghilang’. Kini, aku mengerti kenapa ibu tidak setuju aku bersekolah di SMA Wiyata Mandala. Kini, aku semakin mengerti, bahwa ayahku menyayangiku lebih dari yang aku kira. Sosok ayahku, sosok yang menjadi rahasia selama ini akhirnya terbongkar, bersamaan dengan kesalahpahaman dan masa lalu yang belum usai. Di sebuah ruangan terlupakan, di paviliun tua.

Ikuti tulisan menarik Lubna Nabila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler