x

Iklan

Rahmat Ali

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Selasa, 23 November 2021 05:36 WIB

Isoman di Loteng, Lantai ke Empat

Suaminya mantan Walikota, tampak waktu itu nafas bapaknya terengah-engah dan wajahnya pucat. Secepatnya pakai mobil yang dikendarai sopir menuju rumah sakit mewah. Tentu saja biaya penginapan, pemeriksaan dan pengobatannya teramat sangat mahalnya, tidak jadi masalah bagi Farizah sebagai pegawai terpercaya di bank tempatnya kerja. Hanya dia dan ibunya saja yang mengantar bapak tercinta. Faisal tidak diikutkan, bisa-bisa bikin malu karena Faisal tergaguk-gaguk saat bicara, tatapan wajahnya menunjukkan keterbelakangan mental. Makanya paling tepat di rumah saja menunggu, jaga keamanan serta menjalani isoman di loteng lantai keempat. Seperti pertapa langit saja!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I S O M A N

D I    L O T E N G

L A N T A I   K E E M P A T

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

                                                                                               Cerpen

                                                                                                        Rahmat Ali

 

SATU

Di tengah malam itu seorang anak bayi baru berusaha lima bulan terbangun dan menangis kejer-kejer. Ibunya kaget dan menyangka anaknya digigit semut atau serangga yang tidak kelihatan. Sang ibu memeriksa bagian-bagian tubuh lainnya setelah pakaian bayi diperiksa seteliti-telitinya. Ternyata tidak ada yang menggigit atau menyengat. Agar bisa tidur nyenyak lagi disodorkanlah puting susu sang ibu ke mulut bayinya.

"Tidur lagi, ya sayang. Masih larut malam nih!"

Selesai berkata lembut begitu dicium ya bayi tersebut dengan lembut.

 

Namun beberapa menit kemudian bayinya menangis lagi. Dia tidak mau menyusu. Dilepaskannya puting susu itu dan meneruskan menangis lagi lebih kencang. Ibunya segera tahu. Bukan lantaran semut atau serangga yang telah menyengat melainkan suara gaduh itu dari tetangga sebelah. Siapa penggaduh tidak tahu aturan hidup di tengah masyarakat di komplek perumahan itu. Tidak lain ulah seorang pemuda yang memukul-mukul drummer dengan seenak jidat yang menconong itu.

"Dasar anak muda yang mau menang sendiri. Mau kulabrak sekarang!"

"Jangan, Kangmas, nanti bisa ribut!"

"Jadi kita diam saja? Dan begundal itu pukul-pukul drummer sebebasnya!"

"Sabarlah, Kangmas. Kita harus jaga persahabatan kita dengan tetangga."

"Baiklah, sayangku Trinil. Kuturuti kesabaran, ya  Yang.."

 

Belum habis ngomong terjadi lagi suara yang lebih membisingkan. Bukan drummer, penggantinya jrang-jreng-jrang-jrengnya gitar yang dibetot tidak beraturan. Bukannya merdu, malah bikin senewen kuingat. Habis gitar, diganti dengan tiupan trompet. Kejer-kejerlah bayi menangis amat. Kemarahan bapak bayi itu jadi kesetanan. Lantaran istrinya Trinil mencegah amat keras suaminya tidak jadi melabrak tetangga.

 

DUA

Tetangga sebelah yang tidak jadi dilabrak, bapak yang anak bayinya kejer menangis itu, adalah mantan Walikota suatu daerah. Kondisi yang cukup makmur berkat tunjangan dan komisi-komisi dari proyek besar yang pernah dikelolanya beberapa tahun yang lalu. Terpujinya, dana yang dimiliki itu, banyak digunakan untuk bersedekah dan pendidikan dua anaknya, yaitu yang pertama lelaki dan yang kedua perempuan. Mereka berdua itu berbeda. Yang sulung lelaki seperti kurang gairah belajar. Sejak di SD seperti tidak ada yang nyantol hasil belajarnya. Beberapa huruf saja dikenal. Menghitung pun tidak dia kuasai. Pada pokoknya malas belajar. Cara bicaranya tersendat-sendat. Atas dasar itu dia tidak naik-naik kelas. Kata Bu Guru dia termasuk golongan yang bermental terbelakang. Sehubungan dengan masalalah keterbelakangan itu  seorang pendidik dan pengajar khusus diperlukan.

 

Adiknya perempuan, Farizah, amat tolak belakang dari Faizal. Angka-angka rapor sejak klas satu SD sampai tamat klas tujuh bagus terus, dilanjutkan SLTP lalu SLTA mengagumkan. Begitu selesai wisuda di Universitas mendapat nilai terpuji, cum laude. Perusahaan Perbankan menerimanya sebagai anggota staf utama. Terangkatlah citra keluarga berkat peran Farizah di bank tersebut.

 

Sesuai anjuran ahli pendidikan sekaligus seperti mentor khusus Faisal maka dilaksanakanlah perlakuan-perlakuan terhadapnya. Dia diberi ruangan tersendiri untuk kegiatannya. Yaitu lantai keempat rumah mantan Walikota itu, lebih tepatnya berwujud loteng. Di situ tersedia kamar tidur empuk mewah untuk istirahatnya. Juga dilengkapi piranti-miranti berolahraga mulai dari barbel untuk memperkuat otot,  samsak untuk latihan tinju, sarung tangan dan topi tebal dari kulit isi busa sebagai pelindung kepala dari pukulan-pukulan dan lain-lainnya yang sifatnya demi kebugaran dan ketangkasan badani. Lantaran itu fisik Faisal tidak beda dengan atlet terlatih.

 

Sayang sekali ketertarikan Faisal tidak konstan. Asal-asalan saja angkat barbel atau memukul-mukulkan tangannya yang bersarung tinju ke samsak. Dia lebih tertarik kepada musik. Sebelumnya di dalam batinnya  berhasrat juga punya pacar. Sayang Faisal hanya kokoh badan seperti jagoan berkelahi tetapi kepada cewek takut sekali. Mulanya menatap dari jauh tetapi setelah dekat menundukkan kepala. Sebagai kompensasi ya dia kumpulkan gambar-gambar wajah cantik hasil guntingannya dari majalah-majalah. Ya itu saja.

 

Sehubungan kesukaannya yang lebih kepada musik bapak Faisal dengan spontan lalu membelikan piano kecil, gitar, biola, drummer serta trompet. Guru-guru musik didatangkan untuk mengajarinya. Ya tidak sampai mahir. Pokoknya tahu sedikit bagaimana memukul drummer, mencoblos-cobloskan sepuluh jari tangannya ke tuts-tuts piano beserta melengkingkan trompet senyaring-nyaringnya walau sonder ritme.

 

TIGA

"Kenapa, Pa? Kenapa?"

 

Itu yang diucapkan ibu Faisal kepada suaminya mantan Walikota. Tampak waktu itu nafas bapak Faisal dan Farizah terengah-engah dan wajahnya pucat. Secepatnya pakai mobil yang dikendarai sopir menuju rumah sakit terdekat. Di situ ketahuan bapak telah terkena serangan jantung. Diperiksalah secara intensif. Karena rumah sakit tersebut belum menemukan, maka secepatnya Farizah mencarikan rumah sakit lebih bonafid dan mewah. Seperti meniru 'gaya' OKB bapak Farizah dikirimkan ke rumah sakit negeri jiran yang tentu saja biaya penginapan, pemeriksaan dan pengobatannya teramat sangat mahalnya. Bagi Farizah tidak jadi masalah sebagai pegawai terpercaya di bank tempatnya kerja. Hanya dia dan ibunya saja yang mengantar bapak tercinta. Faisal tidak diikutkan. Jika diajak bisa-bisa bikin malu karena Faisal tergaguk-gaguk saat bicara, tatapan wajahnya menunjukkan keterbelakangan mental. Makanya paling tepat di rumah saja menunggu, jaga keamanan serta menjalani isoman di loteng lantai keempat. Seperti pertapa langit saja.

 

Faisal yang kurang normal tidak bisa merasa iri atau dengki seperti pada umumnya orang waras. Tidak merasa rugi ditinggal ke negeri jiran yang lebih tinggi kondisi kemajuan teknologinya. Dia tetap puas di lokasi mandiri.

Terpisah dari orang lain (walau termasuk di dalam keluarganya sendiri) bukan berarti  disebabkan terjangkiti Covid-19. Satu-satunya penyebab ya sikap dan bercitra seperti orang bego itulah. Jadi tak malu-malu menggebuk drummer sekuat-kuat, mencobloskan kesepuluh jari tangan ke tuts-tuts piano, dan yang paling jadi favoritnya  meniupkan trompet senyaring-nyaringnya walau di larut malam. Aneh juga bayi yang dikagetkan tetap tidur nyenyak karena sudah terlatih kupingnya menerima yang bising-bising. Sang bapak pemilik bayi juga sudah imun dari gaduh-gaduh suara yang brengsek-brengsek itu!

 

Tidak cintakah Farizah kepada Faisal abang kandungnya? Terus terang dia teramat sayang. Setiap pulang dari tugasnya urusan perbankan di negeri-negeri luar tidak lupa Farizah membawakan buah tangan untuk abang sayang. Betul kudoakan dikau aman sejahtera dan senantiasa sehat wal afiat, abangku!

 

                                                                                     Jakarta 21 November 2021

Rahmat Ali

Ikuti tulisan menarik Rahmat Ali lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler