x

Iklan

Neisya Putri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Selasa, 23 November 2021 05:46 WIB

Rumah di Atas Bukit


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Apa pun yang terjadi,” ujarnya, “jangan pergi ke sana.”

Aku tertawa kecil. “Kenapa?” Lalu mengangkat alis, dan memandang remeh anak laki-laki di belakangku.

 “Kamu takut?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anak laki-laki itu, Vincent namanya. Ia paling benci diremehkan, karena menurutnya, kapten mana yang rela harga dirinya diinjak-injak dan diremehkan oleh wakilnya sendiri? Iya, Vincent menyebut dirinya sendiri kapten dalam bajak laut Vincent. Dan aku— teman perempuan yang menceritakan kisah bajak laut padanya— ia angkat sebagai wakil kapten bajak laut Vincent yang bertugas sebagai pembuat peta karena aku bisa gambar walau aku sudah bilang beribu kali padanya bahwa aku buta arah.

Tapi yang namanya kapten, selalu percaya pada krunya sendiri.

Ia memberikan kepercayaan kepadaku untuk memimpin petualangan pertama kami, walau ujung-ujungnya nyasar juga, dan sialnya malah nyasar ke tempat ini. Hutan besar dengan pepohonan menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang sangat subur, dan suara hewan-hewan hutan terkadang mendengung di telinga, ada beberapa kunang-kunang lewat di depan mata kemudian melengos berlalu tanpa memberi tahu apapun perihal hutan ini.

Sekarang, ia berdiri di hadapanku, menampakkan punggung kecil yang selalu tegar dalam perjalanan. Ia benar-benar terlihat sangat keren, selalu keren.

“Jangan bawel,” ketusnya melirik ke arahku sebentar. “Kamu kan nggak tahu apa aja yang ada di rumah itu,” sambungnya sembari menunjuk rumah bergaya victoria yang menjadi tujuanku kali ini.

Catnya hitam, atapnya hitam, pintunya hitam. Hanya jendelanya saya yang menyalurkan sinar bulan dari luar, memberi sedikit kehidupan bagi sesuatu yang sekiranya masih berada di dalam sana. Walau aku sendiri tidak yakin apakah ada sesuatu yang tinggal di sana.

Mungkin barang-barang usang dan antik, atau mungkin tikus-tikus, dan hantu-hantu.

“Memangnya kamu tahu isinya?” tanyaku.

Ia menggeleng.

“Karena kita sama-sama tidak tahu, makannya jangan pernah ke sana. Apa pun yang terjadi; mau itu ada badai, hujan lebat, lebah ganas, singa, harimau, macan, atau bahkan hantu iseng. Jangan pernah ke sana.”

“Kalau tidak tahu, mengapa tidak mau cari tahu?” tanyaku kembali. Pertanyaan skakmat.

Vincent terdiam di tempat. Ia menggerakkan kepalanya untuk menoleh sempurna padaku.

“Neira, mungkin kamu sudah lupa, tapi apa kamu tahu kenapa kita bisa tersasar ke sini?”

“Karena aku adalah navigator bodoh. Maaf sekali lagi.” Aku membungkuk sembilan puluh derajat pada Vincent. Jujur, dia adalah kapten yang sangat baik dan keren. Sedang aku adalah wakil kapten sekaligus navigator yang bodoh dan sok keren saja.

Vincent menggelengkan kepalanya pelan.

“Bukan seperti ituu,” sahutnya pelan sambil menyuruhku untuk berdiri tegap kembali. “Kita tersasar karena rasa penasaranku sendiri,” sambungnya kembali sambil tersenyum kikuk di akhir.

“Aku penasaran tentang bagaimana rasanya menyelam, lalu saat menyelam tidak sadar ada yang mengigit perahu rakit kita.”

Ia merunduk, menghela napasnya. “Lalu tanpa sadar tersasar di sini, karena mau bagaimana lagi, akan bahaya kalau kita melanjutkan perjalanannya dengan perahu rakit terkoyak.”

Aku ikut merunduk dan menghela napas.

“Kamu tahu mitos itu tidak?” celetukku bertanya, masih merunduk memandangi tanah.

“Mitos tentang apa?”

“Rumah di atas bukit— yang sering diceritakan Nenek Lia sebelum ia meninggal,” jelasku padanya kemudian mendongak kembali memandangi wajahnya yang terlihat karena sesungguhnya Vincent lebih tinggi dariku beberapa senti.

“Memangnya apa? Aku sudah mulai lupa,” ucapnya.

Aku menggeleng. “Bukan apa-apa. Memangnya kamu nggak capek nunduk kayak gitu mulu? Kenapa kita nggak coba jalan aja,” ajakku mencolek lengannya itu.

Vincent kemudian mendongak kembali, ia memandang ke depan. Sejauh mata memandang, yang bisa kita lihat hanya pepohonan saja dan kegelapan tak berujung, satu-satunya yang bersinar hanya lah rumah tua di atas bukit itu (mungkin karena sinar bulan), jadi tentu saja aku penasaran pada rumah itu, tapi Vincent melarang untuk ke sana.

Jadi mau tidak mau, aku harus menurut perintah kapten.

“Besok pagi, kita akan buat perahu rakit lagi, kita harus pulang, Neira.” Ucapannya bersifat memerintah dengan lembut.

Aku mengangguk mengerti, lalu memeluk diriku sendiri saat merasa angin dari laut berembus begitu cepat menerbangkan daun-daun yang gugur, dan menerbangkan helai-helai rambut hitamku. Dingin, sangat dingin.

“Dingin, ya?” celetuk Vincent tiba-tiba sembari memandangi diriku.

“Nggak terlalu,” jawabku sok kuat.

Merapatkan kembali pelukanku sendiri.

“Aku tidak punya jaket pula, sebentar.” Vincent berbalik, ia berusaha mencari dan memungut ranting-ranting atau mungkin kayu kecil yang terjatuh dengan penglihatan yang terbatas.

“Kapten, kenapa kita tidak mampir saja ke rumah itu?” tanyaku khawatir sendiri.

Walau ia memegang julukan ‘kapten’ yang berarti seseorang memiliki kedudukan dan wibawa paling tinggi, tapi ia tetap manusia. Vincent pasti merasakan dingin, gumamku membatin.

“Kapten, kenapa kita tidak mampir saja ke rumah itu? Kenapa harus bersikeras begini?”

“Karena kita tidak tahu ada apa di sana.”

“Sudah aku bilang bukan? Ayo cari tahu! Kapten, ini bukan dirimu.”

“Memangnya aku yang sebelumnya bagaimana, Neira?”

“Kamu selalu penasaran, selalu ingin tahu, selalu bertanya padaku tentang apa yang bajak laut dalam komik itu lakukan— tapi kamu yang ini terlihat pasrah saja dengan keadaan.”

“Kamu ini tidak kapok, ya?” Vincent berbalik badan, beberapa ranting kecil berada di pelukannya, tatapan wajahnya setajam silet yang siap memotongku kapan saja.

“Bukan begitu maksudku...”

“Lantas bagaimana, Neira?”

Aku menghela napas berat, lalu menoleh ke arah kanan, berusaha untuk tidak berpandangan dengan wajah Vincent yang terlihat marah itu. Acap kali dia memang betulan marah karena diriku tak kapok-kapok dan selalu ngeyel.

Seharusnya Vincent menelantarkanku saja.

Bukannya malah membuat api unggun sia-sia seperti ini.

Tidak ada api yang keluar dari gesekan kedua benda padat yang ada di tangan Vincent, yang malah kedua benda padat itu menelannya seakan senjata makan tuan. Tangannya terlihat luka di beberapa titik, dan mungkin saja ia sedang menyembunyikan darah.

“Jangan dipaksa,” ucapku sekali lagi.

Tapi yang namanya Vincent, yang memang anaknya keras kepala betul. Dia tetap melakukan hal itu, tetap memaksakan diri untuk sekadar membuat api untuk menghangatkan sekitar. Menghangatkan diri.

Tapi mau dihangatkan bagaimana kalau ia sendiri tidak hangat dan baik pada diri sendiri? Yang ada malah ia merasakan dingin dari dalam relung hati.

Dingin yang paling dingin dari dinginnya kutub utara ataupun angin laut.

Aku lagi-lagi hanya dapat menghela napas berat. Sangaaatttt Beraaaaatt. “Cent, mendingan kita buat rakit kapal untuk kembali pulang saja,” ucapku mencoba lagi memberikan satu saran. Walau sudah tahu pasti kalau Vincent akan punya balasan untuk itu.

“Sudah malam, Neira. Is-ti-ra-hat.”

Perkataannya memang tidak mutlak, dan tidak pula harus aku dengar atau patuhi. Tapi entah mengapa, kalau ucapan dari dia sudah pakai nada sebegitunya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aura dominan Vincent di sini sangat terasa, membuatku diam-diam terkadang bergidik ngeri. Walau kami sudah kenal lama— setidaknya 5 tahun sejak pertama kali dipertemukan di rumah Nenek Lia, oleh cerita mistis dan seru tentang petualangan, dan kisah bajak laut yang selalu aku ceritakan padanya saat malam hari tiba. Tapi aku tetap tidak bisa membantah ucapannya, aku tidak tahu itu karena apa.

Tapi yang pasti.

Aku aman bersamanya.

“AKHIRNYA!” Vincent berteriak lega, melihat salah satu elemen bumi warna merah menyala di depan matanya.

Aku tersenyum tipis, dalam hati membatin dengan sangat lirih. Maaf sudah ragu.

Berikutnya, Vincent mendongak ke arahku, dia tersenyum lebar dan matanya berbinar dengan indah, seperti bintang malam yang cerahnya bukan main. Vincent adalah perwujudan dari bintang itu yang sebenar-benar.

“Sini duduk, Neira. Sudah hangat,” ajaknya dengan nada manis, dia menepuk-nepuk salah satu tempat di sebelahnya.

Aku mengangguk pelan, melirik dahulu ke arah rumah di atas bukit itu yang terlihat makin menghitam gelap seakan ada cumi-cumi besar yang menumpahkan tintanya di rumah itu, kemudian merinding sendiri. Lalu aku melangkah dan duduk tepat di sebelahnya, di atas tanah yang ditutupi daun-daun berwarna musim gugur yang jatuh sendiri dari pohon asalnya.

“Kamu tadi bertanya tentang cerita mitos Nenek Lia, memangnya itu apa?” celetuk Vincent bertanya sambil menoleh padaku.

Aku menggeleng pelan. “Bukan apa-apa sih, sebenarnya.”

“Coba cerita, Neira, jangan apa-apa dipendam sendiri. Kelihatan banget,” balasnya.

Aku merunduk, memandangi permadani yang terbuat dari daun warna musim gugur itu, lalu menghela napas sejenak sebelum mendongak memandangi di merah jago yang terkadang bergerak terkena angin.

“Ini tentang rumah di atas bukit,” kataku mulai bercerita. Mengikuti gaya bahasa Nenek Lia yang rumahnya berada di paling ujung, suka bercerita saat senja unjuk gigi, sambil menyajikan susu hangat dari Kota kepada anak-anak yang suka dengar cerita apa saja; dongeng, mitos, fiksi, hingga sejarah, walau sebagian besar dari anak-anak yang suka dengar cerita tidak tahu dengan baik isi ceritanya.

“Dari cerita Nenek Lia, rumah di atas bukit itu warnanya hitam kelam, kelam karena hati manusia itu dasarnya memang kelam.”

Aku melirik, Vincent ternganga-nganga di tempatnya, matanya yang warnanya coklat kue coklat nampak kebingungan setengah paham dan setengahnya lagi tidak mengerti sama sekali. Mungkin saja dalam hatinya yang sangat, sangat dalam, ia sedang bertanya-tanya sendiri: “Apa maksudnya?”

Lalu, aku paham akan hal itu.

Tidak semua anak-anak— tidak semua orang mengerti pada cerita mitos atau apa yang diucapkan dengan perumpamaan manusia karena manusia memang dasarnya tidak jelas.

Mereka gemar berubah, tetapi tidak menjadi rubah, melainkan malah menjadi manusia yang semakin tidak jelas, mencuri uang orang bawah, menculik anak-anak baik, memotong anak-anak, dan membuang orang tua.

“Rumah di atas bukit itu berwarna hitam karena menyimpan perasaan kelam manusia; ragu, benci, dendam, dan penyesalan. Semuanya disimpan dalam rumah di atas bukit. Menjadi makin hitam baru-baru ini karena kata Nenek Lia; “siklus manusia selain makan, tidur, dan berak adalah ragu, takut, membenci kemudian mendendam, lalu menyesal”. Jadi kesimpulan menurut cerita adalah, di dalam rumah itu tidak ada setan atau penjahat atau apa, hanya isi hati manusia.”

Aku menutup cerita itu layaknya Nenek Lia yang selalu tersenyum simpul sesudah bercerita. Tenang sekali, walau pendengar cerita menunjukkan raut wajah takut dan bingung atau bahkan terbengong-bengong sendiri seperti kambing yang pura-pura tuli saat mendengar kabar bahwa kambing lain bulunya diambil manusia atau dagingnya dimasak menjadi sate dan gulai.

“Tidak mengerti, tapi hati manusia bukannya ada di dalam diri mereka sendiri? Dan setan-setan? Hantu? Jin? Iblis? Rumah kosong adalah surga bagi mereka,” balas Vincent mengungkapkan pendapatnya sendiri.

“Aku hanya bercerita kembali cerita Nenek Lia,” jawabku sambil mengangkat kedua bahu secara kompak.

Vincent menghela napas.

“Itu mitos,” ceplosnya dengan gampang, lalu ia menepuk-nepuk pahanya sendiri. “Taruh kepalamu di sini, kita akan tidur,” sambungnya.

Aku mangut-mangut kemudian menuruti perkataannya, menaruh kepala di atas pahanya yang hanya terasa tulang sedikit daging empuk, namun tetap malam ini mereka adalah bantal gratis yang diberikan Cuma-Cuma oleh kapten keren, aku harus menerima hal itu— Oh atau bahkan aku harus sombong.

“Tidur, Neira.”

Aku segera memejamkan mata, semuanya terasa gelap. Lantas aku merasa seperti sudah terbang entah di bawa oleh siapa, merasakan lembut seperti di awan-awan. Ini mimpi yang sangat indah, makin aku memejam, semakin aku memasuki dunia mimpi yang lain.

Kali ini lebih seram.

Warna sekitarnya gelap. Dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Teriakkan nyaring yang memekakkan telinga mulai terdengar, awalnya samar-samar lalu berikutnya terdengar sangat jelas, disusul isak tangis saling sahut-sahutan dari kanan kiri, kemudian aku bisa melihat senyum licik nan jahat seperti karakter jahat di kartun Minggu pagi. Berikutnya muncul rumah hitam di atas bukit yang tadi aku lihat sebelum tidur.

Aku bingung sendiri.

Kenapa aku berada di sana? Aku sedang bersama Vin— Dan oh kemana Vincent?

Aku menengok kanan dan kiri mencari batang hidung Vincent, walau hasilnya nihil. Tidak ada apa-apa, semuanya gelap, hanya ada siluet rumah di atas bukit itu.

Lantas aku lihat pintunya terbuka tiba-tiba.

Mungkin terkena angin.

Tapi di sini tidak ada angin.

“Vincentmu ada di dalam,” ucap rumah itu atau mungkin suara dari dalam rumah. Suaranya berat dan terdengar galak.

“Kamu bohong,” balasku dengan nada tidak kalah galak.

“Vincent adalah rasa penyesalan terbesar orang tuanya, rumah dia di sini. Sama seperti kamu.” Rumah itu mulai bercuap-cuap tidak jelas kepadaku. Mengatakan lelucon bodoh yang sangat-sangat-sangat tidak lucu.

“Apa maksudmu?”

“Singkatnya— kamu dan Vincent adalah rasa penyesalan dan takut terbesar orang tua kalian.”

Aku membelalak, ingin membalas ucapan rumah atau suara dari dalam rumah itu namun rasanya lidahku kelu tak dapat digerakkan seperti sudah mati, tenggorokanku sakit terasa sedang dicekik oleh tangan tak kasat mata yang tidak ingin aku bersuara.

Apa? Apa maksudmu?

Berikutnya gelap kembali, sepertinya aku dilempar ke planet lain, atau dimensi lain. Tapi yang kucium di sekitar adalah bau asin lautan yang bercampur dengan darah, suara cekikikan ikan, dan hangat genggaman tangan dari sosok sebelahku. Walau gelap di sekitar aku sudah tahu bahwa aku berada di dalam laut.

Oh— rupanya di hutan tadi hanya mimpi sebelum mati.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Neisya Putri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan