x

Empat anak murid yang masuk dalam permainan gila yang diadakan oleh sekolahnya

Iklan

Jacinda Rizki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Rabu, 24 November 2021 06:37 WIB

My School Mad Game

Kisah empat anak SMA yang ikut bermain dalam permainan gila yang diadakan oleh sekolahnya sendiri. Sehingga membuat nyawa mereka yang menjadi taruhannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mereka semua terjebak di dalam sekolah yang sudah dipenuhi dengan orang-orang yang sesat. Aliya berkata dengan nada yang sedang panik, "bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan."

"Kita hadapi mereka semua. Hanya itu satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan," jawab Rio serius.

"Kamu gila?! Mereka banyak banget, sedangkan kita gak punya kekuatan atau senjata untuk melawan mereka semua," sahut Vika yang tidak setuju dengan hal itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Jika saja kita tidak memainkan permainan ini. Semua ini tidak akan terjadi," sela Aliya.

"Tidak perlu menyesal tentang masa lalu, sebaiknya... sekarang kita pikirkan nasib kita dulu," tekan Ezra.

***

Hari ini adalah hari pertama Rio masuk sekolah. Dia adalah murid pindahan, karena ayahnya akan bekerja di kota itu, jadi dia mengikuti ayahnya datang ke sini. Rio adalah remaja berusia delapan belas tahun, berwajah tampan, dan pekerja keras. "Halo. Aku adalah Alexi Xanderio. Kalian bisa panggil aku Rio." Dia berkenalan ke depan kelas. Bahkan beberapa murid terpesona karena wajah tampannya. Rio akan duduk bersebelahan dengan Aliya. Aliya adalah remaja yang dimabuk drama, dia juga ingin menjadi seorang penyanyi suatu hari nanti, karena itu dia sedikit lincah dan tomboy. Setelah duduk di sampingnya, Aliya melirik ke arah Rio yang membuatnya bingung.

"Kenapa melirikku seperti itu?" tanya Rio dengan raut polos.

"Gak ada. Cuman melihat wajah tampanmu itu. Hehe," jawabnya tertawa. Setelah bel jam istirahat berbunyi, guru mereka segera pergi. Para anak perempuan, bukannya istirahat, mereka malah mendekati Rio. Ada yang bertanya, "apa rahasia wajah tampanmu itu? Katakan." Aliya merasa risih karena para anak perempuan, dia akhirnya pergi ke luar bersama Vika, sahabat baiknya yang alim dan rajin. Rio juga terlihat tidak nyaman, sebelum Aliya dan Vika pergi, dia meminta tolong pada mereka untuk mengajaknya agar para siswa lain tidak mendekati dirinya.

"Tolong dong. Aku gak nyaman di sini," bisiknya. Awalnya Aliya tidak mau, tapi karena tatapan Rio yang terlihat sangat murung, akhirnya dia merubah keputusannya. Dengan cepat, Aliya langsung menarik tangan Rio dan membuatnya berdiri. Tanpa aba-aba atau satu kata yang keluar dari mulutnya, dia langsung berjalan bersama Vika sambil menarik tangan Rio.

Setelah itu, mereka bertiga bertemu Ezra yang merupakan teman Vika, dan berteman baik dengan Aliya. Mereka kemudian pergi ke taman sambil membawa beberapa makanan yang sudah dibeli di kantin. "Kita akan mengadakan piknik di sini," canda Aliya. Mereka semua duduk di kursi yang sudah disediakan. Sementara Aliya dan Vika menyiapkan tempat, Rio yang duduk di kursi bertanya pada Ezra, "em, Ez. Apa arti dari namamu? Sepertinya nama unik seperti itu mempunyai makna, kan?"

"Lah kenapa? Jangan bertanya tentang itu. Hanya nama saja yang unik, orangnya tidak. Heheh, gak usah terlalu terpesona dengan namaku. Haha," jawab Ezra yang tertawa.

"Tapi... nama panjangku itu, Abinaya Ezra Zayyan. Tinggal panggil Ezra aja," selanya yang bersalaman pada Rio.

"Alexi Xanderio. Senang bisa berteman denganmu. Kuharap, kita bisa bersahabat," ucap Rio yang memberikan senyuman pada Ezra. Setelah berkenalan, para gadis memanggil mereka berdua untuk duduk di rerumputan dan menikmati suasana piknik ini. Mereka berempat menjadi teman baik. Sudah sekitar satu bulan, Rio bersekolah di sana, lebih tepatnya di sekolah One Dream.

Tapi... sesuatu yang aneh terjadi, saat Rio dan yang lainnya masuk ke dalam gudang. Karena bermaksud kabur dari kejaran para perempuan yang mengejar Rio. "Ayo masuk ke situ." Ezra menunjuk ke gudang, sebelum masuk ke dalam sana. Aliya menarik tangan Rio dan Vika untuk masuk ke dalam bersama Ezra. Setelah beberapa lama berada di dalam gudang, Aliya yang memastikan keadaan di luar membuka pintunya. Dia terkejut dengan suasana berbeda dari sekolahnya. "Kenapa sunyi sekali?" tanya Rio yang keluar dari gudang itu, dan melihat sekelilingnya.

"Apa ini sekolah kita?" tanya Vika penasaran.

"Tidak. Ini beda banget dari sekolah kita. Maksudku, iya sih penampilannya sama, tapi suasana dan sekitarnya terlihat berbeda. Sepertinya ada yang terjadi," ungkap Aliya yang serius. Tidak lama kemudian, ada suara pengumuman, "di harap untuk semua murid berkumpul di lapangan. Kita akan segera membagi tim." Mereka berempat bingung dengan maksud dari kata membagi tim. Karena sangat ingin tahu, mereka semua pergi berjalan menuju ke lapangan. Dari jendela, sudah terlihat banyak anak murid yang berbaris di lapangan. Terlihat juga seseorang yang memakai masker berwarna, sambil memegang microfon. Setelah sampai di lapangan, Rio berbaris paling depan, diikuti dengan Aliya, kemudian Vika, dan terakhir Ezra. "Hal semuanya. Saya di sini sebagai pembawa acara. Saya senang sekali karena para guru kalian sudah mengijinkan permainan ini dilakukan di sekolah ini." Orang yang berada di depan sedang berbicara. "Permainan? Apa maksudnya." bisik Rio yang menghadap ke Aliya. Dengan cepat, Aliya langsung menyela ucapan Rio, "hust."

"Oke. Tidak usah basa-basi, kita akan membuat tim sekarang," kata pembawa acara itu, "bagaimana jika tim berdasarkan deret barisan saja? Ketua tim adalah orang yang berbaris paling depan."

Setelah mengatakan semua itu, semua yang berbaris langsung bubar dan entah pergi ke mana. Karena mereka berempat menjadi satu barisan, jadi mereka adalah tim. Rio dan yang lainnya tidak mengerti permainan yang dimaksud oleh si pembicara, mereka memutuskan untuk bertanya.

"Permisi. Kami ingin bertanya," sahut Rio yang sudah berhadapan dengannya.

"Permainan yang akan kalian lakukan adalah mencari tiga bendera. Bendera merah, biru, dan putih. Jika sudah menemukannya, kalian akan menang. Dan jika tidak, maka nyawa kalian taruhannya," jelas orang itu bahkan sebelum Rio mengatakan pertanyaannya. "Kenapa nyawa taruhannya? Karena akan ada beberapa musuh dari pihak kami yang akan menemukan tim-tim lain sebelum menuju ke bendera," lanjutnya, "maksudnya, akan ada beberapa orang bersenjata yang akan berjaga sesuai pos. Jika kalian bertemu dengannya, maka nyawamu hilang."

"Dari nyawa, maksudnya nyawa beneran apa cuman nyawa dalam permainan?" lontar Vika.

"Nyawamu sendiri. Nyawa beneran," jawab orang itu.

"Kok begitu, pak? Kita tidak tahu apa-apa soal ini. Terus sekarang kita disuruh taruhan nyawa dengan tim lain? Gak bisa. Saya tidak akan ikut dalam permainan ini," tekan Ezra yang membantah.

"Kamu yang sudah masuk ke dalam permainan tidak bisa keluar. Hanya bisa saat kamu sudah mati," jelas orang itu.

"Kenapa bisa jadi begini? Kita tiba-tiba saja ada di sini. Tanpa tahu apa yang terjadi, kenapa bisa begini? Bukankah itu artinya kalian telah memaksa kami?" tekan Aliya emosi. "Itu sudah sesuai dengan peraturan yang berada.

Sekarang lebih baik kalian memulai permainannya, sebelum tenggat," sela orang itu. "Tapi, jika penjaga itu kita bunuh. Tidak masalah kan?" lontar Aliya penasaran. "Jika kalian bisa, itu tidak masalah. Asal jangan sampai kalian yang terbunuh," ucapnya. "Kapan tenggatnya?" tanya Rio penasaran. "Sepuluh jam lagi. Jadi gunakan waktu kalian sebaiknya, demi nyawa masing-masing," ujarnya.

"Ya gak bisa gitu dong, pak. Kita masih anak sekolah," geram Ezra. Rio menghentikan pembicaraan dengan menarik tangan mereka semua, kemudian berjalan bersama.

Sambil berjalan, Ezra kebingungan. Rio berbisik ke arahnya, "kita ikuti saja ini. Baru setelah mengetahui permainannya, kita akan lapor pada kepala sekolah dan polisi." Ezra mengangguk bingung. Mereka semua masuk ke dalam sekolah. Baru saja masuk, mereka sudah melihat bendera berwarna merah dari kejauhan. Tidak hanya bendera, tapi juga penjaga seperti yang dikatakan oleh orang tadi. Penjaganya memakai baju berwarna merah seperti benderanya, memakai masker dan kacamata hitam, serta membawa alat tembak. "Tunggu. Dia melihat kita semua," bisik Rio saat melihat orang berbaju merah berhenti menghadap ke arah mereka semua.

"Lalu kita harus apa? Sembunyi atau bagaimana?" tanya Vika sambil melirik ke Rio. Tanpa bepikir panjang, Aliya mengambil pegangan sapu yang tergeletak di sampingnya, Aliya berkata, "menyerangnya tentu saja." Dia kemudian berjalan mendekat ke penjaga ini, sebelum itu... penjaga berbaju merah itu sudah membidik ke arah Aliya. Tali dengan kecepatannya, dia berhasil menghindarinya. Sementara itu, Rio dan Vika, serta Ezra hanya bisa takjub dengan keberanian yang di miliki oleh Aliya, sesekali mereka menunduk saat peluru ditembakkan. Dengan cepat, Aliya yang sudah di hadapan penjaga, dia langsung loncat sebelum peluru dikeluarkan lagi. Dia mengarahkan ujung tongkat sapu yang lancip ke arah jantung penjaga itu. "Setss." Dia berhasil menusuk penjaga itu. Wajah mereka semua tercengang, "Liya. Kenapa kamu bisa melakukan hal sadis seperti itu?" Rio tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Hey, hal seperti ini di situasi ini sangat perlu. Kalian mau, nyawa kalian melayang? Gak kan," jelas Aliya, "bukannya ingin, tapi terpaksa melakukannya."

Mereka kemudian mengambil bendera itu dan melanjutkan perjalanannya. Setelah itu, mereka melihat tim lain yang tewas mengenaskan. Tantangan jauh lebih berat, karena penjaga yang tadinya hanya satu, sekarang menjadi tiga. "Dengar. Permainan ini sungguh dilakukan. Kita harus bisa menyelamatkan diri kita sendiri. Kalian harus bisa menghadapi para penjaga itu," jelas Aliya.

"Baik, baik. Kita pasti bisa," ungkap Rio yang melirik ke arah penjaga itu. Penjaga yang memakai baju berwarna biru itu mendekat ke arah mereka semua. Aliya, Rio, dan lainnya sudah siap untuk menyerang penjaga itu. Aliya masih memegang ujung sapu tadi, Vika dan Ezra mengambil pisau dari tim yang telah tewas tadi, Rio mendapat pecahan kaca yang cukup tajam untuk menusuk orang.

"Kita akan menghadapi semua ini." Mereka semua segera maju dan menusuk para penjaga itu, sesekali penjaganya juga menembakkan peluru. Walau tubuh mereka sudah dipenuhi luka akibat tergeser dengan peluru, tapi mereka tetap mencoba melawan para penjaga. Perlawanan berhasil, tiga penjaga berhasil dilumpuhkan. Mereka segera mengambil bendera warna biru, dan melanjutkannya. Ezra menyela dengan berkata, "bisakah kita istirahat dulu? Tiga jam lebih kita melihat darah. Aku ingin berhenti sebentar."

"Baiklah. Kita akan berhenti di sini. Kebetulan tempatnya juga dekat, jadi kita bisa langsung menyerang mereka nanti," jawab Rio.

"Kita laporkan ini pada polisi dulu, gimana? Permainan ini gila banget. Bukankah hal itu harus kita lakukan untuk menghentikan jatuhnya korban?" lontar Aliya. Rio langsung mengambil handphonenya yang berada di dalam saku, dan kemudian menelpon ayahnya.

("Ayah. Bisakah ayah pergi ke sini sambil membawa para polisi? Sekolahki sedang mengadakan permainan gila yang menewaskan banyak siswa. Jadi, tolong kemari.") Rio berbicara di telfonnya. Setelah itu, Rio menutup telfonnya dan mengatakan sesuatu pada yang lain, "dia akan segera ke sini. Kita tunggu dulu."

Belum siap untuk apa-apa, penjaga yang memakai pakaian berwarna putih mendekat ke arah mereka. Aliya yang menyadari hal itu berkata dengan nada yang sedang panik, "bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan." Mereka semua langsung bersembunyi di bawah meja yang kebetulan dekat dengan mereka. "Kita hadapi mereka semua. Hanya itu satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan," jawab Rio serius.

"Kamu gila?! Mereka banyak banget, sedangkan kita gak punya kekuatan atau senjata untuk melawan mereka semua," sahut Vika yang tidak setuju dengan hal itu.

"Jika saja kita tidak memainkan permainan ini. Semua ini tidak akan terjadi," sela Aliya.

"Tidak perlu menyesal tentang masa lalu, sebaiknya... sekarang kita pikirkan nasib kita dulu," tekan Ezra. Ezra kemudian keluar dari meja, dan akan menyerang enam penjaga berwarna putih, sebelum itu dia berkata, "pergilah. Kalian harus berhasil menyelesaikan permainan ini."

"Gak. Kalo kamu menyerang, berarti kita semua juga. Kita bakal terus bersama, walau ini adalah akhir dari segalanya." Aliya keluar dari meja itu dan berdiri di samping Ezra. Begitu juga dengan Rio dan Vika.

"Baiklah kalo gitu. Kita akan melakukan ini bersama." Ezra berbisik ke arah mereka yang membentuk lingkaran. Sesudah mengatakan sesuatu, enam penjaga berbaju putih mendekati mereka. Dengan cepat, "bruk." Rio mendorong salah satu penjaga hingga terjatuh dan membuat dua lainnya terjatuh juga. Vika dan Aliya, mengikat dua penjaga lainnya dengan tali, walau terdengar hanya seperti lelucon, mereka berdua tetap melakukannya. Ezra langsung mendorong satu penjaga ke luar hingga membuat kaca pecah. Dari situ, Rio melihat ayahnya dan beberapa polisi datang. Wajahnya cukup gembira, tapi penjaga tadi masih bangun dan membidik pistolnya ke bagian kepala mereka semua. Wajah Rio dan yang lainnya terlihat tegang, Rio mencoba memanggil ayahnya. Tapi sebelum itu, "door." Tembakan terjadi, membuat seluruh tim Rio kehilangan kesadaran dan banyak darah. Orang-orang mendengar suara yang sangat keras itu, mereka semua masuk dan menyelidiki kasus ini.

"Maaf. Ayah," ucap Rio dalam hatinya sebelum kehilangan kesadaran.

Begitulah, tidak ada yang memenangkan permainan ini. Setidaknya ada sekitar lima belas tim yang terdiri dari empat orang tidak selamat. Tapi karena itu, ada empat puluh tim lainnya yang selamat. Kasus ini masih menjadi misteri, karena seluruh orang yang bersangkutan tiba-tiba meninggal tanpa alasan yang jelas. Dan para guru? Mereka semua kehilangan ingatannya saat kejadian itu, tidak hanya mereka, tapi para murid juga tidak mengetahui secara jelas bagaimana permainan ini terjadi. Karena itu, permainan ini masih menjadi misteri.

Ikuti tulisan menarik Jacinda Rizki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler