x

Jarangnya ada dokter dan sulitnya mendapat obat di Jayawijaya di era 1980an\xd Credit Photo: Alam (me), dokter+obat (online pic PPT)

Iklan

Regina Nikijuluw

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Jumat, 26 November 2021 20:44 WIB

Seandainya Ada Dokter di Jayawijaya

Apa yang terjadi pada kehidupan seorang anak lelaki, Anis, ketika tidak ada dokter di kampungnya? Tekad apa yang terbangun dalam dirinya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika kegelapan malam menyelimuti, satu anak duduk merenung di samping ibunya. Dia memandangi ibunya yang rebah tidak berdaya, ibu yang menggigil karena demam tinggi. Mata ibu yang terkatub erat, nafasnya yang tersengal, peluh yang memenuhi tubuhnya menariknya untuk menitikkan air mata. Dia kesal karena merasa sangat lemah dan tidak bisa berbuat apapun untuk membantu ibunya.

Tangannya terus memegang erat tangan ibunya. Sementara harapan terus menganga besar dengan keinginan ada tawa, ada suara keluar dari ibunya.

“Ibu saya rindu suara ibu, omelan ibu, masakan ibu… Bangun, bu!” lirih suaranya memanggil dan tangannya berpindah mengelus wajah ibunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yohanis, biasa dipanggil Anis, adalah anak pertama dari Misael dan Batsheba. Dia berumur tujuh tahun, berambut ikal, kulitnya legam dengan tubuhnya tidak terlalu tinggi dan perutnya buncit. Anis banyak menghabiskan waktu bersama ibunya untuk membantu pergi ke hutan atau memasak di dalam onai serta menjaga kedua adiknya.

Kampung tempat Anis tinggal terletak sekitar Pegunungan Jayawijaya dan cukup tinggi di atas permukaan laut sehingga suhu malam cukup menggigit. Namun api dari kayu bakar di tengah onai membuat suhu di dalamnya cukup hangat. Siang hari, matahari menyengat kulit, mungkin karena lokasi yang dekat dengan matahari.

Saat itu, era awal 1980-an, situasi dan kondisi kampung sangat berbeda dengan perkotaan. Jarang sekali ada dokter, guru-pun kadang ada tapi seringnya tidak, perang suku masih terjadi. Anak-anak mendapat pengajaran dari biarawati dan misionaris yang ada di kampung mereka. Transportasi dari dan ke kampung menjadi kesulitan berbeda.

Penyakit malaria menjadi tantangan di kampung Anis. Tidak adanya dokter menjadi kendala yang berbeda. Itu yang terjadi pada Basheba. Sudah beberapa lama dia terbaring tanpa daya dan kondisinya semakin lama semakin melemah.

“Ibu, engkau adalah terang dalam hidupku. Cahayamu mengalahkan terang api unggun di tengah onai. Kehangatanmu selalu menyelimuti hari-hariku. Jangan engkau padamkan Ibu,” sayup suara Anis berlanjut sambil terus mengelus wajah ibunya.

Lalu dia membaringkan badan di samping ibunya dan tangannya menggenggam jemari ibunya. Anis seakan memberi kekuatan bagi ibunya untuk membuka matanya dan bangkit kembali. Mulutnya berkomat-kamit memanggil Tuhan dan mengangkat doanya tinggi ke langit. Harapan terus mengalir di dalam dirinya sampai dia terlelap.

“Anis, bangun nak” suara Misael, ayahnya, membangunkan. Matahari sudah mengintip di sela-sela onai.

“Lihat ibu tersenyum. Dia sudah bertemu Bapa di surga.”

 

***

 

Suara tangis kehadiran Anis di dunia sangat dinantikan Batsheba. Setelah menunggu beberapa tahun lamanya, akhirnya Batsheba hamil dan melahirkan seorang anak lekaki. Kehadiran Anis membuat senyum dan tawa Misael dan Batsheba melebar. Mereka sangat senang karena kepercayaan di Indonesia Timur, seorang anak lelaki adalah penerus keturunan atau marga.

“Anis, kamu harus sehat, tumbuh besar dan menjadi anak yang berguna,” kata-kata yang selalu keluar dari mulut Batsheba setiap dia menyusui Anis sambil mengelus lembut rambutnya yang ikal.

Kehadiran Anis ternyata memberikan berkat yang lebih. Setidaknya, itu yang dipercaya oleh Batshena. Karena setelah lahirnya Anis, Batsheba mengandung lagi dan menghadirkan dua anak perempuan dengan rentang waktu sekitar satu setengah tahun di antara mereka bertiga.

“Terima kasih Anis! Ibu percaya karena kamu membuka perut ibu sehingga ibu bisa hamil lagi,” ucapnya saat Batsheba menyadari dia hamil anak yang kedua. Kata-kata yang ditambahkannya sambil memberi makan Anis.

Sedari kecil, Anis sudah ditempu dengan kehidupan sebagai anak pertama. Ayahnya, Misael, sering mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang. Perlengkapan panah kecilnya, buatan ayah dari kayu di sekitar onai, menjadi teman bermainnya.

“Ayo, Anis, temani ayah ke hutan. Kita berburu rusa karena persediaan sudah hampir habis,” ajak ayah pada Anis di satu pagi saat Anis sedang membantu ibu mengurus adik-adiknya. Dia sudah berumur enam tahun.

Sementara ibunya, sering mengajak Anis ke hutan untuk mengenalkan dia jenis-jenis tanaman yang ada di dalamnya.

“Tanaman ini cocok untuk obat sakit perut, Anis. Kalau yang ini, lebih bagus lagi untuk macam-macam penyakit. Tetapi juga bisa dimakan harian. Ayah sangat suka tanaman ini,” penjelasan Batsheba sambil mereka mengumpulkan makanan dari hutan. Anis selalu mengingat semua yang disampaikan ibunya.

“Nanti ibu ajarin Anis masak ya,” pinta Anis sambil terus aktif membantu ibu mengumpulkan bahan makanan.

Di luar kesibukan bersama ayah dan ibu, Anis bergabung pada kegiatan biarawati dan misionaris yang datang ke kampungnya. Perbedaan warna kulit, bahasa mereka yang sangat asing bagi Anis selalu menaikkan rasa ingin tahu dalam dirinya. Anis sangat menyukai kegiatan bersama mereka karena mereka selalu membawakan cerita-cerita yang menarik hati.

“Selamat pagi Anis,” sapa Suster Bernadeth ketika dia melihat Anis duduk melipat kaki di tanah bersama anak-anak lainnya. Kegiatan bersama anak-anak memang biasanya bersama biarawati. Kalau Misionaris, seringnya lelaki, biasa bersama bapak-bapak, ibu-ibu dan para remaja di tempat berbeda.

Saat pertama Anis bergabung, Anis sangat ketakutan karena biarawati penampilannya berbeda dengan kebanyakan orang di kampungnya. Dia menggandeng erat tangan ibunya. Dia tidak merelakan ibunya pergi meninggalkan dia sendiri. Tetapi setelah beberapa kali bertemu, Anis sudah merasa nyaman dan berani datang sendiri. Adik-adiknya biasa bersama ibu dan ayahnya.

“Pagi Suster,” sambut Anis yang dilanjutkan dengan pertanyaan, “Hari ini Suster cerita apa?” Matanya tampak berbinar penuh penantian.

Suster Bernadeth, yang juga duduk di tanah, dengan senyum manisnya, menjawab Anis, “Kita akan baca cerita Nabi Musa yang membebaskan Bangsa Israel. Nanti Suster akan lanjut mengajar hitung-hitungan ya.”

Biarawati dan misionaris sangat menyukai Anis. Setelah merasa nyaman dengan kehadiran biarawati dan misionaris, Anis sering bertanya. Dia anak yang berpikir kritis dalam menerima setiap cerita dan pelajaran. Dia juga memiliki keinginannya belajar sangat tinggi dibanding anak-anak lainnya.

Bagi Anis, waktu bersama para biarawati dan misionaris sangat dinantikan. Dia senang mendengar cerita dan sering bercengkrama dengan mereka setelah yang lain kembali ke onai mereka masing-masing.

Anis juga meminta untuk diajarkan membaca dan meminjam buku bacaan dari biarawati. Sesampainya di onai dia akan membagikan cerita kepada ibu dan kedua adiknya sesaat sebelum tidur.

“Ibu, tadi Anis dengar cerita Nabi Musa. Hebat loh dia Bu! Kata Suster Bernadeth, dia membelah laut menjadi dua,” cerita Anis kepada ibunya sambil membantu ibu memasak makan malam.

“Nanti kakak cerita ke kami kah?” adiknya, Marena, hampir lima tahun, memandang Anis dengan rasa ingin tahu yang besar.

“Iya, nanti kakak cerita sehabis makan malam ya.” Janji yang selalu Anis tepati.

Batsheba biasa ikut bersama dengan Anis dan kedua adiknya saat Anis bercerita. Tidak jarang Batsheba menambah cerita Anis. Sementara Misael biasa di luar dengan rokok lintingannya dan bercakap-cakap dengan teman-temannya. Atau terkadang Misael ikut mendengarkan di sudut yang berbeda sambil mengepulkan asap yang keluar dari rokok lintingnya. Dinginnya malam akan tergantikan dengan kehangatan dan kebersamaan yang terjadi di dalam onai.

Kerajinan Anis dalam belajar membaca membuatnya piawai dan mengerti setiap buku yang dibacakan oleh biarawati. Tidak jarang, Anis yang menggantikan biarawati menjadi pencerita kepada teman-temannya. Dia sangat lihat menyampaikan. Kesamaan bahasa dan logat membuat semakin banyak anak bergabung. Suara tawa riang akan terdengar riuh rendah saat Anis bercerita.

“Terima kasih ya Anis. Kamu pandai sekali bercerita,” apresiasi dari Suster Bernadeth dan memandang Anis dengan rasa bangga yang tidak bisa dia tutupi.

“Sekarang Anis belajar baca lagi ya Suster, juga hitung-hitungan,” pinta Anis sambil memilih buku bacaan berikutnya.

Hari terus bergulir berganti minggu dan bulan. Satu saat, Suster Bernadeth tidak melihat kehadiran Anis. Sudah lebih dari satu minggu Anis tidak tampak. Padahal Anis biasanya rajin datang karena sifatnya yang selalu ingin tahu dan terus belajar. Kalaupun tidak hadir, tidak pernah sampai lebih dari dua hari.

Kepada salah satu anak, teman bermain Anis, Suster Bernadeth bertanya, “Abel, kamu tahu Anis ada dimana? Sudah lama suster tidak lihat dia.”

“Ibunya sakit suster,” Abel menjawab dengan cepat.

“Oh, baiklah. Terima kasih Abel.”

Malam itu, Suster Bernadeth bersama Misionaris Joseph datang mengunjungi onai Anis. Mereka membawa beberapa obat-obatan dan vitamin yang mereka harap bisa membantu Batsheba.

Tampak Misael duduk melipat kaki di tanah di depan onai ditemani kepulan rokok lintingnya. Dia merenung dalam sehingga tidak melihat ada tamu berjalan ke arahnya.

“Selamat malam Misael,” Misionaris Joseph menyapa.

Dinaungi dengan sinar bulan penuh malam itu, sambil mengusap matanya yang basah, Misael berdiri kaget melihat kehadiran mereka.

“Selamat malam Bapa Joseph dan Suster Bernadeth. Mengapa malam-malam bertandang ke onai kami?” sapanya balik di tengah isak halus yang keluar dari mulutnya.

“Kami ingin menjumpai Batsheba. Kami dengar dia sakit,” Misionaris Joseph menjelaskan dan memeluk Misael. Pelukan yang membuat Misael terisak lebih keras dan suara hisakan itu memanggil Anis keluar dari onai.

“Eh Bapa dan Suster! Maaf Anis sudah lama tidak datang belajar. Ibu sakit,” suara Anis dari depan pintu onai saat melihat siapa tamu mereka.

Tangan Anis menarik kedua tamu dan menunjukkan ibunya yang sedang terbaring lemah. “Bapa berdoa supaya ibu bisa bangun lagi. Anis janji tidak akan nakal dan akan lebih rajin membantu ibu,” pintanya dengan penuh asa.

Melihat kondisi Batsheba, Misionaris Joseph sudah paham bahwa dia terkena malaria. Penyakit yang selalu menjadi momok di kampung itu karena tidak adanya obat tersedia. Ketersediaan dokter juga nol besar dan kesulitan untuk membawa pasien ke kota karena langkanya transportasi serta kalaupun ada biaya sangat tinggi. Kondisi yang hampir selalu menghantar pada kematian bagi penderitanya.

Misionaris Joseph, duduk bersila di depan Batsheba, memegang lembut kepalanya dan merasakan panas yang membara. Lalu dia menutup mata dan memanjatkan doa kepada Tuhan.

Setelah itu, Suster Bernadeth membantu dengan memberikan vitamin kepada Batsheba. Kondisi Batsheba sudah sangat lemah. Tubuhnya menggigil keras dan peluh banyak di badannya. Anis terus memandangi mereka berdua dan turut melipat tangan berdoa.

 

***

 

Duduk terpekur di depan pusara, Anis tidak bisa menghentikan air jatuh dari matanya. Hatinya masih belum bisa menerima kehilangan ibunya. Baginya terlalu cepat ibu pergi. Dia belum berbuat banyak untuk ibunya. Godam di dadanya terus memalu. Keperihan menyengat ke seluruh tubuhnya.

Ibu terlalu cepat pergi. Aku belum berbuat banyak, aku belum membuat ibu bangga. Akankah aku mendengar suara ibu lagi di malam gelap, atau tawa ibu di hutan saat mengambil tanaman, atau ayunan gemulai tanganmu memasak? Aku kangen ibu. Aku janji akan jaga adik-adik. Ibu bantu ya dari surga.”  

Namun, kepergian Batsheba membangun tekad mendalam dalam diri Anis. Penyakit malaria yang selalu hadir, dokter yang hanya menjadi janji mendorong gairah dan semangat dalam dirinya.

Aku akan menjadi dokter.

 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Ikuti tulisan menarik Regina Nikijuluw lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler