Satu Kalimat

Minggu, 28 November 2021 16:31 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu kalimat berdampak besar. Jika kamu hanya memiliki satu kalimat untuk diutarakan. Apa yang akan kamu katakan?

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Aku masih terjaga. Aku paksakan lagi untuk memejamkan mata untuk ke sekian kalinya. Namun, tetap tidak bisa. Kuulangi lagi ritual sebelum tidurku membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas. Kemudian membaca Ayat Kursi dan dua ayat terakhir surat Al Baqarah. Lalu aku baca lagi doa sebelum tidur. Setelah itu aku bertasbih, bertahmid, dan bertakbir masing-masing 33x. Puncaknya aku baca lagi surat Al Mulk dan As Sajdah. Namun, masih nihil. Mungkin aku masih hanya membacanya dengan lisanku saja karena pikiranku masih berkecamuk dan terus menerus membisikkan hal-hal buruk. Bagaimana jika nanti …

Gelap.

Semua warna … sama.

Segala keindahan rupa … rata.

Seluruh gegap gempita dunia … sirna

Satu kalimat dari seorang pekerja medis itu sukses membuatku memikirkan seluruh hal buruk yang belum terjadi di hidupku. Satu kalimat itu sudah mampu membuat duniaku remuk redam berkeping seolah aku sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Seolah aku manusia paling tak berguna di dunia ini.

<--more-->

Aku adalah anak satu-satunya dalam keluargaku. Aku tidak memiliki kakak atau adik. Pada 2002 silam aku, Ayah, dan Ibu menempati sebuah komplek baru yang masih jarang dihuni penduduk. Tetangga samping kanan kiri dan depan belakang rumah kami masih berupa lahan kosong. Usiaku pun saat itu belum memasuki syarat usia sekolah. Singkat kata, aku tidak memiliki teman.

Ayahku sibuk bekerja dari pagi buta hingga petang bahkan kadang larut malam. Tak jarang juga Ayah mengikuti pelatihan atau apa pun itu hingga ke luar kota berhari-hari bahkan berpekan tidak pulang.

Ibuku adalah ibu rumah tangga dan seperti selayaknya ibu rumah tangga, Ibu selalu sibuk mengurus rumah. Menyapu dan mengepel lantai; mencuci, menjemur, dan menyetrika baju; merawat dan menyirami tanaman; lalu memasak. Namun ada satu hal yang luput darinya, aku.

Sejak aku kecil, aku terbiasa didudukkan di depan sebuah televisi sederhana ketika Ibu sibuk mengurus rumah. Menonton apa saja yang disiarkan di sana, entah itu tontonan yang cocok untuk anak-anak atau pun tidak. Televisi menjadi satu-satunya temanku.

Ketika aku sudah mulai memasuki usia sekolah dan aku mulai mampu membaca. Buku menjadi teman keduaku. Buku menjadi media untukku mengelilingi dunia walau hanya dari dalam kamarku. Tidak heran sejak di bangku sekolah dasar aku sudah mulai kehilangan ketajaman pada mataku. Aku harus selalu melihat catatan teman sebangkuku karena aku tidak mampu melihat langsung dengan jelas tulisan Ibu guru di papan tulis, namun aku tidak pernah mengeluh. Tidak juga bercerita pada orang tuaku.

Sampai suatu ketika Ibu menjemputku ke sekolah dan bertemu dengan teman sebangkuku. Teman sebangkuku itu berkata pada Ibu bahwa aku terus menerus melihat catatannya, entah teman sebangkuku itu mengadu karena dia merasa terganggu aku melihat catatannya terus menerus atau karena dia peduli pada penglihatanku. namun karena itu akhirnya Ibu membawaku memeriksakan mataku.

Pemeriksaan itu cukup mengejutkan Ibu karena aku langsung divonis menderita minus yang cukup besar, minus 3 dan sudah harus menggunakan kacamata. Dengan rasa tidak percaya bahwa aku seorang anak usia sekolah dasar langsung memiliki minus 3, akhirnya Ibu membawaku ke rumah sakit besar khusus mata di Ibu Kota yang fasilitas kesehatannya lebih memadai. Rasa tidak percaya itu bukan tidak berdasar karena zaman dulu itu berbeda dengan zaman sekarang, di mana anak-anak sudah piawai menggunakan gadget di mana pun mereka berada. Aku belum mengenal gadget kala itu, namun televisi dan buku juga memiliki pengaruh besar, sehingga hasil pemeriksaanku di rumah sakit khusus mata di Ibu Kota itu tetap sama. Ibu membiarkan aku memilih sendiri jenis bingkai kacamata yang aku mau dengan harapan aku akan selalu menggunakannya. Lalu kuedarkan pandanganku ke seluruh etalase. Ada satu bingkai kacamata berwarna ungu muda cerah dengan batangnya agak merah muda menarik perhatianku. Kupilih bingkai itu sebagai kacamata pertamaku.

Setelah menunggu kurang lebih satu pekan proses pemasangan lensa pada bingkai kacamata pilihanku, akhirnya kacamataku siap untuk digunakan. Agak pusing rasanya karena mataku perlu penyesuaian dengan kacamata baruku. Kupandangi diriku pada sebuah cermin, penampilanku kini terasa berbeda karena ada sesuatu yang menggantung di atas hidungku terlebih lagi hidungku ini hidung yang cukup minimalis, sehingga agak kesulitan untuk membuat bingkai kacamata itu tetap berada di sana untuk waktu yang lama. Terkhusus untuk waktu sekolah.

Aku yang biasanya sembunyi di balik buku-bukuku, kini menjadi pusat perhatian karena aku anak pertama yang memakai kacamata di antara anak-anak seusiaku di sekolah. Banyak juga yang bertanya-tanya heran tentang apa fungsi kacamata itu, bagaimana cara kerjanya, bagaimana bisa aku menggunakan kacamata, dsb. Yang sejujurnya aku pun tidak banyak tahu pada saat itu karena aku pun jelas tidak menginginkan diriku menggunakan kacamata, tapi aku tidak memiliki pilihan. Aku butuh bantuan kacamata untuk tetap melihat dengan jelas karena jika menggunkan contact lenses itu akan jauh lebih berbahaya untuk anak seusiaku yang belum mampu untuk menjaga kebersihan contact lenses dan memakainya sendiri, sehingga akan menimbulkan iritasi mata.

<--more-->

Minus pada mataku tidak membuatku menghentikan hobi membacaku. Aku tetap menyukai membaca. Jika kau menyambangi rumahku, kau akan melihat bertumpuk-tumpuk buku pada kamarku dari berbagai genre yang sudah aku kumpulkan sejak bertahun-tahun lalu.

Saat aku masih seusia sekolah dasar, tentu aku membaca buku-buku anak-anak pada umumnya. Buku cerita Nabi dan Rasul, dongeng, dan cerita rakyat menghiasi hari-hariku.

Ketika stand up comedy sangat digandrugi kala itu, aku membeli buku-buku karangan stand up comedian seperti Raditya Dika, Ernest Prakasa, dll sampai aku rela menonton langsung acara stand up tour mereka di kotaku.

Masih dari kalangan buku-buku yang ringan, aku pun menyukai penulis-pennulis yang sempat meledak di twitter seperti Arief Muhammad yang bersembunyi dengan identitas pocongggnya sebelum akhirnya membuka identitas aslinya seperti sekarang, Benazio Rizki Putra yang juga dulu menamai dirinya dengan benakribo karena rambut kribo ciri khasnya, Dara Prayoga yang juga menamai dirinya karena rambut ciri khasnya yang seperti landak, landakgaul, dan masih banyak lagi.

Ketika aku beranjak remaja, aku mulai menyukai novel. Dari mulai novel romance tipis seperti karya-karyanya Orizuka dan Alvi Syahrin (sebelum berganti genre tulisan seperti sekarang) sampai novel yang cukup tebal dengan kosa kata bahasa yang lebih kompleks seperti Sapardi Djoko Damono, Eka Kurniawan, dan puncaknya pada penulis sastra legendaris Pramoedya Ananta Toer.

Ketika aku sudah mampu mengusai bahasa Inggris, aku membeli beberapa karya Malcolm Gladwell, J.K. Rowling, Paulo Coelho, bahkan beberapa karya penulis Jepang yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Haruki Murakami.

Ketika aku sudah mulai mempelajari agama pun daftar bacaanku berbeda dan tentu ini maha karya terbaik para ulama seperti karya-karya Imam Nawawi rahimahullahu, Ibnu Qayyim rahimahullahu, Ibnu Jama’ah rahimahullahu, dan sejumlah ustadz-ustadz tanah air seperti ustadz Firanda Andirja hafizhahullahu, ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullahu, dan juga sejumlah buku self improvement terbitan AlviArdhi Publishing karya Alvi Syahrin dan Ardhi Mohamad.

<--more-->

Tanpa terasa deretan buku-buku hebat itu memiliki efek yang cukup besar pada mataku. Minusku selalu bertambah dan bertambah seiring waktu. Ditambah lagi masa-masa pandemi yang menyebabkan hampir seluruh kegiatan dilakukan online menyita seluruh mataku. Dikarenakan profesiku sebagai guru, aku juga dituntut untuk memahami cara kerja berbagai aplikasi pembelajaran online seperti Zoom, Google Meet, Kaizala, Nearpod, dll. Lalu menyiapkan materi pembelajaran di aplikasi-aplikasi online tersebut, membuat RPP, dan membuat raport menggunkan aplikasi raport. Mataku tegang. Mataku mengalami banyak tekanan dan mengalami kedutan yang berlebih.

Pikiranku berkecamuk maju dan mundur karena tepat pada hari Selasa kemarin seharusnya aku kembali memeriksakan kondisi mataku, namun aku tidak melakukannya karena rasa takut yang menggelayutiku. Aku takut mendapatkan hasil yang buruk dari pemeriksaan mataku karena sebulan lalu dokter mengindikasikan ada gejala glukoma pada mataku, namun sampai kapan aku menghindar? Toh, jika aku memeriksakan mataku sekarang atau pun nanti tidak mengubah fakta mataku akan baik-baik saja kan? Justru mungkin lebih parah jika aku biarkan begitu saja.

Akhirnya aku memberanikan diriku untuk pergi ke sebuah rumah sakit khusus mata di kotaku. Ada pilihan untuk menggunakan bpjs dan tidak menggunkan bpjs. Aku lihat antrian pasien yang menggunakan bpjs mengular panjang. Pikirku, jika semakin lama menunggu aku akan semakin takut. Jadi, aku putuskan untuk tidak menggunakan bpjs walau aku memang harus mengeluarkan biaya yang cukup jauh lebih mahal daripada aku menggunkan bpjs.

Aku melewati serangkaian pemeriksaan dengan berbagai alat-alat kesehatan. Di mulai dari alat kesehatan yang mengaharuskan mataku melihat sebuah gambar balon udara yang awalnya samar, lalu lama-kelamaan menjadi fokus. Menurut situs Alodokter.com, alat itu bernama autorefractor yang berfungsi untuk memperkirakan kekuatan lensa yang diperlukan untuk memfokuskan cahaya ke retina. Sebenarnya gambar yang ada pada alat ini pun beragam. Tidak semuanya balon udara. Ada juga yang bergambar permen, rumah di ujung jalan atau rumah di ujung ladang. Berdasarkan autorefractor keluarlah kertas yang menunjukkan kadar minusku saat itu. Lalu aku disuruh menggunakan sebuah kacamata besar yang telah diatur lensanya berdasarkan pemeriksaan minusku tadi. Aku di hadapkan dengan sejumlah huruf yang yang cukup besar-besar di barisan awalnya dan huruf yang cukup kecil hingga nyaris tak terlihat olehku di barisan belakang sampai akhirnya. Masih menurut situs yang sama, bagan huruf itu bernama Snellen Chart.

Pemeriksaan selanjutnya, dokter menggunakan alat yang tiba-tiba menghembuskan udara ke mataku. Menurut situs Hellosehat.com, alat itu bernama Tonometri nonkontak atau disebut juga pneumotonometri. Alat ini berfungsi untuk menentukan tekanan pada mataku tapi tidak menyentuh. Belum puas dengan alat ini, dokter menggunakan Tonometri Goldmann yang fungsinya memeriksa tekanan intraocular yang paling akurat. Bedanya dengan Tonometri nonkontak, alat ini menggunakan lampu celah mikroskop untuk melihat mata dengan tonometer. Puncaknya dilakukan pemeriksaan OCT (Optical Coherence Tomography) yang alhamdulillah hasilnya normal.

Tidak ada indikasi glukoma seperti yang dokter vonis satu bulan lalu. Alhamdulillah. Segala panik, takut, dan tangis yang menggelayutiku selama satu bulan kemarin sirna. Allah tidak menakdirkan hal buruk untukku dan tentu aku pun tidak hanya tawakal semata tanpa mengambil sebab. Obat tetes mata yang rutin di teteskan ke mataku setiap 3x sehari setiap hari juga menjadi sebab meredakan tekanan pada mataku. Setiap tetes obat mata itu menimbulkan efek perih yang luar biasa untukku. Aku tidak mampu untuk membuka mataku sesaat setelah aku meneteskan obat itu. Namun, sekali lagi alhamdulillah aku tidak dinyatakan glukoma yang dapat menggambil seluruh fungsi mataku dan menyebabkan kebutaan. Selalu ada hal yang mampu kita syukuri. Selalu ada hikmah dalam setiap kejadian.

Aku hanya terlalu overthinking. Aku kurang jeli dalam memilah-milah mana yang boleh masuk dan mana yang harus dicekal dari pikiranku.

Ibnu Qayyim rahimahulahu dalam kitabnya Fawaa’idul Fawaa’id menjelaskan, “Buah pikiran, bisikan hati, kehendak, dan cita-cita adalah hal-hal yang harus diprioritaskan untuk anda perbaiki. Sebab semua itu adalah inti dan hakikat diri anda. Inti ini adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah atau justru menjauhkan anda dariNya.”

Setan membuatku memikirkan kejadian yang belum terjadi, lalu aku mengandai-andai seandainya nanti terjadi lalu bagaimana, dan setan akan membuatku mencemaskan berbagai hal yang terkait dengan ini.

Aku terlalu cemas akan sesuatu yang tidak dapat aku kontrol dan tidak fokus pada apa yang seharusnya aku kontrol. Takdir aku glukoma yang mengarahkan pada kebutaan atau pun tidak itu sudah Allah kontrol dan aku hanya harus fokus mengontrol untuk tetap melakukan pengobatan.

Apa pun itu takdir yang Allah tuliskan untukku itulah yang terbaik. Beriman pada takdir dapat menghilangkan segala rasa khawatir. Beriman pada takdir ini sudah kita pelajari sejak kita duduk di bangku sekolah dasar namun kita masih belum lulus ujian ini sampai kita lulus sekolah dasar bahkan hingga kita dewasa. Terlebih lagi kita seringnya sok tahu tentang apa yang terbaik untuk kita padahal Allah yang maha mengetahui yang terbaik untuk kita.

“ … Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”(Surat AL-Baqarah ayat 216)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yashinta Fatirinnisa

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Satu Kalimat

Minggu, 28 November 2021 16:31 WIB
img-content

Ironi

Rabu, 24 November 2021 19:19 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua